Salam Redaksi
Oleh; Imam Ahmad
Korupsi merupakan suatu tindakan kejahatan ekstra ordinary (extra ordinary crime) yang diyakini dapat melumpuhkan sendi-sendi kehidupan Masyarakat dan Negara.
Banyak program pembangunan di Negeri ini yang tidak berjalan efektif karena sebagian besar anggarannya ‘digarong’ oleh para pelaku korupsi.
Di NTB, tingkat partisipasi masyarakat dalam mendorong minimalisasi terjadinya tindak kejatahan ekstra ordinary ini begitu besar. Salah satu contoh, misalnya dalam minggu-minggu ini salah satu elemen Pergerakan Pemuda dan Mahasiswa Bima-Mataram yang disingkat GEBPMABI Mataram NTB terus menerus melakukan aksi di KEJATI NTB menuntut percepatan penanganan dugaan korupsi kasus pekerjaan timbunan Kantor Pemkab Bima senilai Rp9,7 Miliar yang diduga melibatkan pejabat penting dan oknum pihak pelaksana pekerjaan proyek.
Meskipun aksi tersebut sudah dilakukan selama sepuluh (10) kali di Kejati NTB sejak bulan Juli hingga September 2012 ini, namun pihak Kejati NTB mengatakan penanganan kasusnya masih dalam tahapan penyelidikan dan belum ada tersangka yang ditetapkan.
Kejati NTB pun, kata Asisten Intel Kejati NTB, Nanang Sigit yulianto, tidak ingin terlalu boombastis berbicara di Media Cetak maupun elektronik terkait penanganan suatu kasus.
Keterbukaan dan transparansi penanganan suatu kasus mestinya sangat perlu dilakukan untuk menghindari kesan terjadinya perlindungan atau tudingan persekongkolan terhadap para terduga korupsi dari elemen masyarakat.
Keterbukaan informasi menyangkut perkembangan penanganan kasus dugaan korupsi ini juga akan mengurangi sikap apatis masyarakat terhadap institusi penegak hukum dan hal ini tentu akan sangat mengganggu kinerja institusi penegak hukum itu sendiri.
Makanya wajar-wajar saja jikalau Ketua GEBPMABI NTB, Ilham Samili, dan Korlap Aksi GEBPMABI NTB, mendesak pihak Kejati NTB agar transparan dan bersikap terbuka dalam menangani kasus yang dinilainya melibatkan para petinggi di Kabupaten Bima tersebut.
Ini semua bisa dipahami sebagai sebuah langkah memproteksi agar pihak Kejati NTB pun tidak ‘masuk angin’ dalam menangani laporan masyarakat terkait adanya indikasi korupsi dalam penyelenggaraan program pemerintah tersebut.
Sekiranya muncul desakan yang kuat dari elemen pergerakan seperti GEBPMABI ini, maka hal itu harus terus disupport dan didukung penuh oleh para institusi penegak hukum sebagai ‘personal warning’ bagi institusi ini untuk terus berada pada garis yang benar sesuai dengan amanat konstitusi yang diembannya.
Hal yang sama juga semestinya harus dimiliki oleh elemen pergerakan yang ada untuk terus memproteksi diri agar tidak mudah masuk angin atau ‘mencret’ karena adanya ‘virus’ yang menjangkiti dan memundurkan gerakan anti korupsi itu sendiri.
Langkah proteksi ini bisa dilakukan dengan semakin memperkuat daya tahan ‘ideologi’ yang dianut oleh elemen pergerakan itu sendiri dengan mendasarkan bahwa gerakan itu sebagai sebuah peran ‘ibadah’ atas dasar Amar Ma’ruf Nahi Mungkar. Wallahu’alam Bissawab*).