-->

Notification

×

Iklan

"Maulid Nabi SAW: Surat Kepada Kanjeng Nabi"

Monday, February 23, 2015 | Monday, February 23, 2015 WIB | 0 Views Last Updated 2015-02-23T04:29:38Z
Oleh: Syech Fathurrahman, MH.
Alhamdulillah, puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, berkat nikmat dan karuniaNya yang telah dilimpahkan kepada kita semua. Alhamdulillah,di bulan Rabi’ul Awal yang baru lalu, kita masihdiberi umur panjang untuk kembali memperingatiMaulid Nabi saw.
Rabi’ul Awal artinya musim bunga, adalah bulan dimana pada 14 abadsilam telah lahir manusia yang sangat-sangat mulia yang bernama Muhammad bin Abdullah. Semua pakar bersepakat bahwa Muhammad adalah manusia paling agung sepanjang sejarah manusia. Dari tolok ukur kepahlawanan, menurut Thomas Carlyle dalam buku Sejarah Pahlawan Dunia, Muhammad di peringkat satu.
Dari tolok ukur hasil karya, menurut Will Durant dalam buku Masyarakat Sipil Dunia, Muhammad di peringkat satu.
Dari tolok ukur keberanian moral, Marcus Dodds dalam bukunya: Muhammad, Budha dan Kristus, Muhammad di peringkat satu. Dari tolok ukur yang paling besar pengaruhnya serta membawa perubahan besar terhadap kehidupan umat manusia se-dunia, Michael Heart dalam bukunya 100 Tokoh, Muhammad di peringkat satu. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada manusia termulia itu, Nabi Muhammad saw. yang telah berjuang menghantarkan umat manusia kepada abad-abad pencerahan dan membangun bangunan megah Islam yang ‘rahmatan lil-‘alamin’.
Hadirin sidang jum’at rahimakumullah.
Umat Islam di muka bumi, dari abad ke abad, dari zaman ke zaman, serta dari periode kehidupannya, telah ribuan kali atau bahkan ratusan ribu kali -atau entahlah berapa persisnya- memperingati kelahiran Nabi Agung Muhammad Saw., yang mereka junjung tinggi dan mereka dekap intim dalam hati karena kemuliaannya. Setiap masyarakat Muslim, setiap kelompok, serta setiap orang mengagung-agungkannya ratusan ribu kali.
Muhammad tidak menjadi lapuk oleh panas hujan segala zaman. Muhammad dipelihara namanya di zaman orang bertani, serta di zaman pascamodern ketika kekuatan alat informasi dan komunikasi menjadi “dewa”. Muhammad tidak pernah disebut “kuno”, meski kita punya Mercedes, super laptop, HP tercanggih, serta segala jenis teknologi mutakhir yang paling dibanggakan. Muhammad tidak pernah dikategorikan sebagai manusia masa silam dengan muatan nilai-nilai dekaden, meski kita telah memiliki apapun yang melambangkan pencapaian-pencapaian kontemporer.
Muhammad tak pernah wafat. Muhammad senantiasa hadir kembali. Muhammad senantiasa lahir dan lahir kembali: memunculkan “diri”-nya dalam setiap konteks pemikiran, manifestasi peradaban dan kebudayan, serta dalam setiap produk dan ungkapan kemajuan. Muhammad tidak pernah mati, kecuali darah daging dan tulang belulangnya yang telah manunggal dengan tanah.
Badan Muhammad telah ber-tauhid dengan hakikatnya, yakni tanah itu. Muhammad yang hidup sekarang bukan lagi jasmani itu, karena telah ditransformasikan kedalam wujud-wujud yang lebih lembut dan hakiki.
Setiap transformasi selalu berlangsung dengan pengurangan, penambahan, perubahan, danpergeseran.Darahdaging Muhammad tidakterbawasampaikepadakitasekarang, apalagikenegeri Allah yang hakiki kelak.
Muhammad yang abadi, yang mengabadi, atau yang menjadi keabadian, dan hari-hari ini melintasi kehidupan kita terbuat dari segala yang dilakukannya semasa jasmaninya hidup. Wajah Muhammad kini terdiri atas seluruh nilai perilakunya dulu. Cahaya wajah itu terbuat dari sujud-sujud sembahyangnya.Badannya terbikin dari amal bajik beliau selama terlibat menghancurkan kebudayaan jahiliyah.
