Kota Bima, Garda Asakota.-
Setelah beberapa bulan yang lalu Kota Bima digemparkan dengan infor¬masi hilangnya meriam di depan kantor Polresta Bima yang merupakan benda cagar budaya yang dilindungi oleh peme¬ rintah, meskipun pada akhirnya ditemu¬kan, dan ternyata disimpan oleh salah satu tokoh masyarakat karena dalam perawatan. Kini masyarakat Kota Bima dihadapkan pada permasalahan terkait atas kepemilikan tanah yang sudah bersertifikat di gunung Parapimpi Cabang Malake. Padahal menurut informasi wartawan, tanah di atas gunung Parapimpi itu merupakan aset budaya dan situs sejarah.
Persoalan ini mulai terkuak ketika sekira pukul 10:00 Wita Kamis kemarin (6/1), staf dari BPN (Badan Pertanahan Nasional) Kota Bima datang ke gunung Parapimpi untuk mengukur serta mengembalikan batas tanah yang ada. Pengukuran itu berdasarkan permintaan pemilik tanah yang sudah bersertifikat resmi atas nama Jaelani.
Namun ketika petugas dari BPN hendak mengukur, ternyata puluhan warga kampung Pane tersebut menolak pengukuran yang dilakukan karena mereka menganggap bahwa tanah yang berada di Gunung Parapimpi tersebut merupakan bagian dari aset budaya dan sejarah Bima. Menyikapi aksi warga ini, tampak sejumlah aparat kepolisian berjaga-jaga untuk mengamankan jika terjadi keributan.
Ketua Rt. 05 lingkungan Pane, Dah¬lan Ahmad, kepada sejumlah wartawan menegaskan penolakan warga kam¬pung Pane atas sikap BPN Kota Bima yang melakukan pengukuran batas tanah. “Karena kami menganggap bah¬wa tanah tersebut merupakan aset bu¬da¬ya dan situs sejarah jadi dilindungi oleh pemerintah, bukan untuk diperjual belikan. Kami juga menanyakan pada petugas BPN yang datang mengukur, untuk memberitahukan kapan penguku¬ran tanah tersebut berlangsung dan siapa saja saksinya?, karena selama ini kami tidak pernah melihat petugas dari BPN Kota Bima datang mengukur, namun pertanyaan kami tidak di gubris. Jadi kami merasa bahwa ada keganjilan dalam hal ini,” ungkapnya.
Dahlan mengaku dulunya pernah ada warga meminta izin kepada Ferry Zulkarnain agar di atas tanah tersebut bisa dibangun semacam Polindes dan bangunan lainnya yang berguna untuk masyarakat. Namun saat itu, kata dia, permintaan itu ditolak karena di areal itu gunung Parapimpi tidak bisa di bangun dengan bangunan apapun. “Karena tanah tersebut merupakan salah satu aset budaya dan peninggalan sejarah Bima,” akunya.
Sementara itu, pihak BPN Kota Bima melalui Ikhsan, SH, selaku Kasi Sengketa BPN Kota Bima mengaku sangat memaklumi sikap warga masya¬rakat yang menolak pengukuran ter¬sebut. Hanya saja ditegaskannya bah¬wa pengukuran yang dilakukan pihak¬nya tersebut sudah sesuai dengan per¬aturan dan ketentuan undang- undang.
Sebenarnya, kata dia, dasar kepemi¬likan tanah tersebut berdasarkan ser¬tifikat atas nama Ashari M. Jafar, ber¬dasarkan SK Kepala Dinas Agraria Provinsi NTB Tgl 30/sept/1983 dengan nomor SK 593.21.89/1983. Adapun surat ukur tanah tersebut tgl 14/
Februari/1983 No.591/83 seluas 349 meter persegi.
“Pada waktu itu, Ashari mendapat¬kan sertifikat tersebut karena dia pernah mengajukan permohonan hak atas ta¬nah tersebut, sehingga mendapat respon dari pemerintah, baik itu kepala Agraria (BPN, red), kepala bagian tata pemerin¬tah, camat Rasanae Barat dan kepala desa, yang menyetujui pemberian hak ter¬sebut. Tapi yang bersangkutan (As¬hari, red) mengalihkan hak kepemilikan tanah tersebut atas nama Jaelani.
Jadi kami melakukan pengukuran berdasarkan hak peralihan atas nama Jaelani yang merupakan pemilik resmi dari tanah tersebut karena tercatat di BPN,” tegasnya. Adapun akta jual beli dari PPAT dan Camat Rasanae Barat yang saat itu dijabat oleh M. Nor H. Majid tertanggal 4/5/2007 NO. III/R.Barat/2007 dan hak peralihan terse¬but tercatat resmi di BPN Kota Bima tanggal 14/5/2007. “Justru kami mem¬pertanyakan apakah ada SK yang menyatakan bahwa gunung Parapimpi merupakan aset budaya dan situs sejarah kemudian batas dan luasnya berapa?,” tanyanya.
Menanggapi permasalahan tersebut, Ketua Komisi A DPRD Kota Bima, Sudirman DJ, SH, mengungkapkan bahwa persoalan itu berawal ketika warga masyarakat mempertanyakan pengukuran ulang atas tanah tersebut, karena mereka tidak pernah melihat pengukuran awal yang dilakukan pihak Agraria. “Masyarakat tidak menerima karena mereka menganggap ini adalah aset dan situs sejarah,” katanya.
