Ir. H. Taufik Rusdi |
Mataram, Garda Asakota.-
Perkembangan kasus sampan fiberglass senilai Rp1 Milyar di Kabupaten Bima sudah menyeret, Ir. H. Taufik Rusdi, mantan PPK Dinas PU, sebagai terdakwa. Kasus yang terkuak sejak tahun 2013 itu bahkan mulai disidangkan di PN Tipikor Mataram Provinsi NTB.
Meski hanya menyeret satu nama, namun rupanya Taufik Rusdi tidak tinggal diam. Kepada wartawan, ia malah membeberkan sejumlah nama terkait yang pernah berkuasa dan dekat dengan kekuasaan saat itu. Usai menjalani sidang perdana di Pengadilan Tipikor Mataram, Selasa (12/3) Taufik mengakui pengadaan sampan itu penuh dugaan rekayasa. Sejak tahap awal hingga akhir, dialah yang mengatur semuanya sesuai selera kekuasaan saat itu.
Seperti dilansir Katada.id, Rusdi mengakui telah mengatur proyek senilai Rp 1 milyar agar bisa dimenangkan Hj Ferra Amelia. Saat pelelangan, diakuinya Dae Ferra, sapaan Hj Ferra Amelia, menyodorkan lima perusahaan. Tiga perusahaan itu disebutnya milik Dae Ferra, sementara dua perusahaan lainnya dipinjam.
"Satu perusahaan milik Dae Ade, adik Dae Ferra. Satu lagi, milik orang tuanya Dae Ferra. Ada juga atas nama Rafik, sopirnya. Tapi itu milik mereka,” terang pria yang diberikan ijin dua hari oleh Majelis Hakim untuk menghadiri pernikahan putrinya di Kota Bima ini.
Ia mengaku terpaksa mengaturnya karena saat penentuan rekanan mendapat tekanan. Taufik beralasan tidak memiliki kuasa untuk menganulir perintah dari bos-bos. Apalagi, saat itu Dae Ferra menjabat Ketua DPRD Kota Bima. Belum lagi, Bupati Bima saat itu almarhum Ferry Zulkarnain, dan Dae Ade (Ferdiansyah Fajar Islam) menjabat anggota DPRD Kabupaten Bima.
“Apalah kekuatan seorang Taufik Rusdi ya, dibanding almarhum Dae Ferry, Dae Ferra, dan Dae Ade. Apalah arti Taufik Rusdi yang datang dari Dompu bertugas di Bima, tidak ada apa-apanya,” keluhnya.
Untuk membongkar siapa saja yang terlibat, ia berjanji akan menuangkan dalam eksepsinya nanti. Di situ ia bakal menyebut proses rekayasa proyek sampan fiberglass. “Eksepsi ini akan menarik,” katanya sambil senyum.
Sementara, Dae Ferra mengaku tidak tahu menahu soal ‘nyanyian’ Taufik Rusdi tersebut. “Maaf saya belum tahu hal itu,” katanya seperti dilansir Radar Tambora edisi Kamis (14/3).
Sementara itu Ferdiansyah Fajar Islam atau yang populer disapa Dae Ade ini justru baru mengetahui adanya pemberitaan Taufik Rusdi yang menyebutkan namanya dalam kasus tersebut. "Apa itu? soal apa itu?, saya baru tahu dari wartawan kalau ada berita tentang itu" akunya saat dikonfirmasi via Ponselnya, Jumat pagi (15/3).
Bahkan sebelumnyapun ia kerap mengehui informasi tentang kasus sampan fiberglass ini setelah membaca pemberitaan di media massa, bahkan dirinya pernah diperiksa pihak terkait akibat dari pemberitaan tersebut. Hanya saja, Dae Ade enggan menjelaskan lebih jauh apa saja kesaksiannya di Kepolisian. "Segala pernyataan dan keterangan saya tentang masalah ini sudah saya jelaskan di Kepolisian (Polda NTB, red) itu ada dalam BAP, silahkan tanya saja kepada teman-teman di sana (Kepolisian, red)," pungkasnya singkat.
Dalam uraian dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Budi Tridadi Wibawa Selasa (12/3) menyebutkan, saat pengadaan sampan terdakwa melaksanakan tanpa membuat Harga Perkiraan Sendiri (HPS), Rencana Kerja Syarat-Syarat (RKS), Rencana Anggaran Belanja (RAB), dokumen pengadaan, gambar, rincian harga Barang, dan Dokumen Enginer Estimate (EE).
“Terdakwa melakukan perbuatan bersama-sama dengan Hj Ferra. Perbuatan terdakwa memperkaya diri sendiri, atau orang lain, atau suatu korporasi yakni Hj Ferra sejumlah Rp 159.816.518,” kata Budi dalam dakwaannya.
Pengadaan sampan ini dikerjakan melalui Dinas Pekerjaan Umum (PU) Bima, yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus Transdes Kementrian Dalam Negeri Rp 1 milyar. Saat itu, Taufik ditunjuk sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
Dalam proses pengadaan, terdakwa tidak melakukan seluruh tahapan kegiatan.
Mulai dari proses pemilihan penyedia barang/jasa (pelelangan), maupun pelaksanaan kegiatan pengadaan sampan fiberglass. Sehingga secara keseluruhan dokumen berkaitan dengan seluruh tahapan tersebut dibuat setelah pekerjaan pengadaan sampan berakhir, dengan maksud seolah-olah ada proses.
Taufik juga didakwa melakukan rekayasa proses penunjukan langsung dengan seolah-olah menunjuk lima perusahaan untuk mengerjakan lima paket proyek itu. Rinciannya, CV Lewamori Putra Pratama sebagai pelaksana kegiatan pengadaan sampan di Desa Kore, Kecamatan Sanggar dengan nilai kontrak Rp 198.290.000. CV Lamanggila sebagai pelaksana kegiatan pengadaan sampan di Desa Punti, Kecamatan Soromandi dengan nilai kontrak Rp 198.450.000. CV Wadah Bahagia sebagai pelaksana kegiatan pengadaan sampan di
Desa Lamere, Kecamatan Sape dengan nilai kontrak Rp 198.300.000. CV Sinar Rinjani sebagai pelaksana kegiatan pengadaan pengadaan sampan dengan nilai kontrak Rp 198.380.000. Dan CV Bima Putra Pratama pelaksana kegiatan pengadaan sampan di Desa Bajo Pulau, Kecamatan Sape dengan nilai kontrak Rp 198.200.000. “Perbuatan terdakwa mengakibatkan kerugian keuangan Rp 159.816.518. Angka tersebut berdasakan Laporan Hasil Audit Perhitungan Kerugian Keuangan Negara BPKP Perwakilan NTB,” sebutnya. (GA. 212*)