Oleh: Rafika,S.Pd
Walau kita tidak hidup di alam penjajahan, tapi kita bisa merasakan dan membayangkan bagaimana sepak terjangnya kompeni kala itu. Mereka menghalalkan segala cara untuk mencari dan menjatuhkan lawannya. Bayangkan selama 350 tahun kinerja mereka sangat licik dan saudara kita kala itu menderita lahir batin. Ngeri dan luar biasa menyakitkan ketika merenungkannya kembali masa-masa itu. Jangankan rentang waktu yang begitu lama, mendengarnya, menonton, dan membaca sejarahnya saja membuat kita mendidih ,merinding, ngeri,radang, dan amarah. Masih adakah model-model seperti itu di alam kemerdekaan ini ?
Bagaimana kualitas kinerja mereka ? Apakah selicik antek-anteknya kompeni kala itu ? Apakah sudah tidak ada aktivitas utama selain menjadi kaki tangan ? Adakah Kepentingan yang tidak bisa ditunda atau mendesak sehingga dengan sengaja ikhlas menjadi kaki tangan ?Super Luar biasa bahayanya kalau dalam masa sekarang masih ada yang mencari makan dan berprofesi sebagai kaki tangan ala kompeni. Kaki tangan jelasnya adalah orang yang diperalat untuk membantu. Tenaganya dibutuhkan untuk melicinkan jalan agar mencapai cita-cita yang diinginkan, alias lewat jalan tol. Masa-masa itu luar biasa memilukan dan sarat dengan penindasan dan kediktatoran. ? “Berperilaku jujur memang sulit. Namun, bukan berarti tidak mungkin dilakukan.” Mahatma Gandhi (1869-1948), filsuf India dan “Seseorang akan menjadi bijaksana ketika dia mulai menghitung sedalam apa kira-kira kebodohannya.” Gian Carlo Menotti (1911-2007) Tetapi Ketika hidup hanya untuk mengurus dan berbakti kepada orang lain yang berhubungan dengan loyalitas yang dipolitisir, sia-sia sajalah hidup ini dan tak berguna sama sekali. Ya… tak ubahnya seperti sebuah korsase pemanis kostum ketika ritual. Harus ada dinamika, kolaboratif dan gebrakan yang konstruktif untuk segala-galanya. Jangan hanya menunggu, menunggu, dan menunggu sesuatu yang nisbi terjadi. Terlambat sedetik saja berarti kita telah kalah telak, dan orang lain yang akan keluar sebagai pemenangnya yang diiringi deraian tertawa ejekan, Abraham Lincoln. Kita harus selangkah demi maju dari orang lain, dan Kita harus keluar sebagai pemenangnya, John F Kenedy. Cause , The live like a competition. ? Dan Orang-orang yang berkompeten mampu mendapatkan pengabdian yang baik dari pasukan yang kemampuannya buruk, sebaliknya yang tidak kapabel justru menjatuhkan moral pasukan terbaik ! Anda pernah menjadi kaki tangan atau pernah menjadi pencatut kaki tangan ? Atau terjun ke bursa kaki tangan ? Jangankan melakoninya, mendengarnya saja kita sudah merinding ngeri dan ingatan kita mengembara ketika masa-masa perjuangan dan penjajahan dulu. Masihkah peristiwa itu ada dan terjadi kini ? jawabannya Masih ! Ya… masih ! minimal kita telah menjadi kaki tangan keinginan kita yang tidak mampu dan berhak kita miliki. kita tidak ingin merdeka dan damai dalam meniti sisa-sisa hidup dengan kedamaian yang kamil. Mengapa harus ada kaki tangan ? Ya… karena kita sendiri mau menjajah diri sendiri. Kalau diri sendiri saja kita tega menjajahnya dan menjadi antagonisnya. Bagaimana lebih sadisnya ketika kita menjajah, dan dijajah oleh orang lain atau bangsa lain ? Tapi anekdotnya kita malah santai saja menyikapi semuanya. Tak ada rasa tertekan, terhina, teraniaya,terpasung dan terbelenggu. Ataukah kita memang “haus” untuk dijajah ? Benar-benar spektakuler dan carut marutnya kita dalam wilayah jajahan sendiri. Tidak ada perasaan terbebani, malah enjoy, no coment, And sure saja . Atau jangan-jangan kita malah “menikmati” hasilnya, tanpa mau peduli dengan komunitas lain. Sesungguhnya kita sangatlah penakut ! takut pada diri sendiri , dan orang lain. Untuk berkata “tidak” saja kita tak kuasa dan berat, apalagi kepada orang lain.Berorasi, dan Protes kepada pribadi adalah latihan dasar untuk melangkah ke tingkatan yang superlatif. Idealislah dalam segala behavior agar tidak selamanya menggantungkan diri pada orang lain. Kalau terbiasa menjadi kaki tangan, ya… akan sulitlah kita berdialog dengan lingkungan. Diri kita adalah hak paten kita, bukan milik orang lain, bukan berdasarkan titah orang lain, dan bukan abdi orang lain. Kepemilikan adalah hak asasi yang tidak boleh diselewengkan ! tidak boleh diadu, dan tidak boleh “nrimo” saja. Berikanlah kemerdekaan pada jiwa, pikiran, cita-cita, apresiasi, dan raga kita seutuhnya. Jangan sudi diperbudak oleh keinginan yang tidak mampu kita gapai, karena akan membelenggu kita untuk menapaki koridor yang “Gelap dan Pengap”, oleh cita-cita yang tiada ujungnya. Ya …. Seperti likunya Jalan yang Tak Ada Ujungnya katanya Muhtar Lubis, Atau Sebuah Lorong di Kota Ku, miliknya NH. Dini. Kita sepertinya sangat adem, asik dan riang ketika digiring, dicambuk, dan dilucuti. Dan ironisnya malah bangga diperlakukan demikian. Tak ayal, yang menggiring kita jadi tambah senyum lebar melihat tawanannya mati kutu. Kemudian jadilah kita tawanan kutu busuk yang tak punya nyali dan penakut.Ya…. laksana anjing melolong kutu busuk manggut-manggut saja menunggu umpan untuk disantap. Yang penting kenyang, aman-aman sajalah hidup ne…. Disodori “menu” apa saja siap di santap dan tak perduli dengan labelnya. Tapi kita harus free hati-hati dengan sepak terjangnya kutu busuk, karena kalau umpannya sudah habis, sasarannya bisa spesiesnya sendiri yang diembatnya. Maklumlah pakai jurusnya Mata-mata ala penjajahan di zaman Compeni tempo doeloe. Ini yang repot karena kinerjanya licik selicik belut di parit yang kotor. Mereka sudah ada ganknya, dan sangat kompak walau kadang suka bersembunyi di belakang tribun. Maka hati-hatilah dalam “berkoor”, kalau tidak, tunggulah nasib untuk dipelintir menjadi berkepang-kepang. Jangan coba-coba mengusiknya, nanti kualat dan perang dunia ketiga. Kalau berani coba, berarti mau menjadi hero di siang bolong. Tetapi yang berani coba, akan diklasifikasikan ke komunitas yang berjiwa nasionalis, jiwa yang merdeka, dan patriotik. Makanya jangan mau jadi jongos di negeri sendiri, tetapi jadilah orang-orang yang kooperatif, kolaboratif, nasionalis, dan idealis di negeri yang kita cintai ini. Dan Berikanlah kemerdekaan kepada diri sendiri untuk bersikap sesuai dengan cita-cita, dan naluri. Milikilah hidup ini menjadi lebih berwarna, punya value, berkarya, punya “sesuatu”, kasih sayang, dan cinta sejati. Bisa kita lihat dalam keseharian, retrogresi terjadi disemua lini kehidupan, karena pemicunya adalah kaki tangan-kaki tangan yang bergentayangan mencari mangsa. Kaki tangan ini juga malah menawarkan diri untuk memuluskan planing yang disulap oleh pemberi mandat. Semuanya menjadi wacana umum yang sudah tidak lagi meresahkan. Lumrah, wajar, enteng, dan lena dikelilingi oleh jongos-jongos pencari identitas. Kaki tangan Kompeni ini juga banyak titisannya yang akan melanjutkan estafet kedigdayaan. Sepak terjangnya tentu sangat hiper dan membuat antek-anteknya lebih tidak punya upaya dan tercekik. Ya… wajarlah mereka lebih desing, karena genetiknya adalah kaki tangan handal dilahannya. Diversifikasi dan eksentifikasi lahannya benar-benar pilihan, sehingga ketika panen pun, hasilnya berlimpah ruah layaknya “Panen Raya”. Dan mudah-mudahan kita bukan dan tidak bergabung menjadi kaum-kaum penganut faham Kaki tangan ala kompeni dan mari kita bekerja lebih maksimal dan jujur agar berguna bagi bangsa dan negara, Amin. Pemerhati Sosial dan Budaya Berdomisili di Rato Sila Bima
