Kota Bima, Garda Asakota.-
Workshop dalam rangka memperingati 200 tahun erupsi gunung api Tambora 1815 dihelat oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG).
Acara yang berlangsung selama 2 (dua) hari di aula kantor Walikota Bima, dibuka oleh Walikota Bima, HM. Qurais H Abidin, Senin (13/4).
Workshop ini dihadiri pula oleh, Bupati Dompu, Drs. H. Bambang M Yasin, Dandim 1608 Bima, Polres Bima Kota, FKPD, serta pimpinan SKPD lingkup Pemerintah Kota Bima. Tak hanya itu hadir pula keynote speaker dari DPRI Kyoto University Japan Mr Masato Iguchi dan Geooscience Australia Mrs. Adele Bear.
Acara workshop commemorating the 200 year anniversary of the tambora eruption bima dibuka secara langsung oleh Kepala Badan geologi Kementrian ESDM Dr Surono. Diawalinya dengan pemaparan mengenai potensi dan problematikan Mitigasi Bencana Gunung Api di Indonesia. Workshop ini mengangkat tema.
“Pembelajaran Letusan Tambora Tahun 1815 Dan Peningkatan Kesiapsigaan Kelembagaan Dan Masyarakat.”. Dr. Surono menyampaikan bahwa jika dilihat dari kondisi geografis Indonesia merupakan negara yang memiliki gunung api aktif terbanyak di dunia. Dari seluruh gunung berapi yang aktif di seluruh dunia, 15 persen berada di indonesia. Letusan Tambora pada 2 (dua) abad yang lalu yakni letusan terdahsyat di duni, bahkan menelan korban yang cukup fantastis.
Di dalam wilayah Indonesia terdapat sedikitnya 128 gunung berapi yang masuk kategori aktif. Luas daerah yang terancam adalah seluas 16.620 kilometer persegi dengan jumlah warga di sekitar gunung api mencapai kira-kira tiga juta jiwa.
Di pulau sumatera terdapat sedikitnya 11 gunung berapi. Sementara di pulau jawa sebanyak 20 gunung berapi. Di pulau sulawesi sebanyak 11 gunung berapi dan kepulauan maluku empat gunung berapi. Terakhir, di sunda kecil meliputi bali (2 gunung berapi), sumbawa (2 gunung berapi, yaitu tambora dan sangeang api), lombok (1 gunung berapi), dan flores (21 gunung berapi). Hanya pulau kalimantan dan pulau irian yang tidak terdeteksi memiliki gunung berapi. “Dengan kondisi alam yang seperti ini, tentu saja penanganan bencana vulkanologi harus menjadi perhatian serius kita bersama,” jelasnya.
Sementara, Walikota Bima HM Qurais H Abidin menyampaikan, bahwa tatanan kelembagaan merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam penanganan bencana, termasuk bencana vulkanologi.
Paradigma penanggulangan bencana berubah dari berorientasi respon menjadi pengurangan risiko. Undang-undang ini merupakan dasar hukum dan melahirkan suatu bentuk tatanan kelembagaan dalam penanganan bencana dari tingkat pusat sampai tingkat daerah.
Sejak dikeluarkannya undang-undang Nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, bentuk tatanan kelembagaan tersebut ialah dengan berdirinya badan nasional penanggulangan bencana (BNPB) di tingkat pusat, sedangkan di tingkat daerah dibentuk badan penanggulangan bencana daerah (BPBD).
“Sebagai kepala daerah, alhamdulillah dapat saya sampaikan bahwa kelembagaan penanganan bencana di daerah kami sudah cukup berfungsi dengan baik.
Terlebih dengan bantuan berbagai pihak Non Pemerintah (NGO), antara lain Oxfam, AUS AID, Jica (Jepang), serta ICITAP dari Departemen Kehakiman Amerika Serikat,” katanya. Pihak-pihak tersebut telah membantu Kota Bima dalam penguatan kapasitas masyarakat sehingga terbentuk kelurahan tangguh terhadap bencana, serta peningkatan SDM penanggulangan bencana dan penyediaan alat-alat kesehatan dan tenaga medis. Ditengah sosialiasi tersebut, tampak dilaksanakan pemutaran film Gunung Tambora. Setelahnya secara simbolis serah terima sumur bor di Kota Bima dan Kabupaten Bima yang ditandatangani Kepala Badan Geologi, Walikota Bima, dan Kepala Dinas Pertambangan kabupaten Bima. Adapula penandatangan sampul perangko 200 tahun letusan Gunung Tambora oleh kepala Badan Geologi Kementriam ESDM. (GA. 355*)
Workshop dalam rangka memperingati 200 tahun erupsi gunung api Tambora 1815 dihelat oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG).
