-->

Notification

×

Iklan

Mafioso-Mafioso Cinta

Monday, February 14, 2011 | Monday, February 14, 2011 WIB | 0 Views Last Updated 2011-02-26T04:10:13Z
Rafika,S.Pd.
Ketika cinta menguasai seluruh psikis maka akan merubahlah seluruh prilaku terhadap objek yang ingin digapai begitu katanya, William Shakespeare. Mengapa bisa demikian tinggi dan otoriternya derajat cinta itu ? Memang kedengarannya Picisan, melankolis, meremaja, dagel , tetapi mau tidak mau kita harus mengakui eksistensinya.

Mafioso cinta hanyalah plesetan dari hitsnya istilah mafia yang sedang menikmati ketenaran dan kejayaannya di negeri ini. Mafia artinya perkumpulan rahasia yang bergerak dibidang kejahatan. Sedangkan Mafioso adalah anggota mafia. Dan Setiap anggotanya haruslah tunduk pada peraturan dan ketetapan yang disodorkan oleh the big bos.
Jadi kalau sudah mafia, berarti kejahatannya dilakukan secara berkelompok dan terstruktur. Yang jelas aksinya selalu rahasia, terselubung, dan memiliki agen. Mafioso cinta berarti pelaku kejahatan dalam urusan cinta. Sedangkan cinta harafiahya, suka sekali, ingin sekali, atau sayang sekali kepada objek yang menjadi sasarannya. Porsi atau persentasenya tergantung pada tingkatan yang ingin dicapai dengan standar yang diberlakukan.
Mafia hukum ujung-ujungnya akan dituntut dengan hukuman penjara, kalau memang terbukti bersalah. Tetapi kalau tidak terbukti, berarti tidak dikenakan hukumankah ? Akankah individu yang pernah melakukan tindakan kejahatan bisa terjebloskan semuanya ? Hukum adalah kebenaran, Julius Caesar. cause, Law for all of us. Berarti siapa saja yang melakukan kesalahan dengan terencana atau tidak, akan dikenakan hukuman yang setimpal sesuai dengan kejahatannnya. Dan memang Hukum adalah milik semua orang, bukan milik segelintir orang. Tetapi Akankah mafiaso cinta dalam posisi denotatif mengalami hal yang sama?
Individu ingin beda dengan spesiesnya, seperti ingin selalu unggul dan berprestasi , tampil cantik, dan memiliki jabatan, simpatik, kharisma, berprestasi atau diidolakan. Semua perilaku demikian adalah imbas dari keberadaan cinta yang bertujuan positif. Karena setiap kegiatan atau aktivitas memiliki tujuan yang terarah dan terstruktur, Adler (Psikolog)
Ketika perihal yang kita lakoni tidak memiliki muara, pekerjaan itu menjadi tidak ber-value dan urgensial. Seperti Ketika guru mengajar dan mendidik, muaranya ke out put yang berilmu dan beriman. Pun ketika kita bekerja dengan maksimal ujung-ujungnya untuk prestasi dan prestise. Jadi bukanlah aktivitas yang klise dan tidak bertujuan. Pun ketika aktivitas itu tidak bertujuan, hasilnya akan minimal, karbitan, dan asal-asalan.
Banyak kasus yang terjadi akibat membabibutanya derajat cinta yang kita tempatkan terlalu tinggi . Seperti kasus Sumanto yang doyan makan daging manusia, Kasus Rian yang melakukan pembunuhan berantai, kasus perselingkuhan pada selebriti, dan sederet kasus-kasus yang sering terjadi di masyarakat. Begitu tragisnya, dan kalau dinalarkan sangatlah egois dan sangat tidak rasional. Organisasinya tanpa pandang siapa pun yang dihadapinya, tanpa melihat kasta, prestise, usia, dan semuanya akan menjadi sasarannya.
Semuanya menjadi sebuah keaiban yang sangat mempermalukan kita didepan publik. Keaiban orang janganlah dibuka, tetapi keaiban sendiri hendaklah sangka, begitu pesannya Raja Ali Haji (Tokoh Gurindam). Kita sepertinya sangat gemar mengunjingkan orang lain. Tetapi yang jelas belum pernah ada dilombakan kegiatan bergunjing ! Dan mudah-mudahan tidak akan pernah terjadi ! Karena sedikit-dikit kita sangat respek dengan berbagai lomba. Tetapi akankah sebuah kesalahan besar wajib kita tutupi ? Akankah sebuah kesalahan kita anggap sebagai hymne atau lumrah terjadi?
Begitu liar, dan sungguh tidaklah obyektif kalau sampai pribadi dikuasai oleh cinta semata. Kalau Raga dialiri oleh darah cinta yang sadis, maka pada puncaknya Semua yang dikuasainya akan membabibuta. Dan korbannya pasti banyak yang berjatuhan. Semakin banyak korban, semakin terlampiaskanlah keinginan tersebut.
Korban yang terenggut oleh kegilaan Mafioso adalah pelaku-pelaku yang mendewakan cinta di setiap sisi kehidupan. Tindakannya kadang tidak terkontrol, sarkas, tragis, dan tidak berperikemanusiaan.
