Foto: Suciana Usmasari |
Karya sastra merupakan realita dari kehidupan manusia. Penyair mengekspresikan karyanya melalui bahasa dengan makna yang diungkapkan melalui tanda. Hal tersebut didasarkan kenyataan bahwa bahasa adalah sistem tanda. Salah satu karya sastra yang mengekspresikan tanda adalah puisi. Bahasa yang terdapat pada sebagian puisi memiliki makna tersirat dan biasanya bersifat ambigu. Hal inilah yang memicu penulis untuk mengetahui makna pada suatu puisi. Seperti pada kumpulan puisi yang berjudul Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Thukul.
Dalam kumpulan puisi tersebut, Wiji Thukul mengungkap tentang penderitaan dan penindasan yang dialami oleh rakyat miskin pada era Soeharto tahun 80-an melalui perumpamaan-perumpamaan. Kritikan Wiji Thukul sebagai bentuk perlawanan sekaligus menyindir terhadap rezim otoritarianisme melalui simbol yang terdapat pada beberapa puisi. Tindakan-tindakan yang dilakukan pada era itu sungguh menyiksa kaum lemah, baik fisik maupun psikisnya. Tanda-tanda yang dimunculkan dalam puisi tersebut juga selalu dikaitkan dengan kondisi sosial. Adanya diksi yang menyimbolkan kondisi sosial itulah yang menarik untuk dituntaskan. Selain itu, kondisi-kondisi tersebut juga berkaitan dengan kondisi sosial yang terjadi di era sekarang. Salah satu puisi yang menjadi topiknya yaitu “nyanyian akar rumput”, seperti pada kutipan berikut:
“dicabut
terbuang
kami rumput
butuh tanah
dengar!”
(Nyanyian akar rumput_Thukul, 2017: 25)
Kutipan tersebut menjelaskan bahwa diksi rumput menggambarkan rakyat kecil, sedangkan tanah ialah tempat tinggalnya. Dalam artian, rakyat kecil itu membutuh tempat tinggal untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Selain itu, agar hidupnya tenang dan tidak diperlakukan seenaknya. Kutipan tersebut juga secara tidak langsung merupakan bentuk protes rakyat kecil terhadap pemerintah. Hal tersebut juga terjadi di era globalisasi ini, ada banyak rakyat miskin yang hidupnya terlunta-lunta, seperti terjadinya pembongkaran lahan warga yang dilakukan pemerintah hanya untuk memuaskan keinginananya tanpa memikirkan nasib rakyat.
Tidak hanya itu, sikap keserakahan pemerintah juga digambarkan oleh Thukul. Dalam puisi tersebut, ia menganggap itu perlu diungkap sebagai cerminan bagi pemerintah agar tidak sewenang-wenang pada rakyat miskin. Seperti kutipan berikut:
“lingkungan kita si mulut besar
dihuni lintah-lintah
yang kenyang-kenyang menghisap darah keringat tetangga”
(Lingkungan kita si mulut besar_Thukul, 2017: 38)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa diksi mulut besar menggambarkan sikap sombong, lintah diibaratkan orang atau pemerintah yang merampas milik orang lain, sedangkan darah ialah hak seseorang. Hal ini menjelaskan, pemerintah pada era itu banyak yang bersikap sombong dan menang sendiri. Mereka tidak peduli meskipun mengambil hak rakyat miskin. Semua itu mereka lakukan semata-mata karena memiliki kekuasaan atau jabatan tinggi agar bisa menggerakkan rakyat. Seiring berkembangnya zaman sikap keserakahan itu ternyata tidak bisa dilepaskan, masih saja berlangsung hingga kini. Namun, bentuknya lebih mengarah pada perebutan jabatan yang tujuannya hanya untuk mendapatkan kehormatan dari orang lain. Sebagian besar diantaranya juga untuk mengambil uang rakyat demi nafsu dan kenikmatan yang dirasakannya seorang diri.