Kaki dan tangannya di rakit dari pahala dan jasa sosial yang kelak menolongnya memperoleh tempat paling khusus di surga jannatunna’im. Demikian juga kita kelak. Daging kita akan rapuh, kulit mengeriput, rambut memutih, dan seluruh badan kita akan musnah menjadi debu material yang hina. “Badan” dan identitas kita selanjutnya dibentuk oleh sistem assembling dari pilihan-pilihan kelakuan kita, dari kepribadian dan sikap social kita, dari barang-barang yang kita amalkan atau kita korupsi, dari segala sesuatu yang kita Islamkan atau kita curi. Teologi Islam telah memandu kita bagaimana memilih assembling karoseri diri masa depan yang terbaik dan termulia. Filosofi Islam membimbing kita untuk merancang jenis kemakhlukan macam apa kita akan menjadi kelak. Dan kosmologi Islam member pilihan kepada kita, apakah kita akan merekayasa diri menjadi benda setingkat debu, menjadi energi yang gentayangan jadi hantu dan klenik, atau menjadi api dan kayu bakar menyiksa diri sendiri, atau alhamdulillah kita lulus menempuh transformasi dari materi ke energy ke cahaya. Jika kita menjadi cahaya-karena bersih dari tindak korupsi ekonomi, penindasan politik, kecurangan sosial, penyelewengan hukum serta maksiat kebudayaan-maka insya Allah itulah yang bernama tauhid, menyatu dengan Allah: Allah nurussamawati wal-ardh.
Cahaya cikal-bakal yang pada 14abad silam -dimanifestasikan melalui seorang laki-laki yang progresif melawan arus, menjajakan tauhid di tengah-tengah berhala, yang bersedia menggenggam pedang untuk mempertahankan diri dan menegakkan nilai, dan yang bersedia tidur beralaskan daun korma. Yang kalau kelaparan dia merasa  pekewuh/hau ade- segan untuk meminta sehingga mengganjal perutnya dengan batu, dan yang meski punya bargaining power untuk berkuasa dan menumpuk harta, namun beliau lebih memilih hidup melarat.
Yaa Nabi, salaam alaika,
Betapa kami mencintaimu. Betapa hidupmu bertaburan emas permata kemuliaan, sehingga luapan cinta kami tak bias dibendung oleh apa pun. Dan jika seandainya cinta kami ini sungguh-sungguh, betapa tak bias dibandingkan, karena hanya satu tingkat belaka di bawah mesranya cinta kita bersama kepada Allah. Kami tentu akan datang ke acara peringa tan kelahiranmu di kampung kami masing-masing, namun pada saat itu nanti wajah kami tidaklah seceria seperti tatkala kami datang ke Lancar Jaya, ke pesta perkawinan, ke organ tunggal dan biola ketipung, ke tempat-tempat rekreasi Kalaki-Lawata-Amahami.
 Kami mengirim shalawat kepadamu seperti yang dianjurkan oleh Allah-karena ia sendiri beserta para Malaikat-Nya juga memberikan shalawat kepadamu. Namun umumnya itu hanya karena kami membutuhkan keselamatan diri kami sendiri.Seperti juga kalau kita bersembahyang sujud kepada Allah, kebanyakan dari kami melakukannya karena kewajiban, tidak karena kebutuhan kerinduan, atau cinta yang meluap-luap.
Kalau kami berdoa, doa kami berfokus pada kepentingan pribadi kami masing-masing. Sesungguhnya kami belum mencapai mutu kepribadian yang mencukupi untuk disebut sebagai sahabatmu, Muhammad. Kami mencintaimu, namun kami belum benar-benar mengikutimu. Kami masih takut dan terus-menerus tergantung pada kekuasaan-kekuasaan kecil di sekitar kami. Kami kecut pada atasan. Kami menunduk kepada benda-benda. Kami bersujud kepada uang, dan begitu banyak hal-hal yang picisan. Setiap tahun kami memperingati hari kelahiranmu.
