Oleh: Sutrisno Azis |
Mengulas fenomena persidangan mantan Walikota Bima yang sedang digelar di Pengadilan Tipikor Mataram, wabil khusus terkait agenda sidang pembuktian pemeriksaan saksi fakta, ahli dan barang bukti lain yang relevan yang diajukan penuntut umum KPK, serta pemeriksaan saksi yang meringankan dan mendengar keterangan terdakwa, maka majelis hakim setidaknya sudah memperoleh gambaran fakta hukum dan putusan yang akan dijatuhkannya nanti, apakah terdakwa akan dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan penuntut umum KPK, atau sebaliknya terdakwa akan dinyatakan tidak terbukti dan dibebaskan dari semua dakwaan,atau boleh jadi juga terdakwa akan dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan tetapi bukan tindak pidana, semuanya masih samar dan belum jelas apalagi proses persidangan masih cukup panjang masih ada beberapa beberapa agenda persidangan pasca pembuktian antara lain penuntutan oleh penuntut umum KPK, pembelaan oleh terdakwa, replik,duplik dari para pihak kalau ada dan terakhir baru sidang pengucapan putusan.
Selama proses persidangan berlangsung majelis hakim telah memberikan kesempatan yang berimbang dan proporsional kepada para pihak untuk membuktikan dakwaan dan bantahannya masing masing, penuntut umum KPK telah mengajukan saksi puluhan orang, mungkin jumlahnya terlalu banyak sehingga terkesan mubazir karena sebahagian keterangan saksi saksi tersebut secara substansi hampir sama cuma waktu dan tempatnya saja yang berbeda, mestinya sebelum mengajukan saksi fakta penuntut umum KPK dapat mengklasifikasi terlebih dahulu keterangan saksi saksi tersebut, bagi saksi yang keterangannya hampir sama cukup diwakili oleh beberapa orang saja agar proses persidangan bisa berjalan secara efektif dan efisien sesuai asas peradilan cepat,sederhana dan biaya murah.
Ada beberapa hal penting yang menjadi catatan selama proses persidangan perkara ini, diantaranya mengenai rumusan dakwaan penuntut umum KPK yang dinilai rancuh oleh sebahagian orang, ini terlepas dari segala apreseasi dan prestasi yang telah dicapai KPK dalam mengungkap dan memproses kasus ini hingga sampai ke pengadilan, namun masih menyisahkan beberapa pertanyaan sehingga perlu disikapi segera, anggaplah ini sebagai bahagian dari auto kritik masyarakat yang konstruktif buat KPK agar lebih eksis lagi ke depan, antara lain mengapa penuntut umum KPK tidak menerapkan delik penyertaan (pasal 55 ayat (1) ke - 1 pada dakwaan kesatu sehingga hanya mendudukkan terdakwa tunggal dalam kasus ini, padahal berdasarkan fakta persidangan alat bukti yang diajukan penuntut umum KPK cenderung atau lebih dominan mengarah ke dakwaan kesatu, demikian hal dengan peran pihak lain (pelaku penyerta) bersama sama atau membantu terdakwa melakukan atau mewujudkan tindak pidana demikian vulgar dipaparkan oleh beberapa saksi dalam persidangan tersebut, sekiranya delik penyertaan diterapkan pada dakwaan kesatu maka sekali mendayung dua tiga pulau akan terlampaui, tanpa harus melalui jalan berliku untuk menegakkan hukum yang berkeadilan,tetapi justru penuntut umum KPK menerapkan delik penyertaan pada dakwaan kedua yang bobot nilai pembuktiannya agak lemah, inilah yang dinilai rancuh, mungkin penuntut umum KPK memiliki pertimbangan tersendiri tentang ini.
Penerapan secara berbeda delik penyertaan pada kedua dakwaan tersebut akan berimplikasi hukum yang berbeda pula, apabila nanti majelis hakim menyatakan terbukti dakwaan kesatu maka yang akan dimintai pertanggungjawaban hukum dan dihukum pidana hanya terdakwa seorang sedangkan pihak lain meskipun memenuhi kualifikasi sebagai pelaku penyerta 'bebas' berkeliaran di luar tanpa tersentuh oleh "hukum", kecuali yang dinyatakan terbukti dakwaan kedua maka pihak lain atau pelaku penyerta dengan mendasarkan pada bukti putusan perkara ini dapat dinaikkan statusnya sebagai tersangka.
