Oleh: Rafika,S.Pd
Dilema itu sepertinya tidak tahu aturan karena datang ketika situasi tidak menyenangkan, tidak memihak, dan sangat tidak menguntungkan. Lagi-lagi dilema itu kini hadir dipangkuan siapa saja yang mau tidak mau harus ikut terdilematik. Manusia memang tuan bagi nasibnya sendiri, dengan hidup yang ditentukan oleh tindakannya, Jean Paul Sartre, (filsuf Perancis). Yang benar dan salah tidaklah sece¬pat dan sewenang kinerjanya tip ex! Hati-hatilah bermain dengan tip ex, karena pengaruhnya mampu memanjakan kita untuk enteng berbuat kekeliruan dan kesalahan ! Dan jangan sekali-kali mau diperbudak oleh tip ex.
Membingungkan dan kekecewaan nampak hadir di rona-rona yang tertindas, ibarat matahari ingin terik tetapi mendung lebih berpihak di antara barisan orasi yang plural. Ya… terik itu kini semakin terhalang oleh pelangi yang mema¬merkan warnanya yang merona dan merekah . Sangat bersahaja dan enerjik untuk mengha¬pus nuansa hitam yang berkelebat di terik yang garang. Adakah kegarangan itu bisa menghapus siluet ? Adakah kegarangan itu menjadi hero di antara heroik ? Adakah senandung itu bisa disimak untuk mengisi hari-hari yang terlewati tanpa nahkoda ? Semua tersentak kaget karena ini bukanlah mimpi yang nelangsa, tetapi ini adalah mimpi yang termanifes.Semua terekploitasi dan tertawar di antara serpihan-serpihan hablur, nyata dan terikrar. Ketika semuanya bungkam? Ketika semua keluh tak terlisankan dan dipendam dalam-dalam bak harta karun ? ketika semuanya asik dalam lamunan? Ketika semuanya ragu ? Ketika semuanya terseret arus? Dan ketika semuanya larut dalam kebimbangan! Ketika itulah animo menuntut untuk dimiliki dan diakui oleh pihak-pihak yang berkepentingan.Semuanya menjadi sisi yang penting untuk diisi, dinaungi dan ditelusuri. Tetapi alangkah gundahnya jiwa karena antara hati yang tersurat saling ber¬gayung memaparkan dilema yang tak terse¬lesaikan. Inikah cobaan yang tiada ujungnya ? Seperti Jalan Tak Ada Ujung, miliknya Muhtar Lubis. Ya… semuanya menjadi buntu dan amburadol! Karena apapun yang tidak tertuturkan akan menjadi biangnya bumerang bagi diri, orang lain dan sekitar. Mengapa harus ada dilema sementara kita alergi dengan dilematik. Harus ada ofensif yang benar-benar sistematis agar memudarkan image yang berkepanjangan. Antara tuntutan dan keinginan berlomba untuk mementaskan siapa yang paling hebat, yang paling jujur, yang paling disiplin, paling diakui,paling berpengaruh, paling heboh dan yang paling untuk semua. Semua mata terbelalak takjup, semua hati berontak, semua saling melemparkan tudingan, tetapi naluri sangsi dengan luapan emosi yang bercuaca. Jiwa tertekan, membathin, dan bingung dengan segala macam persoalan yang membelenggu. Retorika yang dipaparkan sangat mengumbar emosi, hiperbol, dan sarkas. Sungguh sangat mengusik etika, estetika, dan kebiasaan dalam lingkungan yang bertata krama. Ya… sesungguhnya semua yang berle¬bihan itu tidaklah baik.Kita tidak perlu memamerkan dan memajang semuanya di etalase, karena konsumen lebih berhak dan cerdik untuk memilah dan memilih. Apapun yang kita kerjakan dan kita promokan, senantiasa akan diberikan penilaian dan dievaluasi oleh publik tanpa kita ketahui dan kita minta! Publik selalu stand by meresensi semuanya dengan objektif. Kebebasan dalam berkarya dan berdialog perlu dihargai dan disikapi dengan jiwa besar, objektif, dan mawas. Tetapi ketika sebaliknya dihendel, dilema itu kian merdeka di antara histeris yang kian lalang. Kita tidak perlu radang, nyeri, dan ngilu karena setiap sentilan memiliki nilai sakral yang harus kita terima! Setiap individu memiliki nilai plus dan minus! Jadi keakuan yang terkini adalah milik personal-personal yang tidak mewakili label dan prestise. Apa yang menjadi tujuan, cita-cita, harus tercetus dari sikap dan tutur yang sistematis.Gambaran dari pribadi akan terbaca pada aura yang orisinil. Yang sekarang dan tempo hari adalah sejarah yang kita miliki yang senantiasa menagih tanggung jawab, pertanggungjawaban, dan penyelesaian. Kita bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan bagi kehidupan pribadi kita, Catherine Pulsifer dan Integritas adalah mela¬kukan hal yang benar, walau tidak seorangpun yang mengawasi, Unknown Author. Semuanya tidak bisa terwujud seketika, dan sim salabim. Yang terevaluasi sekarang adalah rangkuman dari sejarah masa lalu.Wujud memang bisa sirna seketika, tetapi aroma yang terendus tidak akan bisa lenyap, malah akan semerbak sepanjang hayat.Ironisnya, kita tidak mau belajar dari pengalaman, tidak sudi meno¬leh , tidak mau tahu, dan sangat licik menyem¬bunyikan belang. Keterbukaan adalah tindakan yang perlu dilirik, agar kelak kita tidak menjadi tumbal bagi kecongkakan orang lain. Jangan biarkan dilema itu karam seketika, tetapi dayung¬lah untuk menepi walau tanpa penge¬mudi ! Yang kita butuhkan adalah ayom, tata tertib, orisinil, jujur, dan tidak menyotek budaya yang lagi hits. Kegersangan itu harus disiram oleh jiwa yang saling memahami, asih,religi, dan bijak. Tetapi bukan yang berhaluan ! Petakalah yang siap menanti, ketika semuanya masih mengikuti planing yang kadaluarsa dan tidak bertujuan. Haruskah dilema itu terus melilit, menari, dan menguntit napas penerus kehidupan kita? Kedamaian dan prestasi adalah sederet mimpi yang tidak akan pernah tercapai, bila semuanya tutup mata. “Kita belum hidup dalam sinar bulan purnama, tetapi kita masih hidup di masa pancaroba, Sukarno. Ketika semuanya dijadikan objek dan lahan untuk membuang dilema, membuang limbah, tentunya semua menjadi terusik ! Keterusikan itu akan tercetus di antara puing-puing keapatisan, kebodohan, dan keterbelakangan. Hidup itu harus disikapi dengan kejujuran, dan bukan bermain dengan diplomasi yang sarat kelicikan ! Saling tendang ! saling umpat dan saling menjatuhkan ! Yang terpenting adalah Jangan sampai ada dusta di antara kita! Semoga kita menjadi pihak-pihak yang selalu menghargai kejujuran dan menjauhi sikap-sikap yang merugikan orang lain, amin. Pemerhati pendidikan dan budaya Aktif di SMA Negeri I Bolo
Dilema itu sepertinya tidak tahu aturan karena datang ketika situasi tidak menyenangkan, tidak memihak, dan sangat tidak menguntungkan. Lagi-lagi dilema itu kini hadir dipangkuan siapa saja yang mau tidak mau harus ikut terdilematik. Manusia memang tuan bagi nasibnya sendiri, dengan hidup yang ditentukan oleh tindakannya, Jean Paul Sartre, (filsuf Perancis). Yang benar dan salah tidaklah sece¬pat dan sewenang kinerjanya tip ex! Hati-hatilah bermain dengan tip ex, karena pengaruhnya mampu memanjakan kita untuk enteng berbuat kekeliruan dan kesalahan ! Dan jangan sekali-kali mau diperbudak oleh tip ex.
Membingungkan dan kekecewaan nampak hadir di rona-rona yang tertindas, ibarat matahari ingin terik tetapi mendung lebih berpihak di antara barisan orasi yang plural. Ya… terik itu kini semakin terhalang oleh pelangi yang mema¬merkan warnanya yang merona dan merekah . Sangat bersahaja dan enerjik untuk mengha¬pus nuansa hitam yang berkelebat di terik yang garang. Adakah kegarangan itu bisa menghapus siluet ? Adakah kegarangan itu menjadi hero di antara heroik ? Adakah senandung itu bisa disimak untuk mengisi hari-hari yang terlewati tanpa nahkoda ? Semua tersentak kaget karena ini bukanlah mimpi yang nelangsa, tetapi ini adalah mimpi yang termanifes.Semua terekploitasi dan tertawar di antara serpihan-serpihan hablur, nyata dan terikrar. Ketika semuanya bungkam? Ketika semua keluh tak terlisankan dan dipendam dalam-dalam bak harta karun ? ketika semuanya asik dalam lamunan? Ketika semuanya ragu ? Ketika semuanya terseret arus? Dan ketika semuanya larut dalam kebimbangan! Ketika itulah animo menuntut untuk dimiliki dan diakui oleh pihak-pihak yang berkepentingan.Semuanya menjadi sisi yang penting untuk diisi, dinaungi dan ditelusuri. Tetapi alangkah gundahnya jiwa karena antara hati yang tersurat saling ber¬gayung memaparkan dilema yang tak terse¬lesaikan. Inikah cobaan yang tiada ujungnya ? Seperti Jalan Tak Ada Ujung, miliknya Muhtar Lubis. Ya… semuanya menjadi buntu