Sudirman mengaku, menyikapi masalah ini pihaknya akan bersurat kepada BPN Kota Bima, Pejabat PPAT dan Tata Pemerintahan dan tokoh masyarakat untuk mengklarifi¬kasi secara kekeluargaan agar per¬soalan ini tidak menjadi gejolak di tengah masyarakat. (GA. 334*)
Setelah beberapa bulan yang lalu Kota Bima digemparkan dengan infor¬masi hilangnya meriam di depan kantor Polresta Bima yang merupakan benda cagar budaya yang dilindungi oleh peme¬ rintah, meskipun pada akhirnya ditemu¬kan, dan ternyata disimpan oleh salah satu tokoh masyarakat karena dalam perawatan. Kini masyarakat Kota Bima dihadapkan pada permasalahan terkait atas kepemilikan tanah yang sudah bersertifikat di gunung Parapimpi Cabang Malake. Padahal menurut informasi wartawan, tanah di atas gunung Parapimpi itu merupakan aset budaya dan situs sejarah.
Persoalan ini mulai terkuak ketika sekira pukul 10:00 Wita Kamis kemarin (6/1), staf dari BPN (Badan Pertanahan Nasional) Kota Bima datang ke gunung Parapimpi untuk mengukur serta mengembalikan batas tanah yang ada. Pengukuran itu berdasarkan permintaan pemilik tanah yang sudah bersertifikat resmi atas nama Jaelani.
Namun ketika petugas dari BPN hendak mengukur, ternyata puluhan warga kampung Pane tersebut menolak pengukuran yang dilakukan karena mereka menganggap bahwa tanah yang berada di Gunung Parapimpi tersebut merupakan bagian dari aset budaya dan sejarah Bima. Menyikapi aksi warga ini, tampak sejumlah aparat kepolisian berjaga-jaga untuk mengamankan jika terjadi keributan.
Ketua Rt. 05 lingkungan Pane, Dah¬lan Ahmad, kepada sejumlah wartawan menegaskan penolakan warga kam¬pung Pane atas sikap BPN Kota Bima yang melakukan pengukuran batas tanah. “Karena kami menganggap bah¬wa tanah tersebut merupakan aset bu¬da¬ya dan situs sejarah jadi dilindungi oleh pemerintah, bukan untuk diperjual belikan. Kami juga menanyakan pada petugas BPN yang datang mengukur, untuk memberitahukan kapan penguku¬ran tanah tersebut berlangsung dan siapa saja saksinya?, karena selama ini kami tidak pernah melihat petugas dari BPN Kota Bima datang mengukur, namun pertanyaan kami tidak di gubris. Jadi kami merasa bahwa ada keganjilan dalam hal ini,” ungkapnya.
Dahlan mengaku dulunya pernah ada warga meminta izin kepada Ferry Zulkarnain agar di atas tanah tersebut bisa dibangun semacam Polindes dan bangunan lainnya yang berguna untuk masyarakat. Namun saat itu, kata dia, permintaan itu ditolak karena di areal itu gunung Parapimpi tidak bisa di bangun dengan bangunan apapun. “Karena tanah tersebut merupakan salah satu aset budaya dan peninggalan sejarah Bima,” akunya.
Sementara itu, pihak BPN Kota Bima melalui Ikhsan, SH, selaku Kasi Sengketa BPN Kota Bima mengaku sangat memaklumi sikap warga masya¬rakat yang menolak pengukuran ter¬sebut. Hanya saja ditegaskannya bah¬wa pengukuran yang dilakukan pihak¬nya tersebut sudah sesuai dengan per¬aturan dan ketentuan undang- undang.
Sebenarnya, kata dia, dasar kepemi¬likan tanah tersebut berdasarkan ser¬tifikat atas nama Ashari M. Jafar, ber¬dasarkan SK Kepala Dinas Agraria Provinsi NTB Tgl 30/sept/1983 dengan nomor SK 593.21.89/1983. Adapun surat ukur tanah tersebut tgl 14/
Februari/1983 No.591/83 seluas 349 meter persegi.
“Pada waktu itu, Ashari mendapat¬kan sertifikat tersebut karena dia pernah mengajukan permohonan hak atas ta¬nah tersebut, sehingga mendapat respon dari pemerintah, baik itu kepala Agraria (BPN, red), kepala bagian tata pemerin¬tah, camat Rasanae Barat dan kepala desa, yang menyetujui pemberian hak ter¬sebut. Tapi yang bersangkutan (As¬hari, red) mengalihkan hak kepemilikan tanah tersebut atas nama Jaelani.
Jadi kami melakukan pengukuran berdasarkan hak peralihan atas nama Jaelani yang merupakan pemilik resmi dari tanah tersebut karena tercatat di BPN,” tegasnya. Adapun akta jual beli dari PPAT dan Camat Rasanae Barat yang saat itu dijabat oleh M. Nor H. Majid tertanggal 4/5/2007 NO. III/R.Barat/2007 dan hak peralihan terse¬but tercatat resmi di BPN Kota Bima tanggal 14/5/2007. “Justru kami mem¬pertanyakan apakah ada SK yang menyatakan bahwa gunung Parapimpi merupakan aset budaya dan situs sejarah kemudian batas dan luasnya berapa?,” tanyanya.
Menanggapi permasalahan tersebut, Ketua Komisi A DPRD Kota Bima, Sudirman DJ, SH, mengungkapkan bahwa persoalan itu berawal ketika warga masyarakat mempertanyakan pengukuran ulang atas tanah tersebut, karena mereka tidak pernah melihat pengukuran awal yang dilakukan pihak Agraria. “Masyarakat tidak menerima karena mereka menganggap ini adalah aset dan situs sejarah,” katanya.
Sudirman mengaku, menyikapi masalah ini pihaknya akan bersurat kepada BPN Kota Bima, Pejabat PPAT dan Tata Pemerintahan dan tokoh masyarakat untuk mengklarifi¬kasi secara kekeluargaan agar per¬soalan ini tidak menjadi gejolak di tengah masyarakat. (GA. 334*)