Wakil Ketua DPRD NTB, H Mori Hanafi, SE.,M.Comm., dihadapan peserta Dialog Publik bertemakan Quo Vadis Pilkada Serentak Ditengah Pandemi Covid19 yang digelar oleh Badko HMI MPO Bali Nusra di Hotel Fave Mataram, Minggu 06 September 2020.
Mataram,
Garda Asakota.-
Wakil Ketua DPRD NTB, H
Mori Hanafi, SE.,M.Comm., mengungkapkan rasa keprihatinannya terhadap adanya
fenomena ‘mahar politik’ para Bakal Calon Kepala Daerah (Balonkada) yang
mengikuti kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) melalui jalur Partai
Politik (Parpol).
“Untuk satu orang yang
ikut menjadi calon, kalau pada tahun 2015, satu kursinya bernilai sekitar Rp250
juta. Pilkada sekarang nilainya itu sudah mencapai angka sekitar Rp500 juta,”
ungkap pria yang juga merupakan Politisi Senior di Partai Gerindra Provinsi NTB
ini dihadapan peserta Dialog Publik bertemakan Quo Vadis Pilkada Serentak
Ditengah Pandemi Covid19 yang digelar oleh Badko HMI MPO Bali Nusra di Hotel
Fave Mataram, Minggu 06 September 2020.
Bahkan menurutnya,
disalah satu Kabupaten yang menggelar Pilkada serentak, satu partai yang
memiliki jatah satu kursi di Lembaga Dewan berani mematok hingga mencapai angka
Rp2 Milyar.
“Ini luar biasa. Kenapa
saya ungkap hal ini ditengah Dialog Publik yang digelar HMI?. Karena saya tahu,
aktivis-aktivis HMI itu rata-rata kritis dalam menyikapinya. Biaya mengikuti
Pilkada ini sangatlah tinggi. Saya tidak tahu apakah hal yang sama juga akan
terjadi di tahun 2024?. Saya menyampaikan hal ini supaya ada pemikiran
konstruktif mau sampai kapan kita seperti ini,” bebernya.
Bahkan diungkapkannya
ada salah satu Partai Politik, sudah melakukan proses pembahasan, namun secara
tiba-tiba oleh Pengurus Pusatnya dirubah kepengurusannya.
“Mau tidak mau, Paslon
itu harus nebus ulang. Padahal Paslon itu sudah ‘nebus’ pada kepengurusan lama
dengan nilai yang variatif dengan memegang rekom dan B1KWK. Terpaksa mereka
harus daftar ulang lagi. Padahal partai ini hanya punya satu kursi tapi
posisinya sebagai penentu. Dan jelang pendaftaran harga satu kursi itu sudah
mencapai angka Rp1 Milyar,” bebernya lagi.
Padahal menurutnya,
jikalau berbicara jujur, menurutnya gaji Bupati dan atau Walikota itu tidaklah
seberapa.
“Bahkan kebanyakan tunjangan yang diperoleh oleh Pimpinan DPRD
Provinsi dibandingkan gaji Bupati atau Walikota. Hanya saja cost Pilkada ini
sangatlah besar bisa mencapai angka Rp15 Milyar lalu ketika kita berharap agar
mereka tidak berprilaku korupsi itu sesuatu hal yang sangat sulit dicerna.
Kalau kehormatan mungkin wajar saja diraih. Ini hanya cerita kita, moga kedepan
demokrasi kita akan lebih baik,” cetusnya.
Sementara itu,
menanggapi akan hal ini, Ketua Bawaslu Provinsi NTB, Mohammad Khuwailid,
mengungkapkan permasalahan yang berkaitan pemberian imbalan dalam proses
pencalonan itu sesuai dengan ketentuan Pasal 47 UU Nomor 10 Tahun 2016 adalah
termasuk perbuatan yang dilarang.
“Jadi Parpol tidak
boleh menerima imbalan didalam melakukan proses pencalonan. Termasuk kemudian
kepada Bakal Pasangan Calon. Pengenaan sanksinya cukup berat, bisa dijatuhkan
kepada Parpol dan bisa juga pada Bakal Pasangan Calon yakni bisa pembatalan dan
bisa masuk ranah pidana dan Parpol tersebut tidak diberikan hak untuk mengusung
Calon,” tegas Khuwailid kepada wartawan Media Garda Asakota, Minggu 06
September 2020 usai mengikuti Dialog Publik yang digelar oleh Badko HMI MPO
Bali Nusra.
Hanya saja, menurutnya,
Bawaslu kesulitan dalam mendapatkan bukti kuat yang berkaitan dengan adanya
imbalan pasangan calon ini kepada Parpol pengusung.
“Bahkan pengalaman kami
pada Pemilu sebelumnya, pada saat kita mendapatkan informasi awal terkait
dengan hal seperti ini pada saat kita melakukan pendalaman berkaitan dengan hal
ini saat melakukan klarifikasi yang bersangkutan tidak mau lagi memberikan
keterangan. Ini menjadi salah satu kendala dalam aspek pembuktiannya,” ujarnya.
Berkaitan dengan pernyataan
Mori Hanafi berkaitan dengan hal itu dihadapan peserta Dialog Publik Badko HMI
MPO Bali Nusra, menurutnya, bergantung sungguh pada pak Mori Hanafi untuk
memberikan keterangan secara resmi kepada Bawaslu.
“Sekarang pak Mori itu
mengetahuinya seperti apa, pada partai apa dan calonnya itu siapa?. Biar kita
klarifikasi. Dan dia harus bisa memberikan keterangan atau menjadi saksi,
misalnya,” pungkasnya. (GA. Im*)