Kepala Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappeda) Provinsi NTB, Ir H Ridwan Syah, M Sc.,MM., MTP.,
Mataram, Garda Asakota.-
Instruksi Presiden RI, Ir H Joko
Widodo, Nomor 05 Tahun 2018 tentang Percepatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Pasca Bencana Gempa Bumi di Kabupaten Lombok Utara, Lombok Barat, Lombok Timur,
Lombok Tengah, Kota Mataram dan wilayah terdampak di Provinsi NTB memberikan
batasan waktu pembangunan hunian tetap tahan gempa harus dapat diselesaikan
dalam masa enam (6) bulan.
Itu artinya paling telat sekitar
bulan Maret 2019 minimal sekitar 5 ribu unit rumah dari total 71 ribu unit
rumah kategori rusak berat harus bisa diselesaikan pembangunannya dengan
alokasi anggaran yang disediakan oleh Pemerintah Pusat per rumahnya sebesar
Rp50 juta.
“Selain itu Fasilitas Umum, Fasilitas
Sosial, Pendidikan, Kesehatan, dan Perekonomian seperti Pasar harus pulih pada bulan Desember 2018. Caranya
bisa dengan membangun RS Darurat, Puskesmas Darurat, Madrasah Darurat, SMP dan
SMA Darurat. Tapi mungkin pembangunan kembalinya akan selesai dilakukan pada
tahun 2019,” demikian dikatakan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan,
Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappeda) Provinsi NTB, Ir H Ridwan Syah, M
Sc.,MM., MTP., kepada wartawan media ini Kamis 20 September 2018.
Pria yang merupakan keturunan
bangsawan Dompu ini mengatakan persoalan yang paling urgen yang harus
diselesaikan itu adalah yang berkaitan dengan pembangunan hunian tetap. Hanya
saja menurutnya, jika melihat total jumlah rumah yang dibangun yakni sekitar 71
ribu rumah, jika target waktu pembangunannya adalah sekitar enam (6) bulan,
maka dalam sebulan harus diselesaikan sekitar 12 ribu rumah. “Dalam sehari 400
rumah yang harus dikerjakan. Pertanyaannya, bagaimana kita membangun rumah 400
unit per hari itu?,” timpalnya.
Suasana Rakor Penanganan Bencana Gempa di RRU Gubernur NTB, Kamis 20 September 2018.
Dijelaskannya, pada konstruksi awal
yang direncanakan untuk pembangunan rumah itu adalah Rumah Instan Sederhana
Sehat (RISHA) yang dikoordinatori oleh Kementerian PUPR. “PUPR sudah
mengerahkan tenaga-tenaga pengawas, fasilitator, termasuk 500 orang dari CPNS
nya. Namun, kenyataannya sekarang ini adalah dari rencana 71 ribu rumah ini,
hari ini, yang konstruksi RISHA ini, yang dibangun baru rumah contoh. Nah
memang dari hasil rapat tadi itu (Rakor Penanggulangan Bencana Gempa dengan
Gubernur Terpilih, red.), dijelaskan, konstruksi dengan sistem RISHA itu
menggunakan pencetakan beton pada kolomnya. Anjuran dari pusat itu kan RISHA,
tapi kalau dilihat secara teknis. Tidak mampu diselesaikan untuk membangun
RISHA itu dalam tempo enam (6) bulan. Lalu apa solusinya?. Apakah kita harus menunggu RISHA?. Akhirnya
diputuskan tadi, tidak harus RISHA. Boleh menggunakan konstruksi lain asalkan
memenuhi syarat dan tahan gempa. Nah ini yang sedang dibicarakan antara BNPB dengan
PUPR,” jelasnya.
