Kepala Dinas Perkim Provinsi NTB, IGB Sugiharta, saat diwawancarai wartawan usai acara Jumpa Bang Zul dan Umi Rohmi di halaman kantor Gubernur NTB, Jum'at 09 November 2018.
Mataram, Garda Asakota.-
Kepala Dinas (Kadis) Perumahan dan
Permukiman (Perkim) Provinsi NTB, IGB Sugiharta, menegaskan pengenaan pajak 10
% dikenakan pada saat pengajuan anggaran oleh kontraktor pelaksana Bantuan
Stimulan Rumah Tidak Layak Huni (BSRTLH).
“Pajak itu dikenakan untuk semua
paket pengajuan. Dikenakan pada saat pengajuan oleh setiap penyedia jasa dan secara
otomatis pajak itu langsung dipotong,” jelas Sugiharta kepada wartawan media
ini, Jum’at 09 November 2018.
Dikatakannya, tidak seperti tahun
anggaran 2017, untuk tahun 2018 ini program BSRTLH yang diarahkan untuk
merenovasi rumah warga miskin sebanyak 2.500 unit rumah dengan alokasi anggaran
sebesar Rp12,5 juta per satu unit rumah untuk bantuan bahan bangunan serta
Rp2,5 juta untuk upah pekerjaan per satu unit rumah sehingga total nilai
anggaran proyek BSRTLH TA 2018 ini adalah sebesar Rp37,5 Milyar, tidak
dilaksanakan proses tenderisasi.
“Proyek ini memang tidak dilakukan
pelelangan. Jadi langsung ditunjuk ke penyedia jasa dan ke masyarakat sesuai
besarannya. Tidak seperti tahun 2017, model pelaksanaannya,” cetus Sugiharta.
Pihaknya mengaku dalam melaksanakan
proyek BSRTLH Tahun 2018 ini, tidak bekerja sendiri. Pihaknya mengaku
menggandeng TP4D untuk melakukan pendampingan pelaksanaan pekerjaan ini.
“Kita tidak berani melaksanakan
program ini kalau tidak ada pendampingan dari TP4D,” cetusnya.
Pihaknya mengakui dengan besaran
anggaran proyek BSRTLH sebesar Rp37,5 Milyar tersebut pelaksanaannya dilakukan
tidak melalui proses tender, tidak melanggar ketentuan amanat Perpres Nomor 16
Tahun 2018.
“Tidak melanggar, karena pelaksanaan
ini sangat tergantung pada luas wilayah. Jadi mekanismenya di masing-masing
desa itu kita paketkan menjadi satu paket kelompok pekerjaan. Jadi tidak
seperti pada tahun 2017, paket kelompok pekerjaan yang ditangani itu adalah
paket kelompok dengan jumlah besar, sehingga pada tahun 2017 itu muncul
persoalan, yang pada akhirnya kasihan penyedia jasa, karena berpersoalan
disuatu tempat berdampak pada tertundanya pembayaran dan berdampak pula pada
tertundanya pelaksanaan kotrak akhir sehingga penyedia jasanya di denda dengan
denda maksimum sebesar 5 %,” ungkap Sugiharta.
Berdasarkan pengalaman itulah maka
pihaknya mengaku mengambil keputusan untuk melaksanakan pekerjaan tersebut
dengan mekanisme pengadaan langsung menunjuk sekitar 100 orang penyedia jasa
dan bekerjasama dengan pihak Desa yang mendapatkan program BSRTLH se-NTB.
“Meskipun kontraktor yang
melaksanakan tapi kita berharap adanya kerjasama dengan Pemerintah Desa. Dan
dengan kita membuat model pelaksanaan seperti itu berdampak pula dengan munculnya
lapangan pekerjaan yang semakin banyak,” timpalnya. (GA. 211*).
Baca Juga Berita Terkait :