Telah beribu-ribu kali umatmu melakukan peringatan itu, dan masing-masing kami rata-rata memperingati kelahiranmu tigapuluh kali. Tetapi lihatlah: kami jalan di tempat. Tidak cukup ada peningkatan penghayatan. Tak terlihat output personal maupun social dari proses permenungan tentang konsistensi. Acara peningkatan mauledmu pada kami masih involusi, bahkan mungkin degradasi dan distorsi.
Yaa Nabi, salaam alaika,
Zaman telah mengubah kami, kami telah mengubah zaman, namun kualita spercintaan kami kepadamu tidak kunjung meningkat. Kami telah lalui berbagai era, perkembangan dan kemajuan. Ilmu, pengetahuan, dan teknologi kami semakin dahsyat, namun tak diikuti dahsyatnya perwujudan cinta kami kepadamu.
Kami semakin pandai, namun kami tidak semakin bersujud. Kami semakin pintar, namun kami tidak semakin berislam. Kami semakin maju, namun kami tidak semakin beriman. Kami semakin berkembang, namun kami tidak semakin berihsan. Sel-sel memuai. Dedaunan memuai. Pohon-pohon memuai.
Namun kesadaran kami tidak. Keinsafan kami tidak. Cinta dan internalisasi ilahiyah (ketuhanan) kami tidak. Kami masih primitive dalam halakhlak-substansi utama ajaranmu. Padahal kami tak usah belajar soal akhlak, karena moral sudah menjadi naluri manusia; berbeda dengan kaum jin yang ilmu mereka tak usah belajar namun soal akhlak, mereka harus belajar. Ironisnya, akhlak kaum jin banyak yang lebih bagus dari kami.
Sebab kami masih bias menjual iman dengan harga beberapa ribu rupiah. Kami bias menggadaikan Islam seharga emblem nama dan segumpal kekuasaan.
Kami bias memperdagangkan nilaiTuhan seharga jabatan kecil yang masa berlakunya sangat sementara. Kami bias menipu, meliciki, mencurangi, menindas, dan menghisap saudara kami sendiri, hanya untuk beberapa lembar uang. Kami pun bias memukul, menumpahkan darah bahkan membantai saudara kami seiman-seagama.
Yaa Nabi, salaam alaika,
Padahal kami mengaku sebagai pengikutmu, ya Muhammad. Padahal engkaua dalah pekerja amat keras disbanding kemalasan kami. Padahal engkaua dalah negarawan agung disbanding ketikusan politik kami. Padahal engkau adalah ilmuwan ulung disbanding kepandaian semu kami.
Padahal engkau adalah seniman anggun dibanding vulgar-nya kebudayaan kami. Padahal engkau adalah pendekar mumpuni dibanding kepengecutan kami. Padahal engkau adalah strategi dahsyat dibanding berulang-ulangnya keterjebakan kami oleh sistem Abu Jahal kontemporer. Berulang-ulang politisi membujuk kami untuk menyerahkan darah kehidupan kami untuk dihisap oleh dracula kapitalis yang berkedok investor dengan janji royalti kemakmuran. Padahal dimana-mana setelah investor pergi, kami tetap menjadi petani miskin. Padahal engkau adalah mujahid yang tak mengenal putusasa disbanding deretan kekalahan-kekalahan kami. Padahal engkaua dalah pejuang yang sedemikian gagah perkasa terhadap godaan benda emas disbanding kekagumam tolol kami terhadap hal yang sama.
Padahal engkaua dalah moralis kelas utama disbanding kemunafikan kami. Engkau adalah panglima kehidupan yang tak terbandingkan dibanding mental prajurit kepribadian kami. Engkau adalah pembebas kemanusiaan. Padahal engkaua dalah pembimbing kemuliaan. Engkau adalah penyelamat nilai kemanusiaan. Engkau adalah organisator dan manajer yang penuh keunggulan disbanding kesemrawutan keumatan kami. *)

*Disampaikan saat Khutbah Jumat di Masjid Nurul Qalbi Kota Bima,
Jumat tanggal 13 Februari 2015
×
Berita Terbaru Update