Oleh: Ilham Abdul Rasul
Arus perubahan pada negara berkembang dalam satu dekade terakhir sangat dina¬mis, krisis ekonomi yang disusul dengan adanya krisis politik dan hukum pada wilayah Asia dan Eropa tak terkecuali pada sebagian wilayah Amerika Serikat menunutut Negara dan masyarakat untuk terus melakukan eksperimen terhadap upaya dekonstruksi tatanan Negara, bahkan lebih ekstrim pada sebagian Negara berkem¬bang di Asia melakukan amandemen terhadap Undang-Undang Negara sebagai standar hukum tertinggi Negara,pasca runtuhnya rezim Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun Indonesia mengalami krisis ekonomi yang berkepanjangan. Hal ini ditandai dengan angka inflasi yang sangat tinggi, Pemutusan hubungan kerja (PHK), nilai tukar rupiah yang terus mele¬mah, daftar utang luar negeri yang makin ber¬tum¬puk, minimnya ketersediaan pangan dalam negeri, belum lagi pada sisi moral mentalitas birokrat warisan orde baru yang tidak berpara¬dig¬ma melayani. Korupsi merajalela pada se¬mua level kehidupan membuat hampir seluruh rakyat Indonesia mengalami kebingungan dalam memulai Indonesia baru harus pada sisi mana, merumuskan Indonesia baru yang bebas dari segala masalah menuntut rakyat harus melakukan Dekonstruksi pada hampir seluruh segmen kehidupan, mulai dari dimensi ekonomi, politik, hukum dan seluruh dimensi kehidupan sosial lainnya, penataan sistem kenegaraan terus dilakukan, penyelesaian masalah terus didorong, bongkar pasang Undang-Undang tidak terelakkan, dan yang lebih penting Indonesia mengalami krisis Nasionalisme yang mengancam terjadinya disintegrasi bangsa, beberapa daerah yang kaya sumber daya alam yang merasakan adanya ketidakadilan terus mendeklarasikan diri sebagai negara merdeka sebut saja Papua, Sulawesi, Kalimantan dan Aceh. Kesemuanya itu secara perlahan dapat diredakan kendati tidak dapat dipungkiri masih menyisakan ancaman bagi Indonesia bahkan sewaktu-waktu hal ini dapat menjadi bom waktu bagi ancaman Disintegrasi Bangsa.
Pada skala yang lebih mikro kecenderungan Daerah untuk melakukan pemekaran atas nama kedekatan pelayanan dan berlimpahnya kekayaan alam menjadi spirit bagi munculnya perjuangan rakyat untuk membentuk Daerah baru mulai dari tingkat Desa sampai pada level Propinsi bahkan tidak jarang hal ini menjadi euforia (kalau tidak mau disebut ‘latah’) terdapat sekelompok masyarakat yang menjadikan subsidi Pemerintah Pusat sebagai andalan untuk membiayai segala sesuatu kebutuhan lokalitas Daerah jika tuntutan pemekaran ter¬wujud, ditambah lagi dengan libido kekuasaan elite politik lokal yang tidak kebagian kue kekuasaan ikut mendorong adanya pemekaran wilayah. Kecenderungan semacam ini sangat berbahaya bagi eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang juga berarti ancaman besar bagi eksistensi daerah yang masih tergolong miskin, sebab bagaimana tidak subsidi Pemerintah Pusat yang terejawantah melalui Dana Perimbangan sebagian besar diambil dari Pendapatan Nasional yang bersumber dari Pendapatan Daerah yang kaya sumber daya alam khususnya pada sektor pertambangan dan minyak bumi, ketika arus politik lokal meng¬hendaki adanya pemisahan diri dari wilayah Negara kesatuan Republik Indonesia maka dapat dipastikan daerah miskin yang tidak memiliki kekayaan sumber daya alam memadai akan kehilangan sejumlah sumber pembiayaan daerah secara signifikan khususnya pendapa¬tan daerah yang bersumber dari subsidi Peme¬rintah Pusat, kondisi ini menggambarkan bahwa hanya daerah yang memiliki kesiapan sarana dan prasarana bagi terwujudnya kemandirian daerah saja yang mampu bertahan sebaliknya yang tidak memiliki kesiapan untuk itu dapat dipastikan akan bubar alias gulung tikar.