Masih seputar dakwaan yang dinilai rancuh tadi,penilaian tersebut didasarkan atas asumsi bahwa sebelum menyusun dakwaan penuntut umum KPK sudah mengetahui kalau bukti bukti yang akan diajukan dalam persidangan nanti akan lebih banyak mengarah secara signifikan pada dakwaan kesatu, jika benar demikian kenapa penuntut umum KPK tidak menerapkan delik penyertaan pasal 55 ayat (1) ke - 1 pada dakwaan kesatu, kenapa delik penyertaan justru dipasang pada dakwaan kedua yang bobot nilai pembuktiannya agak lemah, apakah penuntut umum KPK sengaja ingin meloloskan pelaku lain (penyerta) dari jeratan hukum, dan kenapa pula delik penyertaan tidak diterapkan pada dakwaan kesatu padahal bobot nilai pembuktiannya relatif kuat, apakah penuntut umum KPK memang sengaja menargetkan HML sebagai terdakwa tunggal dan meloloskan pelaku lain (penyerta) dari jeratan pidana, rumusan dakwaan yang demikian ini sangat rentan melahirkan berbagai macam asumsi dan kecurigaan termasuk adanya tudingan kalau kasus ini dianggap kental dengan nuansa politik bahkan kasus ini diduga by order (pesanan) dari pihak tertentu untuk tujuan politik tertentu pula, mudah mudahan semua tudingan itu tidak benar karena sampai saat ini masyarakat masih menaruh harapan dan kepercayaan terhadap independensi dan imparsialitas lembaga KPK.
Kembali pada proses persidangan perkara ini sempat diwarnai perdebatan yang cukup alot antara lain dipicu oleh keterangan beberapa saksi yang berbeda dengan hasil BAP penyidik KPK, apakah ini kebetulan belaka atau sengaja dikondisikan demikian sebagai bahagian dari strategi pembelaan, tapi sayang ujungnya tidak "happy ending", karena pada saat penuntut umum KPK menanyakan kepada saksi apakah akan mencabut keterangannya dalam BAP, saksi menolak dan tetap mempertahankan keterangannya dalam BAP, lalu apa gunanya memberikan keterangan yang berbeda kalau toh pada akhirnya tetap kembali mempertahankan keterangannya dalam BAP, jikalau ini sebuah setingan atau persekongkolan, jujur harus dikatakan "settingannya gagal", mudah mudahan penuntut umum KPK tidak menganggap kejadian tersebut sebagai upaya untuk mengaburkan fakta hukum sehingga dapat menjadi alasan baginya untuk memperberat tuntutan kepada terdakwa.
Masih seputar saksi menolak mencabut BAP tadi, boleh jadi para saksi tersebut gentar dengan sanksi hukum yang bakal diterimanya nanti yakni dapat dituntut dengan pasal 242 KUHP, yakni memberikan keterangan palsu di bawah sumpah atau bisa juga karena alasan lain yang bersifat pribadi, memang dilematis bagi saksi saksi tersebut terlebih jika tidak mampu mengemukakan alasan hukum yang logik dan bisa diterima hakim untuk mencabut keterangannya dalam BAP, sementara disisi lain penuntut umum KPK telah mengantisipasi dan memproteksi kemungkinan terjelek seperti itu dengan menyiapkan hasil rekam audio dan video yang mendokumentasikan proses BAP untuk diajukan dalam persidangan, jadi meski saksi saksi tersebut telah memberikan keterangan yang berbeda tetapi tidak mencabut dan membatalkan BAP, maka keterangan hasil BAP lah yang dipakai sebagai bukti, bahkan seandainya pun saksi saksi tersebut mencabut keterangannya dalam BAP maka berdasarkan ketentuan pasal 185 ayat (1) Jo pasal 188 ayat (2) KUHAP keterangan saksi dalam BAP tersebut tetap berguna sebagai alat bukti petunjuk.
Kemudian tahap pembuktian selanjutnya adalah pemeriksaan saksi yang meringankan sesuai ketentuan pasal 65 jo 116 ayat (3) KUHAP jo putusan MK No. 65/PUU-VIII /2010, keterangan saksi saksi yang meringankan tersebut umumnya berkutat seputar prestasi dan integritas terdakwa selama menjabat walikota Bima, mungkin yang mau disampaikan di sini adalah orang baik dan berprestasi tidak mungkin melakukan kejahatan termasuk korupsi, padahal sudah berapa banyak orang dengan berbagai level jabatan yang lebih tinggi dari terdakwa yang telah dihukum penjara karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi, atau boleh jadi keterangan saksi saksi tersebut betul betul dimaksudkan untuk meringankan hukuman, memang dalam KUHAP telah diatur hak terdakwa untuk mengajukan saksi yang meringankan bukan saksi yang "membebaskan", dari sisi penamaan terkesan keliru, seharusnya saksi yang membebaskan, boleh jadi itu yang lebih tepat, kalau saksi yang meringankan seolah terdakwa itu sudah dinyatakan terbukti bersalah sebelum dijatuhkan putusan, dan itu bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah, namun terlepas dari polemik tersebut yang pasti dalam beberapa putusan bebas hakim akan lebih berpijak secara dominan pada keterangan saksi yang meringankan dari pada keterangan saksi fakta yang diajukan penuntut umum, demikian sebaliknya, jadi dari sisi penamaan nampaknya tidak ada masalah karena meskipun namanya saksi yang meringankan tidak berarti kemudian tidak bisa dijadikan dasar untuk membaskan terdakwa.