Gambaran perlakuan tidak adil atas kemiskinan yang dialami rakyat juga dinyatakan Thukul. Seperti halnya, posisi orang miskin dibedakan dengan orang kaya. Seperti kutipan berikut:
“kota ini milik kalian
kecuali gedung-gedung tembok pagar besi itu: jangan!”
(Kota ini milik kalian_Thukul, 2017: 106)
Diksi tembok pagar besi menandakan tempat tinggal orang kaya. Dalam artian, kutipan tersebut menjelaskan bahwa orang miskin terserah ingin tinggal dimanapun, baik di kolong jembatan maupun di jalanan. Mereka diperbolehkan untuk tinggal disetiap penjuru kota. Namun, mereka tidak boleh tinggal dilingkungan orang kaya dan tidak diizinkan berada disekitarnya.
Adanya sikap yang tidak setara antara orang miskin dan orang kaya, membuat mereka kaum lemah pasrah dengan keadaan, ditambah lagi karena status mereka sebagai orang miskin. Terlebih di zaman sekarang, perbedaan status ekonomi sangat terlihat. Adanya sikap pilih kasih seperti pejabat yang dihormati dan disanjungkan meskipun ia berkorupsi, sedangkan pedagang kecil dianggap remeh dan dikucilkan. Seakan-akan sikap menghargai dan dihormati hanya bergantung pada status sosial, bukan dengan kebenaran.
Kemiskinan masih menjadi faktor utama yang tidak bisa mereka hindari. Hal ini terbukti, meskipun maju dan berkembangnya Indonesia, masih saja tidak mampu memakmurkan seluruh rakyatnya. Oleh sebab itu, mereka orang-orang lemah seringkali diremehkan dan dikucilkan. Seperti pada puisi berikut:
“monumen bambu runcing
di tengah kota
menunding dan berteriak merdeka
di kakinya tak jemu juga
pedagang kaki lima berderet-deret
walau berulang-ulang
dihalau petugas ketertiban”
(Monumen bambu runcing_Thukul, 2017: 106)
Puisi di atas menggambarkan bahwa diksi bambu runcing adalah suatu senjata, sedangkan berteriak merdeka menandakan semangat. Akan tetapi, puisi tersebut mengungkapkan meskipun para pejuang telah bersemangat dengan membawa senjata dan menunjukan kemenangannya. Masih banyak rakyat miskin yang berjuang untuk menghidupi kehidupannya, walau harus selalu diusir oleh petugas. Mereka hanya mampu menghindar agar bisa bertahan hidup dalam kemiskinan. Bahkan di era ini, kata kemerdekaan seakan-akan hanya sebuah nama yang tidak bisa direalisasikan. Terbukti dari tidak meratanya kesejahteraan rakyat dan itu membuat mereka dianggap tidak penting. Selain itu, setelah diteliti pengangguran yang semakin merajalela dan ketidaksanggupan untuk membiayai kebutuhan yang kian hari semakin melonjak, tidak sedikit diantaranya yang bunuh diri.
Melalui tanda atau simbol yang diungkap Thukul pada kumpulan puisi tersebut, adanya diksi-diksi yang mengungkap tentang penderitaan rakyat miskin. Diksi yang digunakan juga dikaitkan dengan keseharian dan disesuaikan dengan keberadaan rakyat miskin. Seperti halnya rumput, tanah, darah, bambu runcing itu semua tidak asing dalam kehidupan. Namun, dari diksi itu dapat menggambarkan bentuk penderitaan yang dialami oleh kaum lemah.
Wiji Thukul memang selalu membela kaum lemah dan bergabung bersama petani, buruh serta kaum miskin lainnya. ia menganggap bahwa kemiskinan itu lahir bukan semata-mata anugerah Tuhan.
Namun, kesempatan untuk memiliki derajat yang tinggi telah dilahap oleh kekuasaan politik. Hal itu diungkapnya melalui segi semiotik, yaitu dengan symbol atau tanda tersebut. Timbulnya masalah yang dialami rakyat miskin, seperti pendidikan, ekonomi, sosial, dikarenakan mereka lemah dan diperbudak oleh kekuasaan yang semakin mencekam.*
Penulis: Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Universitas Muhammadiyah Malang