Tantangan ini harus menjadi kesadaran utuh bagi semua warga negara terkusus bagi Pemerintah daerah yang dalam kurun waktu satu dekade belakangan mengandalkan subsidi Pemerintah Pusat untuk membiayai segala kebutuhan daerah, Identifikasi dan pemanfaatan potensi Daerah secara berkelanjutan menjadi hal yang tidak terelakkkan bagi daerah untuk terus mendorong dan menciptakan sumber pendapatan daerah dalam menjawab sejumlah kebutuhan masa depan yang makin tinggi, pena¬taan kelembagaan pemerintah daerah yang berorientasi pada nilai guna dan manfaat bagi rakyat harus segera dilakukan untuk menghin¬dari pemborosan anggaran, penempatan apa¬ratur sesuai dengan kapasitas dan konpentensi aparatur ikut menentukan pencapaian visi dan misi daerah, pembobotan aparatur dengan terus mendorong program peningkatan kapasitas dan konpetensi untuk perbaikan kinerja pemerintah menjadi sangat dibutuhkan, rekrutment pegawai negeri sipil secara fair dan obyektif dengan tetap memperhatikan asas kebutuhan pelayanan pe¬me¬rintah daerah dapat menjamin adanya peme-rintahan yang berkualitas (Pemerintah Daerah dengan aparatur yang memahami tugas dan fungsi, Pemerintah Daerah dengan aparatur yang secara sadar mengerti makna melayani, pemerintah daerah dengan aparatur yang me¬nem¬patkan rakyat sebagai partner aktif, dan peme¬rintah daerah dengan aparatur yang tidak korup), kesemuanya itu hanya dapat dilakukan jika pemimpin daerah (Gubernur/Bupati/Wali¬kota) konsen membangun pemerintahan rakyat.
Dalam konteks pemerintah daerah Kabu¬paten Bima terdapat sejumlah masalah krusial yang bersifat segera membutuhkan perhatian serius Pemerintah Daerah segera ditangani, perubahan Pendapatan Asli Daerah (PAD) selama 2 dekade terakhir bergerak sangat lamban yang diakibatkan oleh lemahnya daya dorong Pemerintah Daerah untuk meningkatkan pendapatan perkapita masyarakat yang secara linear mengakibatkan daya beli masyarakat rendah berikut kemampuan dan kapasitas masyarakat untuk memberi konstribusi bagi penambahan pendapatan daerah tidak signifi¬kan, kebijakan pemerintah daerah dari sisi anggaran yang tidak berorientasi pada pem¬bangunan ekonomi masyarakat skala mikro menyebabkan girah usaha masyarakat menjadi sangat kecil akibatnya angka pengangguran yang kemudian menambah beban daerah terus mengalami kenaikan dan secara linear menam¬bah jumlah masyarakat miskin di Kabupaten Bima, proses pemiskinan secara struktur dan sistimatis ini terlihat jelas dari postur anggaran 2010 yang tergambar seperti piramida terbalik, alokasi anggaran untuk sektor anggaran rutin yang jauh lebih besar dari alokasi belanja pem¬bangunan menjadi cerminan bagi kurangnya perhatian pemerintah daerah Bima dalam mem¬berdayakan masyarakat, skenario pembangu¬nan ekonomi skala makro khususnya berkaitan penumbuhan iklim investasi daerah dari sisi ke¬bijakan anggaran tidak memberi nilai signifikan bagi tahapan penumbuhan investasi daerah, hal ini tergambar dengan jelas dari alokasi anggaran untuk pemetaan potensi investasi dan promosi potensi sumber daya alam daerah sangat kecil. (sumber : Dokumen belanja lang¬sung APBD Kabupaten Bima 2010), begitu pula dari sisi ketersediaan sarana dan prasarana sangat tidak memadai, promosi pariwisata yang dapat menumbuhkan daya tarik wisatawan tidak signifikan bagi upaya memancing investor luar masuk ke Bima untuk berinvestasi.
Apa yang terlihat dari postur anggaran tersebut sangat tidak sesuai dengan kehendak Undang-Undang no.33 tahun 2004 pasal 66 ayat 1 “keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggungjawab dengan memperharhatikan keadilan, kepatutan dan manfaat untuk masyarakat. Terkait isi dari pasal Undang Undang No.33 tahun 2004 tersebut terdapat beberapa poin penting yang terkandung didalamnya yakni; (pertama)Tertib dan taat terhadap aturan Perundang-Undangan, yang dimaksud yakni pemerintah daerah dalam hal pengelolaan keuangan senantiasa menjadikan aturan Perundangan sebagai dasar hukum mulai pada tahap perencanaan sampai pada tahapan pengawasan, (kedua); Efisien, ekonomis dan transparan; yakni pengelolaan anggaran senantiasa berdasarkan pada asas manfaat untuk kepentingan jangka panjang dengan meminimalkan semua biaya yang dikeluarkan dengan tujuan utamanya yakni dapat memberi manfaat ekonomis bagi pemerintah daerah dan masyarakat yang ada dalam wilayah daerah tersebut, (ketiga); Bertanggung Jawab; yakni semua yang menjadi program atau kebijakan Pemerintah Daerah terkait pengelolaan anggaran senantiasa dapat dipertanggung jawabkan dengan tetap menggunakan asas keterbukaan dan secara partisipatif tetap melibatkan masyarakat.
