Mataram, Garda Asakota.-
Wakil Ketua DPRD NTB, H Mori Hanafi, SE., M.Comm., menegaskan pengajuan hak interpelasi yang diajukan oleh anggota Fraksi Partai Demokrat serta sejumlah anggota Dewan lainnya secara substansinya adalah meminta penjelasan pihak eksekutif Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB terkait dengan soal tata cara pengelolaan keuangan daerah yang dinilai kurang begitu baik pada tahun anggaran (TA) 2020.
“Substansi
Interpelasi yang diminta oleh teman-teman Fraksi Demokrat itu adalah soal tata
cara pengelolaan keuangan daerah. Bukan berkaitan dengan soal industrialisasi.
Makanya pimpinan tidak pernah ada berbicara soal program industrialisasi,”
tegasnya kepada sejumlah wartawan di ruangan kerjanya Kantor DPRD NTB, Kamis 28
Januari 2021.
Dikatakannya,
ada dua substansi tata kelola keuangan daerah, yang pertama adalah soal
pendapatan dan kedua soal belanja. “Tata kelola pendapatannya seperti apa? dan
tata kelola belanjanya seperti apa?. Dua substansi ini dianggap kurang baik
tata kelolanya pada TA 2020,” cetusnya.
Seperti
apa persoalan tata kelola keuangan pada APBD 2020 itu?, Dijelaskannya, meski
APBD 2020 sudah ditetapkan, tapi dalam pelaksanannya tidak harus sesuai dengan
apa yang telah ditetapkan.
“Misalnya,
kita sudah tetapkan Pendapatan sebesar Rp5,4 Trilyun. Walaupun ditetapkan
sebesar itu, tapi dalam pelaksanaannya tidak harus seperti apa yang ditetapkan.
Antara target dengan realisasi pasti berbeda. Begitu juga halnya dengan
Belanja. Belanjakan sudah ditetapkan, tapi tidak melulu semuanya harus
dibelanjakan. Besaran belanja itu sama dengan besaran pendapatan, balance,
meski ada perbedaan sedikit, karena ada devisit. Sebab kita mengambil sistem
anggaran devisit,” terangnya.
Nah
wacana ini kemudian mengemuka, sambungnya, dalam pelaksanaannya tersebut antara
rilis pendapatan pada saat akhir tahun tidak matching, atau tidak
terklarifikasi dengan baik antara Bappenda dengan BPKAD.
“Rilis
belanjanya juga kita gak clear pada akhir tahun itu juga karena ada beberapa
belanja-belanja strategis yang kemarin belum bisa diselesaikan dengan baik pada
saat diakhir tahun. Contoh kongkrit tidak matching itu adalah bahwa menurut
Bappenda, walaupun belum memenuhi target seratus persen, pendapatan itu sudah
cukup tinggi sehingga menurut Bappenda itu sudah cukup anggaran Pemda untuk
melaksanakan proses pembayaran-pembayaran di masing-masing Dinas. Tapi setelah
dikonsolidasikan ternyata ini ada miss
antara pendapatan dengan belanja. Jadi target pendapatan ini ternyata belum
mencukupi untuk memenuhi semua utang belanja. Itu penjelasan TAPD yang
diberikan secara resmi,” terangnya lebih lanjut.
Akan
tetapi menurutnya, dalam perjalanannya, masalah itu sekarang sudah clear.
Penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh TAPD kepada Lembaga Dewan,
menurutnya, sudah konstruktif, dan sudah dianggap cukup jelas.
“Artinya
miss ini terjadi pada kedua belah
pihak. Bukan hanya di Bappenda saja tapi juga di BPKAD. Jadi ini terjadi karena
BPKAD nya baru, Bappeda nya baru, kemudian Sekda nya juga baru. Kejadian yang
terjadi pada APBD 2020 ini merupakan bahan pembelajaran bagi kita semua. Setelah
dilakukan klarifikasi, akhirnya kita sudah mendapatkan klarifikasi dari TAPD. Dan
dari hasil klarifikasi dengan TAPD, ini juga membuat sebagian anggota Dewan
juga memahami situasinya. Bahwa tidak cukup uang untuk membiayai seluruh
belanja pemerintah di tahun 2020. Tidak cukup uang, itu substansinya,” tegasnya
lagi.
Berdasarkan
informasi yang beredar biaya belanja yang tidak bisa dibayarkan ditahun 2020
itu beragam ada yang menyebut sekitat Rp86 Milyar ada juga yang menyebut
sekitar Rp128 Milyar. Pihaknya enggan mengomentari berapa angka pastinya. “Yang
jelas ada sekitar puluhan Milyar,” ungkapnya.
Utang
belanja yang tidak bisa dibayar pada tahun 2020, menurutnya, merupakan utang
Pemda Provinsi. “Tentunya harus dibayar pada tahun 2021. Sebab kita di Dewan
melihatnya secara komprehensif terhadap utang belanja itu. Teknisnya kita
serahkan pada pihak eksekutif. Dan itu sudah menjadi kesimpulan antara pihak
Dewan dengan pihak Eksekutif,” ungkapnya lagi.
Berarti
apakah perlu lagi interpelasi?. Dikatakannya, Interpelasi itu sebenarnya bukan
barang yang menakutkan sebab substansi interpelasi itu meminta penjelasan
terhadap kurang baiknya tata kelola keuangan daerah.
“Dan
terkait soal itu pihak eksekutif sudah memberikan penjelasan didalam
rapat-rapat. Sehingga secara substansinya seharusnya sudah cukup. Kalau pada
saat rapat-rapat itu penjelasannya tidak cukup, maka bisa akan berlanjut pada
interpelasi. Tapi sekali lagi, inikan hak politik anggota Dewan. Sikap
Demokrat kita hargai ketika mereka mengatakan penjelasan tersebut masih belum
cukup. Dan itu boleh-boleh saja karena itu merupakan hak politik mereka,”
pungkasnya. (GA. Im*)