-->

Notification

×

Iklan

Ujian Nasional Siswa ataukah Ujian Nasional Guru…?

Tuesday, June 28, 2011 | Tuesday, June 28, 2011 WIB | 0 Views Last Updated 2011-06-28T07:18:55Z
Bukan berarti gurunya yang melaksanakan Ujian Nasional dan mengerjakan soal-soal Ujian Nasional. Tetapi semua unsur-unsur pendidikan se¬dang dievaluasi kiner¬ja¬nya ketika berlangsungnya Ujian Nasional. Karena keberhasilan siswa adalah potret kinerja guru dan seluruh komponen pendidi¬kan; Ir. Indra DJati Sidi, P.hD.
Ujian Nasional untuk siswa ataukah Ujian Nasional untuk guru ? kedua-duanya masuk dalam kelompok dan Team yang sedang dievaluasi ! Secara tersurat siswanya memang yang dievaluasi tetapi secara tersirat gurunya juga sedang dievaluasi kinerjanya . Jadi tidak akan pernah ada “siswa siluman” atau “kunci jawaban siluman” ! Semua harus dilaksana¬kan dalam koridor yang akurat dan amanah. Dan holistiknya tak lepas dari peran orang tua, masyarakat, dan lingkungan pendidikan.
Rata-rata pada tahun pelajaran 2010-2011 prestasi pendidikan kita benar-benar mem¬bang-gakan. Dan di kabupaten Bima rata-rata hamper 100 persentase tingkat kelulusan siswanya. SMA Negeri I Bolo tahun ini juga lulus 100 persen. Maka tak sia-sialah ketika pihak sekolah tahun ini melakukan gebrakan yaitu dengan tetap memberikan bimbingan belajar selama sebulan pasca ujian sekolah.
Yang Imbasnya orang tua dan masyarakat tidak lagi “sport jantung” pasca Ujian Nasional tahun ini. Kasek SMA Negeri I Bolo, Umar H.M. Saleh, S.Pd selalu ekstra fokus mewanti-wanti dan memberikan dorongan moril kepada siswa untuk selalu aktif dan kolaboratif dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) jelang Ujian Nasional. Tetapi kadangkala guru kerap menjadi pihak yang dipersalahkan dan “ter¬mar¬jinalkan” ketika pendidikan menunjukkan hasil yang mengecewakan. Tetapi ketika hasil¬nya membanggakan guru dianggap sebagai “fortuna” yang wajib mendapat Aplaus dan ajungan jempol. And Teachers can no longer be appeased with the title “hero without reward” which is equated with being poor. Dan kita ber¬tanggung jawab pada pengambilan keputusan bagi kehidupan pribadi kita selanjutnya, begitu sentilnya Catherine pulsifer; Filsuf. Ketika ber¬langsung¬nya Ujian Nasional faktor sikologis anak juga sangat andil. Karena kondisi saat evaluasi berbeda dengan saat rutinitas KBM (kegiatan Belajar Mengajar) , Ir. Indra DJati Sidi, P.hD. Jadi kita tidak perlu saling “menuding” keti¬ka hasil evaluasi tidak memuaskan.
Seba¬liknya kita harus sama-sama saling “introspeksi bareng” agar semuanya menjadi maksimal. Tetapi mudah-mudahan tidak akan pernah ter¬jadi evaluasi yang ditunggangi oleh kepen¬tingan individu. Karena kepentingan-kepen¬tingan yang kontroversi yang bertolak belakang dengan tujuan pendidikan seutuhnya, akan melahirkan wacana yang merisaukan dan “gagal panen”.
Pendidikan itu sangat sakral karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Dan pendidikan itu harus bebas dan aman dari kepentingan politik; John F. Kenedy. Ketika Ujian Nasional dipolitisir sedemikian rupa, muaranya akan berpengaruh pada out put pendidikan. Maka “menetaslah” out put yang karbitan, asal-asalan, tidak punya value, tidak bertujuan, amoral, miskomunikasi dan pesi¬mis.Yang rentetannya menjadi menjalarlah intermezo ke kepalsuan belaka. Yang ujung-ujungnya kepada keabsahan nilai yang diperoleh siswa. Tak ada kamus “nilai sulapan” atau “nilai palsu” ! Kalau ada nilai palsu, berarti evaluasinya juga adalah palsu. karena nilai adalah cikal bakal dari evaluasi pembelajaran; F.H. Rogers. Mengapa harus ada nilai palsu ? Kinerja palsu ? Pembelajaran palsu dan asal-asalan? Ya… karena semua aktivitasnya tidak sesuai dengan prosedur berkontinyu. Dan prestasi yang berasaskan illegal, akan
