Mataram, Garda Asakota.-
Narkoba, merupakan istilah yang tidak asing lagi bagi semua lapisan masyarakat di negeri ini.
Apalagi genderang perang terhadap narkoba terus menerus dilakukan, baik oleh BNN (Badan Narkotika Nasional), BNP dan BNK, maupun kepolisian, LSM dan di sekolah-sekolah. Gema tentang bahaya narkoba, kesaksian beberapa pecandu narkoba, sanksi pidana mati bagi terpidana narkoba terus dilakukan melalui sosialisasi, penyuluhan, seminar, pemberitaan di media massa dan elektronik.
Namun apakah kriminalitas obat-obatan terlarang tersebut semakin berkurang? Jawabannya belum. Apakah ini menunjukkan bahwa undang-undang yang ada belum efektif? Bisa saja benar, namun faktor tersebut hanyalah menjadi salah satu faktor penyebab lemahnya upaya penanggulangan kejahatan, karena dalam kebijakan kriminal (criminal policy), sebagai upaya penanggulangan dan pencegahan kejahatan perlu digunakan pendekatan integral, yaitu perpaduan antara sarana penal dan non penal. Sarana penal adalah hukum pidana.
Sementara non penal adalah sarana non hukum pidana, yang dapat berupa kebijakan ekonami, sosial, budaya, agama, pendidikan, teknologi, dan lain-lain. Jadi sangatlah sulit untuk mengharapkan pendekatan hukum pidana saja, sehingga pendekatan non penal harus lebih dimaksimalkan, karena sifatnya preventif dan akan efektif.
Dalam perspektif Ketua KAI NTB, Umaiyah, SH., MH., meski angka penangkapan dan penahanan penggunan Narkoba di NTB selama ini sangat tinggi. Namun, dibalik itu semua, banyak sekali berkembang pertanyaan maupun perlawanan publik terhadap adanya sinyalemen salah penerapan hukum dalam penanganan Narkoba.
“Saya mungkin bisa dibilang agak lumayanlah menangani kasus Narkoba di NTB. Kami termasuk lawyer yang juga sangat kecewa dengan cara-cara pihak Kepolisian yang menggunakan cara-cara menjebak dengan menggunakan kurir atau informen yang berperan sebagai penjual atau pembeli terselubung. Dalam pandangan kami, ini merupakan salah penerapan hukum, meski memang ada pasal dalam UU tentang Psikotropika itu yang membenarkan tentang adanya pembeli terselubung,” jelasnya kepada wartawan diruang kerjanya di jalan Bung Karno, belum lama ini.
Dalam penerapannya, menurut Umaiyah, kadang-kadang ditemukan informen atau kurir yang digunakan untuk membeli tidak menemukan penjual.
“Kadang-kadang orang yang dipergunakan ini juga dijadikan sebagai tersangka. Sedangkan dalam ketentuan hokum yang ada, orang-orang seperti ini merupakan satu mata rantai dengan mereka yang bergerak underground yang semestinya harus dilindungi oleh hukum, karena mereka masuk juga dalam kategori pembeli dan penjual terselubung. Nah hal seperti ini yang sering terjadi terhadap para klien yang saya sempat tangani,” ujar pengacara senior ini.
Menurutnya, selama dirinya menjadi pengacara tidak pernah pihak Kepolisian NTB ini menangkap adanya Bandar Narkoba. Mestinya, menurut Umaiyah, yang harus diberantas itu adalah Bandar besarnya. “Pasti akan bersih pak. Bahkan, kalau di Negara-negara maju itu, seperti pengguna, itu sudah tidak dihukum karena dia hanya merugikan badannya sendiri sehingga diselesaikan dengan cara merehabilitasinya.
Sehingga yang perlu diberantas itu adalah para Bandar yang memproduksi Narkoba itu,” cetusnya. Profesionalisme Polri dalam meningkatkan kapasitas dan kapabilitas dalam mengungkap kejahatan Narkoba merupakan sesuatu hal yang sangat urgen. “Maka dengan profesionalisme ini serta penggabungan informasi yang diperoleh dari masyarakat untuk mengungkap Bandar Narkoba.
Selain memang harus dilindungi juga orang yang dipergunakan sebagai informen atau kurir yang disuruh untuk membeli. Prinsipnya polisi menggunakan orang, maka polisi itu juga harus melindungi orang yang disuruhnya. Sehingga jangan sampai tejadi seperti ini yakni polisi yang menyuruh orang itu sembunyi, sementara orang yang disuruh tidak sembunyi atau tidak bisa dilindungi,” cetusnya lagi.
Dan untuk mendapatkan pengakuan dari seseorang yang disangkakan menggunakan Narkoba, lanjutnya, maka aparat kepolisian tidak boleh menggunakan tindakan-tindakan kekerasan sebab UU itu melarang untuk itu. “Melontarkan pertanyaan yang menjebak saja tidak boleh, apalagi tindakan-tindakan yang bersifat pemaksaan lainnya. Sehingga disinilah peran advokat dalam mengadvokasi seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka. Oleh karenanya, kami mengharapkan agar pihak Kepolisian juga memberitahukan kepada para pelaku Narkoba untuk menggunakan advokat, sebab sering kami dapati, mereka itu sudah diambil BAP nya baru disarankan memakai advokat dan jelas itu sangat merugikan sekali pihak yang harusnya mendapatkan pendampingan,” tandasnya. (GA. 211*)
Narkoba, merupakan istilah yang tidak asing lagi bagi semua lapisan masyarakat di negeri ini.
