Oleh: Imam Ahmad
Tragedi Lambu berdarah, suatu pergolakan pertambangan, semestinya tidak perlu terjadi jika para pemimpin kita selalu membaca akan sejarah besar para pemimpin Kesultanan Bima sebelumnya. Para pemimpin yang selalu mendasari diri akan kedalaman filsafat alam dan yang memandang bahwa alam adalah juga bagian dari sesuatu yang hidup dan berinteraksi dengan manusia. Dalam Kitab Bo’ Sangaji Kai yang ditulis oleh Henri Chamber Loir
dan Hj. Siti Maryam R. Salahuddin, pada bab yang mengatur tentang Tanah Larangan, disitu ditulis bahwa “Tanah yang tidak boleh dibuka untuk dijadikan sawah, atau kebun, atau ladang, yaitu ruhu-ruhu kepunyaan raja, tureli atau jeneli. Dan juga tanah-tanah yang berdekatan dengan mata air atau sungai. Dan siapa-siapa yang melanggar ini akan dihukum berat,”.Naskah ini memberikan sebuah deskripsi akan pengaturan sisi normative yang begitu mendalam sejak era tegaknya Kesultanan Bima.
Bagaimana para pendahulu Negeri menyusun suatu aturan normative tentang pengelolaan lingkungan yang kemudian secara bersama-sama ditegakkan dan dihormati secara bersama baik oleh rakyatnya maupun oleh para pemimpin Kerajaannya. Hal yang sesungguhnya telah hilang saat sekarang ini akibat dari kealpaan para pemimpin kita sekarang membuka kembali nilai-nilai luhur yang dijalankan oleh para leluhurnya dulu. Aspek pertambangan, memang merupakan sebuah aspek yang sangat menggiurkan untuk menghimpun Pendapatan Asli Daerah (PAD). Apalagi jika potensi yang terkandung didalamnya berjumlah cukup besar. Hanya saja, selain mengejar sisi keuntungan ekonomis dari pengelolaan tambang. Mestinya para pemimpin juga harus mengedepankan nilai-nilai kearifan local (local genious) sebagaimana yang diteladankan oleh para pemimpin sebelumnya yang sangat menghargai eksistensi kelestarian lingkungan sekitar atau ecological values.
‘Toho Mpara Ndai, Sura Dou Labo Dana’, menjadi sebuah symbol pengorbanan Raja atau Para Pemimpin Adat Mbojo dalam memimpin rakyatnya. Ia tidak hanya menjadi sebuah pernyataan retorik belaka, akan tetapi Ia merupakan sebuah Ikrar atau Sumpah yang senantiasa dijunjung tinggi oleh para Pemimpin Adat. Ketika sumpah ini dilanggar, maka konsekuensinya akan sangat berat bagi dirinya di dunia maupun di akhirat kelak. Maka tidak mengherankan, dengan ikrar ini, setiap Raja atau Sultan Bima selalu berkibar namanya dihati rakyat. Kurangnya pengamalan nilai-nilai luhur Adat Bima ini oleh para pemimpin Bima terakhir, Ferry Zulkarnain, bisa dipahami oleh karena kuatnya faktor lingkungan yang selama ini mempengaruhi kehidupan pribadinya.
Sejak kecil, Sang Putra Mahkota ini dibesarkan dalam suasana lingkungan yang sudah jauh dari nilai-nilai luhur Dana Mbojo. Ia dibesarkan di Jakarta, bahkan hingga saat sekarang, Ferry Zulkarnain, belum fasih berbahas Mbojo. Kealpaannya dalam mendalami nilai-nilai luhur Adat Mbojo inilah yang kemudian mempengaruhi setiap karakter kebijakan selama ia memimpin Bima. Bahkan hingga meletusnya peristiwa Lambu Berdarah ini. Nilai-nilai seperti ‘Tohompara Ndai, Sura Dou Labo Dana’ tereduksi oleh datangnya nilai-nilai dari luar. Sebagaimana yang ditulis oleh LENSAINDONESIA.COM yang merilis pernyataan Ramadhan Pohan, Wasekjen DPP Partai Demokrat, yang sangat tidak menyukai Bupati Bima, Ferry Zulkarnain, yang terkesan membela PT. SMN, dan enggan Cabut Izin PT SMN. (lebih lengkap silahkan klik, LENSAINDONESIA.COM, edisi Sabtu 7 Januari 2012).
