Salam Redaksi
Oleh: Imam Ahmad
Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB secara mengejutkan mengumumkan telah menghentikan proses penyelidikan kasus dugaan penyimpangan pada pekerjaan timbunan kantor Bupati Bima yang menelan anggaran sebesar Rp9 Milyar lebih.
Menariknya, pernyataan Kejati NTB ini dikeluarkan setelah lembaga yang dipimpin oleh Novarida, SH., MH., ini menegaskan akan serius menindaklanjuti laporan dugaan korupsi yang disampaikan oleh Gerakan Bersama Pemuda dan Mahasiswa Bima (GEBPMABI) Mataram NTB ini sejak lima (5) bulan lalu.
Menariknya, keputusan Kejati NTB menghentikan kasus ini karena didasari oleh adanya rekomendasi dari PU Provinsi NTB yang dimintai bantuan oleh Kejati NTB sendiri untuk melakukan audit fisik terhadap pekerjaan yang diduga menuai persoalan tersebut.
Aktivis GEBPMABI sendiri mencium adanya gelagat atau indikasi yang kurang baik dari keputusan atau sikap Kejati NTB menghentikan penyelidikan kasus ini. Apalagi, salah satu alasan Kejati menghentikan penyelidikannya adalah berdasarkan rekomendasi audit fisik dari PU NTB.
Memang agak sedikit mengherankan jika Kejati menjadikan Audit Fisik PU NTB itu sebagai alat pembenaran untuk menghentikan penyelidikan suatu kasus. Apalagi sasaran penyelidikan itu sendiri masih berada pada satu garis koordinasi kerja dengan PU NTB.
Dikhawatirkan, hasil audit yang direkomendasi itu sendiri akan menjadi tidak objektif, tidak independen, dan terkesan menutup-nutupi kebenaran yang sesungguhnya.
Secara hukum, lembaga audit resmi yang dimiliki pemerintah RI adalah BPK dan atau BPKP. Mestinya, pihak Kejati NTB mempercayakan audit fisik dan keuangan itu pada dua (2) lembaga resmi pemerintah yang memang ditunjuk oleh undang-undang untuk melakukan audit.
Apalagi ketika konteks audit itu merupakan konteks audit investigative yang berfungsi untuk mencari tahu adanya suatu dugaan tindak penyimpangan atau dugaan korupsi terhadap suatu proyek pemerintah.
Maka sepenuhnya harus menjadi ranah kedua lembaga tersebut. Dan hal ini tentu sangat berbeda ketika Kejati NTB meminta bantuan PU NTB untuk melakukan Audit Fisik. Jelas, disamping secara hukum audit yang dilakukan oleh PU itu sendiri bersifat tidak objektif (karena masih ada hubungan koordinasi dengan PU Kabupaten), serta tidak legitimate, karena tidak didasari oleh kekuatan undang-undang untuk menjadi lembaga audit.
Sehingga wajar saja kalau aktivis GEBPMABI dan tentu publik mempertanyakan keputusan Kejati NTB ini menghentikan proses penyelidikan kasus ini. Wallahu’alam Bissawab*).