Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD NTB, Drs H Ruslan Turmuzi
Mataram, Garda Asakota.-
Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan DPRD NTB, Drs H Ruslan Turmuzi, menilai langkah konsolidasi PT Bank NTB untuk melakukan konversi dari bank konvensional menuju pada Bank Syari’ah oleh jajaran Direksi PT Bank NTB yang diduga telah selesai masa jabatannya per 10 November 2017 lalu dinilai berpotensi cacat secara hukum.
Menurut Politisi PDIP yang dikenal cukup vokal ini, keputusan untuk melakukan konversi dari Bank Konvensional menuju pada Bank Syariah itu didasari oleh keputusan RUPS Bank NTB pada 31 Oktober 2017 hingga Bulan Agustus 2018. “Nah tentunya yang akan melakukan langkah konsolidasi ini adalah jajaran Direksi, sementara jajaran Direksi yang akan melakukan konsolidasi itu telah berakhir masa jabatannya tanggal 10 November 2017. Maka seharusnya yang melakukan langkah konsolidasi ini adalah jajaran Direksi baru agar produk konsolidasi itu sah dan tidak cacat secara hukum,” sorot Ruslan sebagaimana diungkapkannya pada wartawan media ini, Selasa 27 Februari 2018, di kantor DPRD NTB Jalan Udayana Kota Mataram.
Jika langkah konsolidasi atau konversi Bank NTB terus dilakukan oleh jajaran Direksi yang telah berakhir masa jabatannya, Ruslan mengkhawatirkan produk yang dihasilkan itu akan cacat secara hukum karena jajaran Direksi yang telah berakhir masa jatabannya dalam peraturan perundang-undangan itu tidak boleh melakukan keputusan-keputusan yang dianggap strategis. “Nah, penggabungan ini adalah salah satu keputusan strategis yang tidak boleh dilakukan oleh jajaran Direksi yang telah berakhir masa jabatannya atau yang SK nya telah berakhir,” tegasnya.
Jajaran Direksi PT Bank NTB ini menurut Ruslan telah selesai dengan masa pengabdian dua periode lamanya dan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah diketahui dan telah diingatkan pada tanggal 06 November 2017. “Dan OJK telah bersurat pada tanggal 06 November 2017 sebelum masa jabatan jajaran Direksi PT Bank NTB ini berakhir pada tanggal 10 November 2017 yang isi surat OJK itu adalah mengingatkan kembali kepada jajaran Direksi PT Bank NTB bahwa masa jabatan Direksi itu berakhir tanggal 10 November 2017. Namun peringatan dari OJK ini sama sekali tidak diindahkan oleh Direksi PT Bank NTB,” cetusnya.
Pengabaian terhadap permasalahan ini, menurut Ruslan, tentu akan memiliki dampak atau konsekuensi secara hukum terhadap jajaran Direksi ini. “Apalagi mereka setelah berakhirnya masa jabatan ini masih tetap mendapatkan hak atas gaji dan tunjangan. Tentu hal ini juga akan berdampak secara hukum,” sorot Ruslan lagi.
Jajaran Direksi PT Bank NTB yang telah berakhir masa jabatannya ini, kata Ruslan, semestinya harus diusulkan untuk segera diganti dalam suatu Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). “Oleh pemilik saham semestinya harus diusulkan untuk segera diganti dalam RUPS dan dilakukan fit and proper test terhadap figur para penggantinya sebelum masa berakhir jabatan direksi yang lama yakni enam bulan sebelum masa jabatan Direksi itu berakhir. Tapi karena hal ini tidak dilakukan maka saya menilai adanya suatu pelanggaran AD/ART atau aturan yang tertuang dalam Akte Pendirian Bank NTB itu sendiri,” kritik Ruslan.
Secara logika hukum, lanjutnya, ketika masa jabatan Direksi ini berakhir, maka sudah semestinya hak-hak mereka yang berasal dari jabatan mereka di Bank NTB ini juga harus berakhir. “Mereka sudah tidak boleh lagi menerima hak-hak mereka karena jabatan mereka sudah berakhir. Oleh karena itu sebaiknya mereka ini harusnya melakukan pembenahan terhadap masalah ini dulu,” saran Ruslan.
Ruslan juga mengaku telah mengingatkan para Direksi ini, jika dalihnya adalah didasari oleh adanya keputusan RUPS, maka pihaknya menegaskan bahwa Keputusan RUPS itu tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya.
Dampak lain dari belum dilakukannya pergantian jajaran Direksi baru PT Bank NTB ini, kata Ruslan, juga akan berdampak terhadap pembahasan Raperda tentang Konversi Bank NTB dari Bank Konvensional ke Bank Syariah. “Ini adalah merupakan pertanyaan dari banyak Fraksi di DPRD ini yang hingga saat sekarang ini belum mendapatkan jawaban secara tuntas. Potensi resiko hukumnya pun sangat besar karena jajaran direksi ini telah berakhir masa jabatannya dan menjabat melebihi SK mereka. Dan rata-rata dari jajaran Direksi ini telah menjabat selama dua periode jabatan. Semestinya setelah tanggal 10 November 2017, jajaran Direksi ini sudah ada penggantinya dan hingga bulan Februari 2018 ini, jajaran Direksi ini masih menjabat padahal sudah diingatkan oleh OJK bahwa masa jabatan mereka ini sudah berakhir. Dan tentu ini akan memiliki resiko hukum yang sangat besar,” pungkas Ruslan. (GA. 211*).