Bagaimana kualitas kinerja mereka ? Apakah selicik antek-anteknya kompeni kala itu ? Apakah sudah tidak ada aktivitas utama selain menjadi kaki tangan ? Adakah Kepentingan yang tidak bisa ditunda atau mendesak sehingga dengan sengaja ikhlas menjadi kaki tangan ?Super Luar biasa bahayanya kalau dalam masa sekarang masih ada yang mencari makan dan berprofesi sebagai kaki tangan ala kompeni. Kaki tangan jelasnya adalah orang yang diperalat untuk membantu. Tenaganya dibutuhkan untuk melicinkan jalan agar mencapai cita-cita yang diinginkan, alias lewat jalan tol. Masa-masa itu luar biasa memilukan dan sarat dengan penindasan dan kediktatoran. ? “Berperilaku jujur memang sulit. Namun, bukan berarti tidak mungkin dilakukan.” Mahatma Gandhi (1869-1948), filsuf India dan “Seseorang akan menjadi bijaksana ketika dia mulai menghitung sedalam apa kira-kira kebodohannya.” Gian Carlo Menotti (1911-2007) Tetapi Ketika hidup hanya untuk mengurus dan berbakti kepada orang lain yang berhubungan dengan loyalitas yang dipolitisir, sia-sia sajalah hidup ini dan tak berguna sama sekali. Ya… tak ubahnya seperti sebuah korsase pemanis kostum ketika ritual. Harus ada dinamika, kolaboratif dan gebrakan yang konstruktif untuk segala-galanya. Jangan hanya menunggu, menunggu, dan menunggu sesuatu yang nisbi terjadi. Terlambat sedetik saja berarti kita telah kalah telak, dan orang lain yang akan keluar sebagai pemenangnya yang diiringi deraian tertawa ejekan, Abraham Lincoln. Kita harus selangkah demi maju dari orang lain, dan Kita harus keluar sebagai pemenangnya, John F Kenedy. Cause , The live like a competition. ? Dan Orang-orang yang berkompeten mampu mendapatkan pengabdian yang baik dari pasukan yang kemampuannya buruk, sebaliknya yang tidak kapabel justru menjatuhkan moral pasukan terbaik ! Anda pernah menjadi kaki tangan atau pernah menjadi pencatut kaki tangan ? Atau terjun ke bursa kaki tangan ? Jangankan melakoninya, mendengarnya saja kita sudah merinding ngeri dan ingatan kita mengembara ketika masa-masa perjuangan dan penjajahan dulu. Masihkah peristiwa itu ada dan terjadi kini ? jawabannya Masih ! Ya… masih ! minimal kita telah menjadi kaki tangan keinginan kita yang tidak mampu dan berhak kita miliki. kita tidak ingin merdeka dan damai dalam meniti sisa-sisa hidup dengan kedamaian yang kamil. Mengapa harus ada kaki tangan ? Ya… karena kita sendiri mau menjajah diri sendiri. Kalau diri sendiri saja kita tega menjajahnya dan menjadi antagonisnya. Bagaimana lebih sadisnya ketika kita menjajah, dan dijajah oleh orang lain atau bangsa lain ? Tapi anekdotnya kita malah santai saja menyikapi semuanya. Tak ada rasa tertekan, terhina, teraniaya,terpasung dan terbelenggu. Ataukah kita memang “haus” untuk dijajah ? Benar-benar spektakuler dan carut marutnya kita dalam wilayah jajahan sendiri. Tidak ada perasaan terbebani, malah enjoy, no coment, And sure saja . Atau jangan-jangan kita malah “menikmati” hasilnya, tanpa mau peduli dengan komunitas lain. Sesungguhnya kita sangatlah penakut ! takut pada diri sendiri , dan orang lain. Untuk berkata “tidak” saja kita tak kuasa dan berat, apalagi kepada orang lain.Berorasi, dan Protes kepada pribadi adalah latihan dasar untuk melangkah ke tingkatan yang