dan amburadol! Karena apapun yang tidak tertuturkan akan menjadi biangnya bumerang bagi diri, orang lain dan sekitar. Mengapa harus ada dilema sementara kita alergi dengan dilematik. Harus ada ofensif yang benar-benar sistematis agar memudarkan image yang berkepanjangan. Antara tuntutan dan keinginan berlomba untuk mementaskan siapa yang paling hebat, yang paling jujur, yang paling disiplin, paling diakui,paling berpengaruh, paling heboh dan yang paling untuk semua. Semua mata terbelalak takjup, semua hati berontak, semua saling melemparkan tudingan, tetapi naluri sangsi dengan luapan emosi yang bercuaca. Jiwa tertekan, membathin, dan bingung dengan segala macam persoalan yang membelenggu. Retorika yang dipaparkan sangat mengumbar emosi, hiperbol, dan sarkas. Sungguh sangat mengusik etika, estetika, dan kebiasaan dalam lingkungan yang bertata krama. Ya… sesungguhnya semua yang berle¬bihan itu tidaklah baik.Kita tidak perlu memamerkan dan memajang semuanya di etalase, karena konsumen lebih berhak dan cerdik untuk memilah dan memilih. Apapun yang kita kerjakan dan kita promokan, senantiasa akan diberikan penilaian dan dievaluasi oleh publik tanpa kita ketahui dan kita minta! Publik selalu stand by meresensi semuanya dengan objektif. Kebebasan dalam berkarya dan berdialog perlu dihargai dan disikapi dengan jiwa besar, objektif, dan mawas. Tetapi ketika sebaliknya dihendel, dilema itu kian merdeka di antara histeris yang kian lalang. Kita tidak perlu radang, nyeri, dan ngilu karena setiap sentilan memiliki nilai sakral yang harus kita terima! Setiap individu memiliki nilai plus dan minus! Jadi keakuan yang terkini adalah milik personal-personal yang tidak mewakili label dan prestise. Apa yang menjadi tujuan, cita-cita, harus tercetus dari sikap dan tutur yang sistematis.Gambaran dari pribadi akan terbaca pada aura yang orisinil. Yang sekarang dan tempo hari adalah sejarah yang kita miliki yang senantiasa menagih tanggung jawab, pertanggungjawaban, dan penyelesaian. Kita bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan bagi kehidupan pribadi kita, Catherine Pulsifer dan Integritas adalah mela¬kukan hal yang benar, walau tidak seorangpun yang mengawasi, Unknown Author. Semuanya tidak bisa terwujud seketika, dan sim salabim. Yang terevaluasi sekarang adalah rangkuman dari sejarah masa lalu.Wujud memang bisa sirna seketika, tetapi aroma yang terendus tidak akan bisa lenyap, malah akan semerbak sepanjang hayat.Ironisnya, kita tidak mau belajar dari pengalaman, tidak sudi meno¬leh , tidak mau tahu, dan sangat licik menyem¬bunyikan belang. Keterbukaan adalah tindakan yang perlu dilirik, agar kelak kita tidak menjadi tumbal bagi kecongkakan orang lain. Jangan biarkan dilema itu karam seketika, tetapi dayung¬lah untuk menepi walau tanpa penge¬mudi ! Yang kita butuhkan adalah ayom, tata tertib, orisinil, jujur, dan tidak menyotek budaya yang lagi hits. Kegersangan itu harus disiram oleh jiwa yang saling memahami, asih,religi, dan bijak. Tetapi bukan yang berhaluan ! Petakalah yang siap menanti, ketika semuanya masih mengikuti planing yang kadaluarsa dan tidak bertujuan. Haruskah dilema itu terus melilit, menari, dan menguntit napas penerus kehidupan kita? Kedamaian dan prestasi adalah sederet mimpi yang tidak akan pernah tercapai, bila semuanya tutup mata. “Kita belum hidup dalam sinar bulan purnama, tetapi kita masih hidup di masa pancaroba, Sukarno. Ketika semuanya dijadikan objek dan lahan untuk membuang dilema, membuang limbah, tentunya semua menjadi terusik ! Keterusikan itu akan tercetus di antara puing-puing keapatisan, kebodohan, dan keterbelakangan. Hidup itu harus disikapi dengan kejujuran, dan bukan bermain dengan diplomasi yang sarat kelicikan ! Saling tendang ! saling umpat dan saling menjatuhkan ! Yang terpenting adalah Jangan sampai ada dusta di antara kita! Semoga kita menjadi pihak-pihak yang selalu menghargai kejujuran dan menjauhi sikap-sikap yang merugikan orang lain, amin. Pemerhati pendidikan dan budaya Aktif di SMA Negeri I Bolo