Tim Kuasa Hukum DPRD NTB, Prof Zainal Asikin. |
Mataram,
Garda Asakota.-
Tim
Kuasa Hukum Lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Nusa
Tenggara Barat (NTB) membantah adanya upaya membungkam iklim demokrasi dalam
kasus pelaporan lembaga tersebut terhadap Direktur Lombok Global Institut
(Logis), M Fihiruddin.
Tim
kuasa Hukum Lembaga DPRD NTB menilai opini yang dikembangkan selama ini seolah-olah
dalam kasus tersebut terjadi pembungkaman demokrasi oleh lembaga DPRD serta
seolah olah lembaga DPRD tidak membuka ruang damai.
“Oleh
karena itu kita ingin mengklarifikasi adanya narasi yang seolah olah dibangun
bahwa saudara Fihiruddin dipidana karena bertanya. Padahal rangkaian-rangkaian
apa yang dikemukakan oleh Fihir itu adalah bukan pertanyaan. Hanya satu pertanyaan,
dan itupun diakhir pertanyaan pada awal kejadian. Tetapi berikutnya setiap harinya
ada pernyataan atau statemen. Jadi kebanyakan statemennya daripada bertanya.
Nah statemen itulah yang menjerumuskan dia. Bukan pertanyaan yang menjerumuskan
dia,” terang Ketua Tim Kuasa Hukum Lembaga DPRD NTB, Prof Zainal Asikin, kepada
sejumlah wartawan, Senin 09 Januari 2023.
Guru
besar Fakultas Hukum Universitas Mataram ini mengaku sudah sering mengingatkan
Fihiruddin agar mengentikan komentarnya terkait masalah tersebut.
“Tetapi
semakin banyak dia berkomentar maka semakin banyak dia membuat statemen. Maka
bukan lagi narasi pertanyaan yang dipidana tapi narasi pernyataan,” terangnya.
Menurutnya,
pihak kepolisian tidak akan gegabah dalam menindaklanjuti kasus tersebut jika konteksnya
hanya bertanya.
“Bahkan
para ahli yang diminta pendapatnya bukan ahli dari Unram. Karena Polda NTB
menghindari menggunakan para ahli dari Unram. Khawatir nanti ada interest atau
conflict of interest karena Pimpinan DPRD itu alumni Unram. Makanya tidak
dipakai ahli Unram itu untuk mengkaji kasus Fihir ini apakah kasus pertanyaan
atau kasus pernyataan, tetapi memakai ahli dari luar atau dari Jawa untuk
menjelaskan apakah ini ada unsur pidana apa tidak,” bebernya.
Terakhir
contoh pernyataan Fihir adalah yang ada di youtube.
“Saya
ingat betul Fihir mengatakan statemen diawali kalimat, “Faktanya”, kalau sudah
mengatakan ‘faktanya’, itu adalah pernyataan bukan pertanyaan. Dan itu
mengandung unsur menuduh,” tegasnya.
Apakah
tidak ada ruang damai?. Pria yang mengaku menyusun surat somasi lembaga DPRD
NTB ini kepada Fihiruddin mengaku ketika somasi itu dilayangkan dan Fihir
menerima somasi itu dengan baik, maka persoalan ini akan dianggap selesai.
“Andaikata
mas fihir saat itu menerima somasi dan datang ke DPRD meminta maaf atas
kekhilafannya maka sudah pasti masalahnya akan selesai. Tetapikan tidak
dimanfaatkan momen peringatan tersebut dengan sebaik baiknya malah ini
ditindaklanjuti dengan menggugat. Nah narasi narasi dalam gugatan pun dibangun
seolah olah DPRD tidak mau berdamai. Bahkan ada kata-katanya lagi yang seakan
akan menyinggung DPRD lagi. Jadi terkesan tidak sungguh-sungguh,” ungkapnya.
Menurutnya,
perdamaian di Pengadilan Perdata itu sudah diawali ketidakmauan penggugat PMH ditingkat somasi.
“Untuk
apa menggugat kalau sudah somasinya tidak mau damai. Kenapa di pengadilan
sekarang mau berdamai?. Sudah terlanjur basah, maka teman teman tergugat tidak
mau datang. Jadi jangan dibolak balik persoalannya seolah olah teman teman DPRD
tidak mau berdamai. Itulah yang kita sesalkan selalu dibolak balik persoalannya,”
sesalnya.
Dikatakannya,
seandainya perdamaian itu kembali diupayakan pihak mas Fihir, sebagai kuasa
Hukum pihaknya mengaku akan menyerahkan hal tersebut kepada pelapor dalam hal
ini pimpinan DPRD NTB.
“Soal
itu kembali kepada prinsipalnya,” katanya.
Sementara
disinggung adanya penerapan pasal 28 ayat 2 UU ITE terhadap M Fihiruddin, yang
dianggap terlalu prematur untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan
individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu.
Bagi
Asikin, yang menentukan penerapan pasal itu bukan dari pihak kuasa hukum DPRD
NTB, melainkan penyidik Reskrimsus Polda atas dasar pertimbangan para ahli yang
didatangkan dari Jawa.
Senada
disampaikan tim lainnya Dr Burhanuddin.
Ia meluruskan terkait pertanyaan atas laporan DPRD NTB yang bersifat
pribadi oleh Baiq Isvie Rupaeda. Ada yang mengklaim perbuatan melawan hukum
(PMH) oleh Baiq Isvie karena melapor atas nama pribadi bukan lembaga.
"Bagi
kami, jabatan sebagai anggota DPRD itu tetap melekat terhadap Baiq Isvie.
Apalagi saat melapor, didampingi semua pimpinan dan Ketua Fraksi,"
tegasnya.
Oleh
karenanya, sebagai tim penasehat hukum, tetap mengikuti tahapan laporan M
Fihiruddin di PN Mataram. Saat ini dalam sidang perdata, sedang pembacaan
gugatan.
Untuk
diketahui, sekitar Tujuh penasehat hukum DPRD NTB yang hadir dalam konfrensi pers
bersama media tersebut. (GA. Im/Ese*)