Apalagi genderang perang terhadap narkoba terus menerus dilakukan, baik oleh BNN (Badan Narkotika Nasional), BNP dan BNK, maupun kepolisian, LSM dan di sekolah-sekolah. Gema tentang bahaya narkoba, kesaksian beberapa pecandu narkoba, sanksi pidana mati bagi terpidana narkoba terus dilakukan melalui sosialisasi, penyuluhan, seminar, pemberitaan di media massa dan elektronik.
Namun apakah kriminalitas obat-obatan terlarang tersebut semakin berkurang? Jawabannya belum. Apakah ini menunjukkan bahwa undang-undang yang ada belum efektif? Bisa saja benar, namun faktor tersebut hanyalah menjadi salah satu faktor penyebab lemahnya upaya penanggulangan kejahatan, karena dalam kebijakan kriminal (criminal policy), sebagai upaya penanggulangan dan pencegahan kejahatan perlu digunakan pendekatan integral, yaitu perpaduan antara sarana penal dan non penal. Sarana penal adalah hukum pidana.
Sementara non penal adalah sarana non hukum pidana, yang dapat berupa kebijakan ekonami, sosial, budaya, agama, pendidikan, teknologi, dan lain-lain. Jadi sangatlah sulit untuk mengharapkan pendekatan hukum pidana saja, sehingga pendekatan non penal harus lebih dimaksimalkan, karena sifatnya preventif dan akan efektif.
Dalam perspektif Ketua KAI NTB, Umaiyah, SH., MH., meski angka penangkapan dan penahanan penggunan Narkoba di NTB selama ini sangat tinggi. Namun, dibalik itu semua, banyak sekali berkembang pertanyaan maupun perlawanan publik terhadap adanya sinyalemen salah penerapan hukum dalam penanganan Narkoba.
“Saya mungkin bisa dibilang agak lumayanlah menangani kasus Narkoba di NTB. Kami termasuk lawyer yang juga sangat kecewa dengan cara-cara pihak Kepolisian yang menggunakan cara-cara menjebak dengan menggunakan kurir atau informen yang berperan sebagai penjual atau pembeli terselubung. Dalam pandangan kami, ini merupakan salah penerapan hukum, meski memang ada pasal dalam UU tentang Psikotropika itu yang membenarkan tentang adanya pembeli terselubung,” jelasnya kepada wartawan diruang kerjanya di jalan Bung Karno, belum lama ini.
Dalam penerapannya, menurut Umaiyah, kadang-kadang ditemukan informen atau kurir yang digunakan untuk membeli tidak menemukan penjual.
“Kadang-kadang orang yang dipergunakan ini juga dijadikan sebagai tersangka. Sedangkan dalam ketentuan hokum yang ada, orang-orang seperti ini merupakan satu mata rantai dengan mereka yang bergerak underground yang semestinya harus dilindungi oleh hukum, karena mereka masuk juga dalam kategori pembeli dan penjual terselubung. Nah hal seperti ini yang sering terjadi terhadap para klien yang saya sempat tangani,” ujar pengacara senior ini.
Menurutnya, selama dirinya menjadi pengacara tidak pernah pihak Kepolisian NTB ini menangkap adanya Bandar Narkoba. Mestinya, menurut Umaiyah, yang harus diberantas itu adalah Bandar besarnya. “Pasti akan bersih pak. Bahkan, kalau di Negara-negara maju itu, seperti pengguna, itu sudah tidak dihukum karena dia hanya merugikan badannya sendiri sehingga diselesaikan dengan cara merehabilitasinya.
Sehingga yang perlu diberantas itu adalah para Bandar yang memproduksi Narkoba itu,” cetusnya. Profesionalisme Polri dalam meningkatkan kapasitas dan kapabilitas dalam mengungkap kejahatan Narkoba merupakan sesuatu hal yang sangat urgen. “Maka dengan profesionalisme ini serta penggabungan informasi yang diperoleh dari masyarakat untuk mengungkap Bandar Narkoba.
Selain memang harus dilindungi juga orang yang dipergunakan sebagai informen atau kurir yang disuruh untuk membeli. Prinsipnya polisi menggunakan orang, maka polisi itu juga harus melindungi orang yang disuruhnya. Sehingga jangan sampai tejadi seperti ini yakni polisi yang menyuruh orang itu sembunyi, sementara orang yang disuruh tidak sembunyi atau tidak bisa dilindungi,” cetusnya lagi.
Dan untuk mendapatkan pengakuan dari seseorang yang disangkakan menggunakan Narkoba, lanjutnya, maka aparat kepolisian tidak boleh menggunakan tindakan-tindakan kekerasan sebab UU itu melarang untuk itu. “Melontarkan pertanyaan yang menjebak saja tidak boleh, apalagi tindakan-tindakan yang bersifat pemaksaan lainnya. Sehingga disinilah peran advokat dalam mengadvokasi seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka. Oleh karenanya, kami mengharapkan agar pihak Kepolisian juga memberitahukan kepada para pelaku Narkoba untuk menggunakan advokat, sebab sering kami dapati, mereka itu sudah diambil BAP nya baru disarankan memakai advokat dan jelas itu sangat merugikan sekali pihak yang harusnya mendapatkan pendampingan,” tandasnya. (GA. 211*)