Sesungguhnya semua objek yang kita garap, haruslah mampu memenejnya, kalau tidak semuanya akan mudah dipolitisir oleh subjek pembicaraan. Janganlah dikuasai oleh perasaan, keinginan, cita-cita, jabatan, dan kejayaan. Tetapi kuasailah keinginan tersebut agar semuanya mampu dilaksanakan tanpa imbas dan tendesi semata , Goethe (Filsuf)
Ketika semua dijalani berdasarkan cinta yang tidak rasional, semuanya akan menjadi permainan kotor dengan sarat noda . Begitu maniaknya terhadap cita-cita yang diimpikan, maka individu akan melakukan apa saja demi tercapainya motif yang diplaningkan.
Karena terlau sayang sekali, terlalu suka sekali, terlalu ingin sekali, jadilah kita individu yang keterlaluan dan brutal. Ya … laksana benda mati yang punya nyawa atau ibarat prasasti yang bernapas. Punya kehidupan tetapi tidak memiliki daya untuk berprinsip. Punya rival tetapi tidak memiliki kewenangan untuk pro-aktif. Dan Punya misi tetapi tidak mampu mensosialisasikan.
Memposisikan cinta pada medan dan moment yang salah, menghantarkan kita kepada posisi yang tidak menguntungkan . Person bisa menjadi koruptor karena terlalu cintanya kepada finansial. Karena terlalu cinta kepada jabatan, kita menggunakan jalan tol untuk melicinkan semuanya. kita bisa menjadi barbar , karena terlalu cinta kepada pasangan selingkuhan. Orang bisa melakukan tindakan anaskis, karena cintanya yang menggila. Cinta telah membutakan pikiran dan akal sehat, sehingga kita tidak mampu lagi berpikir secara sistematis. Tak ayal semuanya menjadi sarat dilematik dan fenomena yang krusial.
Apalagi ketika keinginan dan cita-cita itu dikomersialkan di pasar, dipasang etiketnya, diklasifikasikan golongannya. Maka jadilah pajangan yang ditawar dan dipilih semau gue oleh konsumen. Ya… kalau sudah menjadi barang pajangan, walaupun nangkring di etalase butik, tetap menjadi haknya konsumen untuk memilah dan memilihnya. Nilainya hanya sebatas finansial belaka.
Dan Ketika semuanya terjualkan, jadilah haknya konsumen yang mengaturnya, meminjamkannya, dan mencampakannya. Laksana barang yang sudah tidak terpakai, pasti di buang atau dianaktirikan oleh pemiliknya. Alias habis manis langsung ditendang. Maka jadilah barang rongsokan yang tidak punya value. Ibarat kasabandiah , di arena pekuburan.
Dengan cinta aku bersenandung, dengan puisi aku bercinta berbatas cakrawala, dengan cinta aku mengutuk napas zaman yang busuk, dan dengan cinta aku berdoa, begitu sentilnya Taufik Ismail (Sastrawan angkatan ’66). Cinta sepertinya akan menjadi terdakwa yang harus siap didudukkan di kursi pesakitan oleh pemuja yang lupa diri. Tetapi ketika semuanya memiliki wadah apakah semuanya bisa terseret ? Karena kalau satu saja yang terseret arus, semuanya ikut terdorong, hanyut dan basah kuyup .
Kadangkala cinta dijadikan tameng untuk memuluskan keinginan pihak-pihak tertentu dalam menjalankan aksinya. Maka jadilah kita ala robot yang diperintah dan dikuasai oleh remont control. Si Robot selalu stand by untuk melaksanakan memorandum yang diamanatkan oleh tuannya. Si robot pasti akan abdi dengan titah tuannya yang memegang kendali. Dan Jangan heran sekarang banyak sekali robot-robot yang siap dikendalikan dan menawarkan diri kepada publik. Robot-robot ini sangat tinggi tingkat intelengensinya, tapi pura-pura blo’on dan pandir. Dan Setiap sasarannya harus diwanti, distel, dan diberikan reward agar semuanya aman-aman saja.
Akhirnya jadilah keberadaan cinta yang dikambinghitamkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Yang bersalah layaknya sang jawara dan no coment. Pemberitaannya ditunggu-ditunggu dan menjadi deadline pers. Tapi lucunya sang Jawara tidak menampakkan fice rasa bersalah. Padahal ketika kita punya kesalahan, otomatis aura kita terbaca dari body language. Mengapa demikian ? Tidakkah fenomena ini penting untuk bahan renungan ? Ataukah hanyalah sebuah fenomena retoris yang tidak menarik untuk diseminarkan ? Ataukah hanya sebuah intermezo ? Tetapi yang jelas kita semua bukanlah golongan-golongan di atas, amin.

Rafika, S.pd
Pengajar di SMA Negeri I Bolo
×
Berita Terbaru Update