Kerangka dasar bagi perwujudan penge¬lolaan keuangan daerah yang berbasis pada efisiensi, ekonomis dan efektif lebih merujuk pada logika bagi terwujudnya nilai tambah (value added) yang secara real dapat dihasilkan oleh setiap rupiah angka yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah dalam membiayai semua program yang disusun dan dilaksanakan oleh pemerintah daerah yang secara teknis dilaksa¬nakan pada setiap satuan unit kerja daerah (SKPD). Dengan demikian orientasi pem¬biayaan daerah dari segi belanja pembangunan harus diorientasikan pada peningkatan kualitas layanan yang lebih jauh dapat menumbuhkan girah usaha masyarakat dalam meningkatkan pendapatan mereka, secara real pemerintah harus dapat membuat pemetaan kebutuhan masyarakat dari berbagai profesi mulai dari peta¬ni, nelayan, pedagang kaki lima, dan lain-lain untuk dapat membuat skala prioritas pem¬bangunan bagi kemudahan permodalan kerja, distribusi barang dan jasa, stabilitas harga pro¬duk, sampai pada tahap pemasaran dan penge¬masan produk mentah menjadi produk jadi. Hal ini dibutuhkan regulasi yang jelas dan tegas untuk memberikan kepastian hukum bagi semua stake holder yang ada di Kabupaten Bima.
Pengentasan kemiskinan dan upaya mengatasi lajunya angka pengangguran di kabupaten bima sebagai bagian penting bagi perwujudan masyarakat mandiri dilihat dari sisi kebijakan anggaran sama sekali tidak terlihat adanya konsen pemerintah daerah Kabupaten Bima untuk itu, kecenderungan pemerintah daerah dari tahun ke tahun membuka ruang penerimaan tenaga honerer daerah bahkan tenaga sukarelawan daerah menjadi bukti betapa pemerintah daerah Kabupaten Bima tidak memiliki formula yang berkualitas untuk menangani lajunya angka pengangguran, pertumbuhan penduduk dan meningkatnya angka sekolah di Kabupaten Bima berikut luaran pendidikan tinggi yang membutuhkan lapangan kerja tentu saja tidak dapat dijawab dengan menambah kuota penerimaan PNSD, tenaga honorer daerah atau tenaga relawan daerah disamping secara kuantitatif tidak seimbang juga akan berakibat pada lahirnya masyarakat yang berparadigma “bersekolah untuk bisa menjadi PNS” dan lebih jauh akan berakibat pada lahirnya generasi instan yang bersekolah untuk memburu Ijazah bahkan mungkin secara nekat bisa melewati langkah yang tidak etik dengan cara membeli ijazah, karena itu tidak ada kata lain bagi pemerintah daerah jika memiliki visi kerakyatan harus melakukan langkah peruba¬han jika tidak mau menggunakan istilah peruba¬han revolusioner dalam melakukan penataan kembali agenda dan program pemerintah, kemauan dan keberanian pemerintah daerah untuk melakukan perubahan secara real dapat diwujudkan dengan cara: (pertama); Memang¬kas 5-10% Anggaran belanja wajib aparatur khususnya pada sektor honor pejabat daerah dan biaya perjalanan dinas untuk kepentingan pemberdayaan ekonomi skala mikro dengan mendorong munculnya industri rumahan masya¬ rakat (home industry), (kedua); Memfokuskan kebijakan anggaran pada sektor belanja pembangunan untuk memfasilitasi kepentingan stake holder pada semua profesi bagi akselerasi distribusi barang dan jasa dan nilai tambah produk dengan tetap mempertimbangkan potensi andalan untuk menentukan skala prioritas pembangunan, (ketiga); Melakukan reformasi birokrasi kelembagaan pemerintah daerah dengan melakukan perampingan seba¬hagian satuan unit kerja atau dengan melakukan penggabungan (merger) untuk menghindari pemborosan anggaran daerah.
(keempat); Mendorong investasi daerah dengan melakukan maksimalisasi fungsi dan peran badan usaha milik daerah (BUMD) dan meningkatkan penyertaan modal daerah kepa¬da BUMD, dan secara eksternal pemerintah Kabupaten Bima segera melakukan pemetaan potensi budaya dan pariwisata berikut pem¬benahan dan penataan sarana dan prasarana pariwisata dan yang lebih penting Dinas Pari¬wisata secara berkelanjutan terus melakukan promosi wisata melalui media nasional dan jaringan internet, hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan angka kunjungan wisata transdaerah bahkan trans¬nasional dan secara jangka panjang diharapkan dapat memancing investor luar berkenan untuk berinvestasi di Kabupaten Bima.*)
Penulis: Sekretaris Kerukunan Keluarga Bima (KKB) Makassar.