Persoalan Kedua yang juga mengemuka,
menurutnya, adalah soal Hunian Sementara (Huntara). “Kalau harus menunggu
berbulan-bulan, apa iya orang itu terus hidup di tenda-tenda?. Apalagi ini kan
masuk musim hujan. Sudah harus dipikirkan, harus diambil action karena itu gak
bagus buat kesehatan para korban. Nah bagaimana, siapa yang membiayai Huntara
ini?. Sementara jumlah Huntara ini jumlahnya 71 ribu. Jika dihitung dari total
jumlah rumah rusak berat. Siapa yang akan membangun?. Seperti apa konstruksinya
dan berapa biayanya?. Nah semua uang itu, kan belum jelas untuk Huntara ini. Ada
sumbangan dari NGO, dari perorangan, BUMN, itu jumlahnya kecil hanya 2.600-san Huntara.
Nah apa jalan keluarnya?. Berarti harus dicarikan jalan alternatif. Sedangkan
APBD gak mungkin untuk membiayai itu. APBN juga tidak ada untuk membiayai Huntara
ini,” timpalnya.
Maka tadi itu, lanjutnya, kita
bersepakat bahwa tidak boleh orang ini berlama-lama didalam kesusahan. “Itu arahan
pak Gubernur. Nah sekarang kita sedang berhitung berapa kebutuhannya, dimana
prioritas, karena ada juga orang sudah kembali dengan inisiatifnya sendiri
membangun sendiri rumah dengan memanfaatkan sisa-sisa bangunan. Lalu ada banyak
usulan tadi, bagaimana kita kasih saja bantuan seng agar mereka membangun dulu
di rumahnya sendiri pakai kayunya sambil didekatkan dulu ke rumahnya. Jadi sudah
ada mengerucut bahwa Huntara harus dibangun. Anggarannya?. Nah ini sedang
dicari. Karena anggaran untuk Huntara itu gak mahal. Ada yang sedang membangun
dengan anggaran Rp1 Juta pakai terpal tapi didekat lokasi rumahnya, tidak lagi
di lapangan. Ada juga yang mengusulkan, ya udah dari uang Rp50 juta untuk
membangun rumahnya itu, silahkan dikeluarkan dulu misalnya Rp5 juta untuk
membeli seng gelombang atau material apa sesuai dengan rumah yang akan dibangun
nanti setelah hunian tetapnya dibangun maka material itu tinggal dipindahkan ke
hunian tetapnya,” cetusnya.
Sementara itu berkaitan dengan
alokasi dana bantuan Rp50 juta per rumah yang dijanjikan oleh Presiden Jokowi saat sekarang ini sedang dibuatkan Juknisnya
oleh PUPR dan BNPB.
“Kan harus diyakinkan bahwa uang Rp50 juta itu untuk rumah.
Bukan untuk yang lain. Makanya mekanisme pencairannya itu ada aturannya. Misalnya
materialnya sudah ada, lokasinya sudah siap. Sehingga dengan mengacu kepada
aturan itu, maka satu sen pun yang dikeluarkan itu harus dipertanggunjawabkan. Nah
ini mungkin yang terasa lama sementara orang itu butuh. Itu juga yang dibahas bagaimana
mekanisme pencairannya agar semua orang tidak terlalu lama menunggu. Makanya
muncullah usulan untuk membuatkan dulu Huntara. Sampai menunggu pembangunan
rumah tetap, uang itu boleh gak digunakan untuk membeli material untuk membangun
Huntara. Misalnya dibelikan spandek untuk atapnya dan tiang dari bekas rumahnya
nah ketika rumah tetap itu dibangun spandek itu bisa dipindahkan kerumah
tetapnya. Ini yang sedang digodok sore ini,” jelasnya.
Menurutnya dana sebesar Rp50 juta per
rumah itu jika dikalikan 71 ribu rumah maka totalnya adalah sekitar Rp4
Trilyun. “Uang ini kan ada pak. Namun, jangan lupa uang itu akan dikirim
setelah proses verifikasinya selesai dilakukan. Siapa yang memverifikasinya itu
ada tim teknisnya. Setelah selesai diverifikasi baru di SK kan oleh Bupati dan
Walikota masing-masing,” pungkasnya. (GA. 211/215*).