senantiasa terpinggirkan di ajang olimpiade bergengsi alias hanya akan mampu menjadi Jawara di kampung sendiri. Ibarat “Menara” tinggi dan kokoh tetapi tidak “hidup” dan terga¬daikan.Dan setiap tindakan yang tidak sesuai dengan prosedur, melenceng dari aturan dan tatanan pada akhirnya akan menganggu semua planning yang diprogramkan. Sarkas memang, ketika kepalsuan itu dilegalkan atau di-SK-kan atau termandatkan. Semuanya akan merusak tatanan yang telah tersistem, binasa dan tak memberikan value sama sekali. Malah akan beresiko dan menularkan virus ganas yang mematikan bagi semua pelaku dan unsur pendidikan seutuhnya.
Dengan tidak biasa melakukan kecu¬rangan dan memenej system yang diterapkan disekolah, adalah awal yang baik untuk kedepannya. Penulis sering memperhatikan ketika adanya kekeliruan atau kesalahan teknis ketika ulangan semester di sekolah-sekolah. Ketika Ujian Nasional hampir tidak pernah ada kesalahan teknis dalam mengetikan soal, kesalahan redaksi soal, kesalahan penggan¬daan soal, kesalahan penempatan data pengawas. Lalu bagaimana dagelnya ketika kesalahan teknis ketika Ujian Nasional ? Tetapi hampir tak pernah terjadi kesalahan teknis! Tetapi sangat kontra ketika saat ulangan semester. Panitia sepertinya sudah siap dengan kesibukan yang “ didramatisir”. Keke¬liruan-kekeliruan kecil juga, akan merusak suasana pembelajaran. Dan kekeliruan ada¬lah identik dengan amburadulnya sebuah system atau lembaga. Janganlah terbiasa mela¬kukan kekeliruan, apalagi kalau kekeliruan itu terkoordinir ; Franklin D. Roosevelt.
Sampel yang sederhana juga ketika kita terbiasa membudayakan Tip Ex pada hasil evaluasi siswa. Penggunaan tip ex adalah estafet yang menghantarkan siswa ke pendi¬dikan yang bersimbol “kekeliruan tersistem”. Maka jadilah out put-out put yang “kebal” terhadap kesalahan dan hukuman. Bisa karena terbiasa dan kekeliruan itu harus dijauhi, begitu katanya ; Shakespeare. Maka tumbuh suburlah invidu-invidu yang kebal hukum, enteng melakukan kesalahan, dan adem saja menerima “umpatan” dan “cacian”.
Semua sampel tersebut harus “menular” ke jenjang yang lebih rendah, agar menjadi sistematis dan terkoordinir. Bila hendak serib daya, jika tak hendak seribu dalih, Raja Ali Haji (Tokoh Gurindam).Yang pasti kitalah yang akan menjadi tilasnya. Dan Kitalah yang akan menjadi “contoh” dan meminimalkan tradisi buruk tersebut. Sesungguhnya perubahan mendasar justru bermula dari guru. Sebagai pribadi yang mandiri guru seharusnya meru¬pakan orang yang paling memahami apa yang mesti ia lakukan untuk menyemai benih-benih perubahan, dan itu semua bermula dari dalam kelas. Selain kemampuan dalam bidang keil¬muan, guru juga harus memperkuat kemam¬puan perso¬nalnya yang antara lain; kemerde¬kaan ber¬pengetahuan, sensitifitas kepada pengeta¬huan yang dibutuhkan masyarakat, kerenda¬han hati karena keterbatasan dirinya, dan keberanian menegakkan kebenaran seutuh¬nya. Dan yang pasti bukan kebenaran yang “ bertendensi” reward semata. Mari kita bekerja lebih baik lagi dan memberikan yang terbaik untuk bangsa dan Negara kita.

*Pemerhati Pendidikan Aktif di SMA Negeri I Bolo-Bima NTB
×
Berita Terbaru Update