Tragedi Lambu berdarah, suatu pergolakan pertambangan, semestinya tidak perlu terjadi jika para pemimpin kita selalu membaca akan sejarah besar para pemimpin Kesultanan Bima sebelumnya. Para pemimpin yang selalu mendasari diri akan kedalaman filsafat alam dan yang memandang bahwa alam adalah juga bagian dari sesuatu yang hidup dan berinteraksi dengan manusia. Dalam Kitab Bo’ Sangaji Kai yang ditulis oleh Henri Chamber Loir
dan Hj. Siti Maryam R. Salahuddin, pada bab yang mengatur tentang Tanah Larangan, disitu ditulis bahwa “Tanah yang tidak boleh dibuka untuk dijadikan sawah, atau kebun, atau ladang, yaitu ruhu-ruhu kepunyaan raja, tureli atau jeneli. Dan juga tanah-tanah yang berdekatan dengan mata air atau sungai. Dan siapa-siapa yang melanggar ini akan dihukum berat,”.Naskah ini memberikan sebuah deskripsi akan pengaturan sisi normative yang begitu mendalam sejak era tegaknya Kesultanan Bima.
Bagaimana para pendahulu Negeri menyusun suatu aturan normative tentang pengelolaan lingkungan yang kemudian secara bersama-sama ditegakkan dan dihormati secara bersama baik oleh rakyatnya maupun oleh para pemimpin Kerajaannya. Hal yang sesungguhnya telah hilang saat sekarang ini akibat dari kealpaan para pemimpin kita sekarang membuka kembali nilai-nilai luhur yang dijalankan oleh para leluhurnya dulu. Aspek pertambangan, memang merupakan sebuah aspek yang sangat menggiurkan untuk menghimpun Pendapatan Asli Daerah (PAD). Apalagi jika potensi yang terkandung didalamnya berjumlah cukup besar. Hanya saja, selain mengejar sisi keuntungan ekonomis dari pengelolaan tambang. Mestinya para pemimpin juga harus mengedepankan nilai-nilai kearifan local (local genious) sebagaimana yang diteladankan oleh para pemimpin sebelumnya yang sangat menghargai eksistensi kelestarian lingkungan sekitar atau ecological values.
‘Toho Mpara Ndai, Sura Dou Labo Dana’, menjadi sebuah symbol pengorbanan Raja atau Para Pemimpin Adat Mbojo dalam memimpin rakyatnya. Ia tidak hanya menjadi sebuah pernyataan retorik belaka, akan tetapi Ia merupakan sebuah Ikrar atau Sumpah yang senantiasa dijunjung tinggi oleh para Pemimpin Adat. Ketika sumpah ini dilanggar, maka konsekuensinya akan sangat berat bagi dirinya di dunia maupun di akhirat kelak. Maka tidak mengherankan, dengan ikrar ini, setiap Raja atau Sultan Bima selalu berkibar namanya dihati rakyat. Kurangnya pengamalan nilai-nilai luhur Adat Bima ini oleh para pemimpin Bima terakhir, Ferry Zulkarnain, bisa dipahami oleh karena kuatnya faktor lingkungan yang selama ini mempengaruhi kehidupan pribadinya.
Sejak kecil, Sang Putra Mahkota ini dibesarkan dalam suasana lingkungan yang sudah jauh dari nilai-nilai luhur Dana Mbojo. Ia dibesarkan di Jakarta, bahkan hingga saat sekarang, Ferry Zulkarnain, belum fasih berbahas Mbojo. Kealpaannya dalam mendalami nilai-nilai luhur Adat Mbojo inilah yang kemudian mempengaruhi setiap karakter kebijakan selama ia memimpin Bima. Bahkan hingga meletusnya peristiwa Lambu Berdarah ini. Nilai-nilai seperti ‘Tohompara Ndai, Sura Dou Labo Dana’ tereduksi oleh datangnya nilai-nilai dari luar. Sebagaimana yang ditulis oleh LENSAINDONESIA.COM yang merilis pernyataan Ramadhan Pohan, Wasekjen DPP Partai Demokrat, yang sangat tidak menyukai Bupati Bima, Ferry Zulkarnain, yang terkesan membela PT. SMN, dan enggan Cabut Izin PT SMN. (lebih lengkap silahkan klik, LENSAINDONESIA.COM, edisi Sabtu 7 Januari 2012).
Lalu kira-kira apa motivasi dibalik pemberian perlindungan itu?. Pihak Kepolisian dan Kejaksaan sebenarnya tidak boleh diam melihat hal ini. Mestinya sebagai institusi penegak Hukum, hal-hal yang diduga merugikan Rakyat dan Negara seperti ini harus segera diusut tuntas. Bukan malah memperhatikan hal-hal lain yang tidak substantive dan jauh dari kepentingan rakyat. Apalagi indikasinya sangat terang benderang dalam hal ini yakni adanya keengganan Bupati Bima mencabut SK. 188/2010 hanya karena takut digugat oleh perusahaan tambang (ini merupakan sebuah alasan yang terlalu dibuat-buat), padahal dengan adanya indikasi adanya ketidak jelasan alamat yang disinyalir dilakukan oleh PT. SMN.???.Wallahu’alam Bissawab.*)