Feri Sofiyan, SH, didampingi sejumlah Tim Kuasa Hukumnya. |
Kota Bima, Garda Asakota.-
Rusdiansyah, SH.,MH., salah satu Tim Kuasa Hukum Wakil Walikota Bima, Feri Sofiyan, SH, mengaku heran dengan sikap penyidik Polresta Bima yang dinilainya tidak menerapkan hukum secara proporsional dan profesional dalam memperlakukan klien-nya
"Adanya banyak kejanggalan yang kami lihat seperti, penetapannya cacat materil karena karena hak-hak seorang Feri Sofiyan tidak dipenuhi baik tentang pemberitahuan tentang di mulainya proses penyidikan kemudian kedua laporan kasus ini per 24 September 2020 sementara dimulainya penyidikan pun tanggal yang sama," herannya kepada wartawan, Senin (23/11).
Menurutnya, tindakan Penyidik Polres Bima Kota itu sangat bertentangan sekali dengan Perkap tentang di mulainya proses penyelidikan dan penyidikan. "Itu semua kan ada tahapannya, kapan di lakukan gelar Penyelidikannya?, apakah pada saat orang melapor lalu kapan dipanggil untuk di mintai keteranganya?
Kemudian apakah pada hari yang sama setidak tidaknya ketika ada laporannya dipanggil saksi-saksi untuk pencarian informasi awal tapi kapan itu di lakukan, apakah pada saat orang melapor penyidik merasa yakin bahwa telah terjadi perbuatan tindak pidana," tanyanya.
Disinggung apa kira-kira penulisan tanggal dan bulan pelaporan maupun penyidikan yang bersamaan itu bukan kesalahan ketik?, "Tidak bisa ada alasan misalnya salah ketik karena kita ini ada bukti surat, tidak bisa kita mendalilkan seseorang bersalah dengan cara yang salah karena penegakkan hukum yang salah akan melahirkan perampasan hak dan kesewenang-wenangan," imbuhnya.
Jebby juga menyebut beberapa kejanggalan pengenaan pasal terhadap tersangka? Justru katanya pasal 36 UU 32 2009, itu kan sudah tidak ada. Apalagi di Pasal 22 ayat 36 UU 11 2020 tentang perubahan pasal 109, sesuai pasal baru yang dikenakan ke tersangka tidak lagi berbicara tentang ijin lingkungan tapi tentang Dumping (pembuangan limbah) biasanya menyangkut limbah berbahaya B3.
"Kami sendiri merasa bingung dengan APH ini di mana sebelumnya dalam pernyataan di media bahwa UU Ciptaker itu tidak berlaku surut, tetapi pada saat yang bersamaan dalam surat pemanggilan keduanya mereka APH ini mengakui pasal dalam UU 11 2020 ciptakerja mengenai perubahan pasal 109.
Nggak ada itu pasal 109 dalam UU Ciptaker tentang lingkungan hidup yang ada itu pasal 22 ayat 36 yang merubah isi pasal 109 yaitu tentang Dumping yang merujuk pada UU ciptakerja pasal 61 berdasarkan pasal 60 UU PPLH.
Nah terkait dengan urusan ijin lingkungan ini ada pasal baru yaitu pasal 82A UU Ciptaker tentang lingkungan yang menyebut jika tidak membuat ijin nya maka akan dikenakan sanksi tidak ada pasal pidananya.
"Sekali lagi pasal 109 dalam UU Ciptaker itu tidak lagi memuat tentang ijin lingkungan tapi dumping (pembuangan limbah). Di pasal 82 memuat bahwa kalau tidak ada ijin lingkungan hanya di kenakan sanksi administrasinya, jadi tidak ada sanksi pidananya.
Tidak ada dalam pasal 109 UU Ciptaker tersebut yang mengatur tentang sanksi Pidana apabila di temukan dampak Perusakan lingkungan yang ada dalam pasal 109 itu perihal tentang dumping atau pembuangan limbah B13 atau limbah medis.
"Dalam kasus ini kan jelas kalau pak Feri itu tidak membuang limbah, apalagi limbah medis beliau hanya membangun tempat wisata.
Jadi, kalaupun itu ada dikenakan oleh Polisi sudah masuk hal yang lain karena dalam hal perijinan itu ada ijin pembuangan limbah juga, ada ijin lingkungan dan menyangkut dermaga wisata tersebut kan tidak ada urusan sama sekali dengan membuang limbah," tegasnya panjang lebar.
Jebby yang saat itu didampingi sejumlah Kuasa Hukum lainnya, Al-Imran, SH, Muhtar, SH, dan Suhardin, SH, menyebutkan bahwa kasus yang di kenakan bukan tentang pembuangan limbah tapi ijin lingkungan, dimana di dalam pasal 22 ayat 36 UU Ciptaker tahun 2020 yang merubah UU 32 tahun 2009 tentang PPLH di poin 3 merujuk pada pasal 61 di UU lingkungan hidup itu berbicara tentang dumping dalam hal pembuangan limbah.
Dumping tersebut sebagaimana dimaksud dalam pasal 60 UU 32 2009 tentang Lingkungan Hidup disebutkan bahwa setiap orang dilarang untuk melakukan dumping (pembuangan limbah) tanpa ijin, jadi bukan urusan lingkungan yang lain tapi limbah. (GA. 212*)