Acara yang berlangsung selama 2 (dua) hari di aula kantor Walikota Bima, dibuka oleh Walikota Bima, HM. Qurais H Abidin, Senin (13/4).
Workshop ini dihadiri pula oleh, Bupati Dompu, Drs. H. Bambang M Yasin, Dandim 1608 Bima, Polres Bima Kota, FKPD, serta pimpinan SKPD lingkup Pemerintah Kota Bima. Tak hanya itu hadir pula keynote speaker dari DPRI Kyoto University Japan Mr Masato Iguchi dan Geooscience Australia Mrs. Adele Bear.
Acara workshop commemorating the 200 year anniversary of the tambora eruption bima dibuka secara langsung oleh Kepala Badan geologi Kementrian ESDM Dr Surono. Diawalinya dengan pemaparan mengenai potensi dan problematikan Mitigasi Bencana Gunung Api di Indonesia. Workshop ini mengangkat tema.
“Pembelajaran Letusan Tambora Tahun 1815 Dan Peningkatan Kesiapsigaan Kelembagaan Dan Masyarakat.”. Dr. Surono menyampaikan bahwa jika dilihat dari kondisi geografis Indonesia merupakan negara yang memiliki gunung api aktif terbanyak di dunia. Dari seluruh gunung berapi yang aktif di seluruh dunia, 15 persen berada di indonesia. Letusan Tambora pada 2 (dua) abad yang lalu yakni letusan terdahsyat di duni, bahkan menelan korban yang cukup fantastis.
Di dalam wilayah Indonesia terdapat sedikitnya 128 gunung berapi yang masuk kategori aktif. Luas daerah yang terancam adalah seluas 16.620 kilometer persegi dengan jumlah warga di sekitar gunung api mencapai kira-kira tiga juta jiwa.
Di pulau sumatera terdapat sedikitnya 11 gunung berapi. Sementara di pulau jawa sebanyak 20 gunung berapi. Di pulau sulawesi sebanyak 11 gunung berapi dan kepulauan maluku empat gunung berapi. Terakhir, di sunda kecil meliputi bali (2 gunung berapi), sumbawa (2 gunung berapi, yaitu tambora dan sangeang api), lombok (1 gunung berapi), dan flores (21 gunung berapi). Hanya pulau kalimantan dan pulau irian yang tidak terdeteksi memiliki gunung berapi. “Dengan kondisi alam yang seperti ini, tentu saja penanganan bencana vulkanologi harus menjadi perhatian serius kita bersama,” jelasnya.
Sementara, Walikota Bima HM Qurais H Abidin menyampaikan, bahwa tatanan kelembagaan merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam penanganan bencana, termasuk bencana vulkanologi.
Paradigma penanggulangan bencana berubah dari berorientasi respon menjadi pengurangan risiko. Undang-undang ini merupakan dasar hukum dan melahirkan suatu bentuk tatanan kelembagaan dalam penanganan bencana dari tingkat pusat sampai tingkat daerah.
Sejak dikeluarkannya undang-undang Nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, bentuk tatanan kelembagaan tersebut ialah dengan berdirinya badan nasional penanggulangan bencana (BNPB) di tingkat pusat, sedangkan di tingkat daerah dibentuk badan penanggulangan bencana daerah (BPBD).
“Sebagai kepala daerah, alhamdulillah dapat saya sampaikan bahwa kelembagaan penanganan bencana di daerah kami sudah cukup berfungsi dengan baik.
Terlebih dengan bantuan berbagai pihak Non Pemerintah (NGO), antara lain Oxfam, AUS AID, Jica (Jepang), serta ICITAP dari Departemen Kehakiman Amerika Serikat,” katanya. Pihak-pihak tersebut telah membantu Kota Bima dalam penguatan kapasitas masyarakat sehingga terbentuk kelurahan tangguh terhadap bencana, serta peningkatan SDM penanggulangan bencana dan penyediaan alat-alat kesehatan dan tenaga medis. Ditengah sosialiasi tersebut, tampak dilaksanakan pemutaran film Gunung Tambora. Setelahnya secara simbolis serah terima sumur bor di Kota Bima dan Kabupaten Bima yang ditandatangani Kepala Badan Geologi, Walikota Bima, dan Kepala Dinas Pertambangan kabupaten Bima. Adapula penandatangan sampul perangko 200 tahun letusan Gunung Tambora oleh kepala Badan Geologi Kementriam ESDM. (GA. 355*)