superlatif. Idealislah dalam segala behavior agar tidak selamanya menggantungkan diri pada orang lain. Kalau terbiasa menjadi kaki tangan, ya… akan sulitlah kita berdialog dengan lingkungan. Diri kita adalah hak paten kita, bukan milik orang lain, bukan berdasarkan titah orang lain, dan bukan abdi orang lain. Kepemilikan adalah hak asasi yang tidak boleh diselewengkan ! tidak boleh diadu, dan tidak boleh “nrimo” saja. Berikanlah kemerdekaan pada jiwa, pikiran, cita-cita, apresiasi, dan raga kita seutuhnya. Jangan sudi diperbudak oleh keinginan yang tidak mampu kita gapai, karena akan membelenggu kita untuk menapaki koridor yang “Gelap dan Pengap”, oleh cita-cita yang tiada ujungnya. Ya …. Seperti likunya Jalan yang Tak Ada Ujungnya katanya Muhtar Lubis, Atau Sebuah Lorong di Kota Ku, miliknya NH. Dini. Kita sepertinya sangat adem, asik dan riang ketika digiring, dicambuk, dan dilucuti. Dan ironisnya malah bangga diperlakukan demikian. Tak ayal, yang menggiring kita jadi tambah senyum lebar melihat tawanannya mati kutu. Kemudian jadilah kita tawanan kutu busuk yang tak punya nyali dan penakut.Ya…. laksana anjing melolong kutu busuk manggut-manggut saja menunggu umpan untuk disantap. Yang penting kenyang, aman-aman sajalah hidup ne…. Disodori “menu” apa saja siap di santap dan tak perduli dengan labelnya. Tapi kita harus free hati-hati dengan sepak terjangnya kutu busuk, karena kalau umpannya sudah habis, sasarannya bisa spesiesnya sendiri yang diembatnya. Maklumlah pakai jurusnya Mata-mata ala penjajahan di zaman Compeni tempo doeloe. Ini yang repot karena kinerjanya licik selicik belut di parit yang kotor. Mereka sudah ada ganknya, dan sangat kompak walau kadang suka bersembunyi di belakang tribun. Maka hati-hatilah dalam “berkoor”, kalau tidak, tunggulah nasib untuk dipelintir menjadi berkepang-kepang. Jangan coba-coba mengusiknya, nanti kualat dan perang dunia ketiga. Kalau berani coba, berarti mau menjadi hero di siang bolong. Tetapi yang berani coba, akan diklasifikasikan ke komunitas yang berjiwa nasionalis, jiwa yang merdeka, dan patriotik. Makanya jangan mau jadi jongos di negeri sendiri, tetapi jadilah orang-orang yang kooperatif, kolaboratif, nasionalis, dan idealis di negeri yang kita cintai ini. Dan Berikanlah kemerdekaan kepada diri sendiri untuk bersikap sesuai dengan cita-cita, dan naluri. Milikilah hidup ini menjadi lebih berwarna, punya value, berkarya, punya “sesuatu”, kasih sayang, dan cinta sejati. Bisa kita lihat dalam keseharian, retrogresi terjadi disemua lini kehidupan, karena pemicunya adalah kaki tangan-kaki tangan yang bergentayangan mencari mangsa. Kaki tangan ini juga malah menawarkan diri untuk memuluskan planing yang disulap oleh pemberi mandat. Semuanya menjadi wacana umum yang sudah tidak lagi meresahkan. Lumrah, wajar, enteng, dan lena dikelilingi oleh jongos-jongos pencari identitas. Kaki tangan Kompeni ini juga banyak titisannya yang akan melanjutkan estafet kedigdayaan. Sepak terjangnya tentu sangat hiper dan membuat antek-anteknya lebih tidak punya upaya dan tercekik. Ya… wajarlah mereka lebih desing, karena genetiknya adalah kaki tangan handal dilahannya. Diversifikasi dan eksentifikasi lahannya benar-benar pilihan, sehingga ketika panen pun, hasilnya berlimpah ruah layaknya “Panen Raya”. Dan mudah-mudahan kita bukan dan tidak bergabung menjadi kaum-kaum penganut faham Kaki tangan ala kompeni dan mari kita bekerja lebih maksimal dan jujur agar berguna bagi bangsa dan negara, Amin. Pemerhati Sosial dan Budaya Berdomisili di Rato Sila Bima