-->

Notification

×

Iklan

RENCANA PEMBENTUKAN PANSUS DPRD NTB

Tuesday, June 14, 2011 | Tuesday, June 14, 2011 WIB | 0 Views Last Updated 2011-06-14T04:02:22Z

Oleh Imam Ahmad

Usaha pertambangan adalah usaha yang mendatang¬kan penghasilan yang sangat besar (huge rents) dan juga tinggi kemungkinan untuk korupsi. Apabila instansi tidak diperkuat oleh adanya transparansi, maka pemerintah dari Negara yang kaya akan suber daya alam akan menggunakan hasil eksploitasi sumber daya alam untuk melarang proses demokrasi demi mempertahankan control politik. Pengusaha memiliki tujuan untuk mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya termasuk melakukan perbuatan yang melawan hukum karena keuntungan yang diperoleh dari pengelolaan sumber daya alam sangat besar dan dapat membayar sanksi yang diatur oleh peraturan.

Mencuatnya dugaan penyimpangan pembayaran royalty PT. NNT terhadap potensi mineral yang dieksploitasi di Batu Hijau Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) sejak dari mulai beroperasinya PT. NNT tahun 2004 lalu hingga sekarang menjadi satu isu yang menarik untuk diperbincangkan, lebih khusus lagi pada penerapan aspek transparansi atau keterbukaan pengelolaan dan pengusahaan tambang oleh pihak PT. NNT. Wacana pembentukan Pansus DPRD sendiri dipandang sebagai sebuah langkah tepat dalam mengurai benang kusut mencuatnya dugaan ketidakjujuran dalam pengelolaan dan pengusahaan tambang. Apalagi berdasarkan catatan yang dirilis oleh Indonesian Corruption Watch (ICW) menemukan adanya dugaan potensi kerugian Negara dari kurang bayarnya royalty oleh pihak PT. NNT selama tahun 2004 hingga tahun 2010 sebesar US$237,4 juta. Hal ini, menurutnya berdampak pada dugaan munculnya kerugian penerimaan Pemerintah Pusat dari dana Bagi Hasil (DBH) tambang sebesar US$47,5 juta dan munculnya dugaan kerugian penerimaan pemerintah daerah dari DBH tambang sebesar US$189,9 juta. “Untuk Pemda ini nilainya besar sekali yakni hampir mencapai US$200 juta,” beber Firdaus dalam diskusi publik sebagamaina ditulis salah satu media online Jakarta. Dikatakannya, sejak beroperasi 2004 silam hingga sekarang, PT. NNT membayar royalty yang sangat rendah. Tarif royalty untuk emas dan perak sebesar 1 %-2 % (tergantung harga penjualan). Sementara untuk tembaga, tarif royaltinya bahkan lebih rendah dari PT. Freeport Indonesia. Padahal berdasarkan PP Nomor 13 tahun 2000, tarif royalty untuk tembaga 4 % , emas 3,75 %, dan perak 3,25 %. Kerugian Negara yang paling besar adalah tidak dibayarnya royalty tembaga, mengingat itu adalah hasil produksi PT. NNT yang paling banyak,” cetusnya.
Berdasarkan informasi yang diperoleh Garda Asakota, jika mengacu pada ketentuan Undang-undang berdasarkan ketentuan UU Nomor 04 tahun 2009 tentang Minerba, khususnya Pasal 119, memberikan penegasan bahwa pemegang IUP atau IUPK dapat dicabut ijin usaha pertambangannya baik IUP atau IUPK jika melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini Meski bisa saja dalam hal ini pihak-pihak tertentu kemudian memberikan apology bahwa konteksnya bukan IUPK akan tetapi Kontrak Karya. Namun, penerapan UU Nomor 04 tahun 2009 tentang Minerba ini secara mutlak harus dipatuhi oleh semua pihak.
Dengan munculnya rencana pembentukan Pansus DPRD ini, publik tentu sangat berharap agar ada penuntasan yang jelas dan transparan dalam pengelolaan dan pengusahaan tambang oleh pihak PT. NNT ini guna mendapatkan suatu pertanggungjawaban yang jelas dan transparan dari pihak-pihak terkait, tidak hanya dalam aspek penerapan UU No 4 tahun 2009, akan tetapi juga dalam aspek penerapan hokum pidananya. Di sisi lain, adanya respon positif pihak Pemprov NTB melalui Kabag Humaspro, H. Lalu Muhammad Faozal, S. Sos, M. Si, yang turut mensupport rencana pembentukan Pansus oleh sejumlah anggota DPRD NTB, juga merupakan hal yang cukup bijak guna mempertegas proses keterbukaan dalam pembayaran royalty oleh pihak PT. NNT.* Wallahu A’lam bissawab
×
Berita Terbaru Update