Mataram, Garda Asakota.-
Kepala
Inspektorat Provinsi NTB, Ibnu Salim, SH. M.Si, di Mataram, Kamis (15/3-2018)
mengatakan Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) dan aparat penegak
hukum (APH) terus memperkuat dalam membangun sinergi pencegahan dan
pemberantasan korupsi di lingkungan Pemerintahan daerah. Penguatan sinergi itu,
ungkap Abah Ibnu sapaan akrabnya diwujudkan dalam bentuk perjanjian kerja sama
koordinasi antara APIP dan APH dalam penanganan pengaduan masyarakat yang
terindikasi korupsi, baik di tingkat pusat maupun daerah. Di tingkat pusat,
tuturnya Perjanjian kerja sama Tripartit antara Kementerian Dalam
Negeri dengan Kejaksaan Agung dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, telah
dilaksanakan penandatanganan pada akhir bulan Februari (28/2-2018) di Jakarta.
Perjanjian
kerja sama tersebut, akan ditindaklajuti dengan penandatangan perjanjian
kerja sama antara APIP dan APH di daerah, yakni PKS antara Gubernur dengan
Kajati dan Kapolda ditingkat Provinsi dan Antara Bupati/Walikota dengan
Kapolres dan Kajari untuk tingkat Kabupaten/Kota.
Penandatangan PKS untuk
Provinsi NTB direncanakan dilakukan secara serentak dengan seluruh
Kabupaten/Kota se- NTB, dijadwalkan pada minggu akhir bulan Maret ini.
"Kami masih menunggu jadwal dari Irjen Kemendagri," ujar Ibnu. Karena
menurutnya, penandatangan PKS di Daerah, akan dihadiri langsung oleh pejabat
terkait dari Kemedagri, Mabes Polri dan Kejaksaan Agung. Dan pada saat
penandatangan tersebut, akan langsung dilakukan sosialisasi mengenai substansi
dan bagaimana mengimplementasikan PKS tersebut secara terintegrasi, terang Abah
Ibnu. Dengan adanya Perjanjian kerja sama ini, maka kedepan, APIP dan APH
akan semakin intens berkoordinasi dan bersilahturahmi bagaimana menangani
tindak pidana korupsi dengan baik," ujar inspektur.
Mendagri
Tjahjo Kumolo, saat sosialisasi Perjanjian Kerja Sama antara APIP
dan APH dalam penanganan Pengaduan Masyarat terkait indikasi korupsi, di
Jakarta akhir hulan lalu mengingatkan kepada APIP dan APH di daerah agar terus
memperkuat sinergi. Ia berpesan agar setiap laporan masyarakat terkait indikasi
korupsi harus ditindaklanjuti oleh APIP dan APH.
Mendagri menekankan bahwa
koordinasi APIP dan APH tidak ditujukan untuk melindungi tindakan kejahatan
ataupun membatasi APH dalam penegakan hukum.
"Pendekatannya
adalah mengedepankan hukum administrasi sehingga penanganan pidana merupakan
ultimum remedium atau upaya akhir dalam penanganan suatu permasalahan dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah," ujar Mendagri.
“Semua laporan masyarakat
harus ditindaklanjuti oleh APIP dan APH sepanjang data identitas nama dan
alamat pelapor serta laporan dugaan tindak pidana korupsi dilengkapi oleh
bukti-bukti permulaan atau pendukung berupa dokumen yang terang dan
jelas," ujar Tjahjo
Menurutnya, hal itu
sebagaimana Undang-undang RI No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Negara Pasal
20 ayat 1 dan 2, dan juga UU No 23 tahun 2014 tentang Otonomi Daerah Pasal 385
ayat 3 serta diperkuat Inpres No 1 tahun 2016 tentang Aparat Penegak Hukum.
“Amanat UU itu dengan
tegas menyatakan bahwa bila ada laporan atau dugaan korupsi yang
dilakukan penyelenggara pemerintah, hendaknya aparat penegak hukum menerima dan
melakukan koordinasi ke Inspektorat untuk ditindaklanjuti,” ungkapnya.
Jadi Inspektorat dalam
hal ini, kata dia, wajib menindaklanjuti dan melihat apakah yang dilanggar,
sehingga pejabat yang telah melakukan pelanggaran, bisa saja bukan korupsi,
tapi menabrak aturan administrasi.
Hal
senada disampaikan Irjen Kementerian Dalam Negeri, Sri Wahyuningsih, pada
pertemuan Forum Inspektorat Provinsi seluruh Indonesia (FIPSI) di hotel Grage
Provinsi Bengkulu, senin (12/3-2018). Ia menekankan arti penting
Perjanjian Kerja sama (PKS ) antara APIP dan APH dalam
pemberantasan korupsi.
Tujuan PKS, kata Irjen
adalah terbangunnya koordinasi yang efektif antara APIP dan APH dalam mengawal
pembangunan dan pemerintahan daerah khususnya terkait penanganan pengaduan masyarakat.
Dengan adanya koordinasi yang efektif antara APIP dengan APH diharapkan tidak
terjadi lagi kekhawatiran pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pembangunan,
akibat adanya proses penegakan hukum
oleh APH dalam penanganan pengaduan masyarakat, ujarnya. Itulah sebabnya
Koordinasi APIP dan APH dilakukan pada tahapan penyelidikan dimana belum
terdapat penetapan status tersangka oleh APH, terangnya.
Ditegaskannya,
apabila APH telah melakukan penyidikan dan menetapkan tersangka atas laporan
atau pengaduan masyarakat, maka tidak berlaku mekanisme koordinasi
APIP dengan APH lagi, imbuhnya. Dengan kata lain APH melanjutkan pengaduan
masyarakat ke proses penegakan hukum.
Ia mengutip ketentuan
Pasal 7 ayat (5) huruf b yang menyatakan bahwa kerugian negara hasil temuan BPK
atau APIP, apabila telah ditindaklanjuti dalam 60 (enam puluh)
hari melalui penyetoran ke Kas Negara atau proses TPTGR, maka tidak berlanjut
ke penyidikan pidana. Hal ini menurutnya, sesuai UU Nomor 15 Tahun 2004,
hanya berlaku terhadap informasi kerugian negara yang bersumber dari hasil
pemeriksaan BPK dan APIP. Tidak berlaku terhadap kerugian negara yang mengandung
unsur melawan hukum dan niat jahat antara lain seperti suap, pemerasan, dan gratifkasi;
serta Tidak berlaku apabila tertangkap tangan (OTT), tegasnya. (GA. 215*).