Sebagai agenda terakhir dari seluruh rangkaian sidang pembuktian adalah pemeriksaan terdakwa mantan walikota bima, dalam keterangannya yang direlease beberapa media kalau tidak salah lebih banyak berisi penyangkalan dan menjawab tidak tahu atas hal hal yang ditanyakan oleh majelis hakim maupun penuntut umum KPK, kalau penyangkalan perlu didukung dengan bukti lain yang relevan, tapi kalau jawaban tidak tahu jika terkait aturan hukum akan menyalahi "fiksi hukum", tapi dalam konteks kasus pidana jawaban tidak tahu itu mungkin dimaksudkan untuk memutus mata rantai rangkaian peristiwa hukum yang didakwakan, seolah terdakwa tidak terkait sama sekali dengan hal hal yang didakwakan tersebut, jawaban tidak tahu itu terkadang efektif untuk membebaskan terdakwa jika ditopang dengan alibi yang kuat dan mendasar serta didukung alat bukti lain yang relevan, tetapi juga kadang dapat memberatkan tuntutan dan hukuman karena dianggap terdakwa telah memberikan keterangan yang tidak jujur dan berbelit belit sehingga menyimpangi fakta persidangan yang telah terungkap melalui alat bukti lain yang bersesuaian antara satu dengan lainnya.
Memang delik formil yang didakwakan terhadap terdakwa ini subjek hukumnya istimewa karena khusus dikenakan bagi aparat sipil negara dan penyelenggara negara saja, bukan untuk masyarakat umum, makna yang terkandung dibalik ekslusifisme subjek hukum dalam dakwaan ini sarat dengan muatan moral, bahkan boleh jadi nilai moral itulah yang ditarik menjadi norma hukum pada pasal 12 huruf i dan pasal 12B ini, titik tumpunya ada pada jabatan yang melekat dalam dirinya, karena dibalik jabatan itu terkandung kemuliaan, amanah dan ketauladanan, sehingga ketika yang bersangkutan melakukan kejahatan dalam jabatan maka yang bersangkutan dianggap telah mengkhianati amanah dan sumpah jabatan, sehingga pantas dijatuhi hukuman berat.
Sementara di sisi lain pada saat menjabat terdakwa telah banyak mengukir karya dan prestasi sehingga perlu diapresiasi oleh hukum dengan menjatuhkan hukuman yang ringan bagi terdakwa, meski perihal ini pernah dikritisi oleh Rocky Gerung dengan menyatakan "pejabat yang berprestasi itu bukan sesuatu hal yang luar biasa, dia dipilih dan digaji oleh rakyat memang untuk berkarya dan berprestasi,itu sudah kewajibannya", pertentangan antara dua kondisi yang kontradiktif ini hendaknya dapat disikapi secara bijak oleh hakim sehingga bisa melahirkan putusan yang proporsional dan memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Dilematis memang menghadapi kondisi seperti ini, terlebih saat hakim akan membuat putusannya nanti, pertarungan antara rasa keadilan dan kepastian hukum akan mengoyak nurani mana diantara keduanya yang lebih diutamakan, kepastian hukum menuntut pertimbangan yang serba legal formal, sedangkan rasa keadilan menuntut perlakukan hukum yang jujur dan adil tanpa diskriminasi, penjatuhan pidana yang sepadan dengan amanah rakyat dan sumpah jabatan yang dikhianati, kerugian yang muncul juga menjadi pertimbangan lain yang ikut mempengaruhi hukuman yang pantas bagi terdakwa, rupanya jabatan akan nampak mulia ketika bersinggasana, tetapi ketika seorang pejabat terlibat kejahatan dalam jabatan maka jabatan itu akan menjadi bumerang karena boleh jadi dapat menjadi alasan yang memberatkan hukuman pidana, disinilah diuji rasa keadilan itu apakah akan tercermin dalam putusan nanti, apakah hukuman yang akan dijatuhkan kepada pejabat sama atau lebih ringan dari hukuman yang pernah dijatuhkan kepada seorang PENCURI AYAM, wallahualam.
Penulis : Advokat/alumni SMAN 5 Ujung Pandang.