Gedung KPK RI Sumber Foto: Kominfo RI
Mataram,
Garda Asakota.-
Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) saat sekarang ini tengah menjaring para komisioner-komisioner baru untuk
masa jabatan 2019-2023. Berbagai harapan pun bermunculan untuk rekruitmen para
komisioner KPK ini. Tidak ketinggalan Jaringan Peradilan (JEPRED) Bersih
Provinsi NTB sangat berharap agar dalam proses perekrutan komisoner KPK ini,
tidak ada lagi usaha untuk memberikan framing bahwa Komisioner KPK itu harus
terdapat unsur Kepolisian dan Kejaksaan.
“Adanya framing Komisioner KPK
harus terdapat unsur kepolisian dan kejaksanaan akan menjadi titik belanga
dalam tubuh lembaga KPK. Seleksi Komisioner KPK harus berdasarkan kriteria
pakta integritas dan tidak berdasarkan penjatahan dari lembaga tertentu,” tegas
Koordinator JEPRED Bersih Provinsi NTB, Amri Nuryadin, SH., melalui siaran pers
yang diterima redaksi media ini, Senin 01 Juli 2019.
Oleh karena itu, menurutnya, cara
penjatahan seleksi Komisioner KPK harus ditolak. Penjatahan dalam seleksi
Komisioner KPK, menurutnya, hanya akan mengganggu cara kerja internal KPK dalam
proses kerja intelijen, penyelidikan, dan penyidikan kasus tipikor yang
melibatkan oknum lembaga kepolisian dan kejaksaan.
“Penjatahan unsur kepolisian dan
kejaksaan dalam seleksi Komisioner KPK juga dikawatirkan akan menciptakan
konflik kepentingan dalam tubuh KPK. Dimungkinkan proses pemeriksaan kasus
tipikor kandas ditengah jalan karena terjadi tekanan dari kedua lembaga ini,”
sorot Amri.
Sementara itu,
lanjutnya, kehawatiran diatas sejalan apabila melihat tingkat kepercayaan
publik terhadap kepolisian dan kejaksaan agung masing-masing hanya 57 % dan 63
%. “Dan ini masih dalam kategori cukup rendah,” timpalnya.
Di sisi lain, katanya,
hal yang menarik untuk dipertanyakan adalah mengenai jumlah pendaftar calon
pimpinan KPK yang masih sangat minim setelah ditetapkannya Pansel dan waktu
pendaftaran. “Apakah ini menandakan orang-orang yang akan mendaftarkan diri
menjadi enggan mendaftar karena keberadaan Pansel tersebut?,” ujarnya.
Oleh karena itu, pihaknya
berharap Panitia Seleksi (Pansel) Komisioner KPK dituntut tidak terframing Komisioner
KPK harus terdapat unsur kepolisian dan kejaksanaan. Pansel melakukan seleksi
Komisioner KPK berdasarkan kriteria seperti tidak memiliki rekam jejak buruk
baik langsung maupun tidak langsung terlibat dalam kasus tipikor, tidak pernah
tersangkut kasus pelanggaran etika profesi dalam lembaga tempat bekerja, memiliki
konsep baru dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi, memiliki pengalaman
dalam bekerjasama dengan lembaga Negara dan lembaga social, tidak berafiliasi
dengan partai politik dan lembaga swasta.
“Dan tidak terlibat dalam gerakan
radikalisme,” tegasnya.
Berdasarkan kriteria
diatas, JEPRED Bersih Provinsi NTB
mengusulkan figur-figur yang kompeten dan layak untuk memimpin lembaga KPK baik
dari sisi keilmuan dan pengalaman memimpin serta jauh dari praktik-praktik
korupsi seperti Adhar Hakim, S.H.,M.H., figur
ini dianggap oleh JEPRED Bersih NTB sudah sangat berpengalaman bekerja di bawah
tekanan karena pernah cukup lama mengemban tugas sebagai seorang jurnalis.
“Selain itu, dikenal sebagai
aktivisi anti korupsi yang mendirikan lembaga sosial yang bergerak di bidang
anti korupsi di Nusa Tenggara Barat. Saat ini, jabatan terakhir yang diemban
berada pada posisi Kepala Kantor Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Nusa Tenggara
Barat selama dua periode berjalan. Dengan pengalaman memimpinnnya tersebut baik
di lembaga sosial maupun di lembaga perwakilan ombudsman, banyak kasus korupsi,
pungutan liar yang diungkap di banyak instansi. Begitu juga dengan
tindakan-tindakan pencegahan, sehingga kepercayaan publik dan intansi
pemerintahan cukup tinggi kepada ombudsman RI Provinsi NTB dibawah kepemimpinannya,”
jelasnya.
Figur yang kedua, adalah Dr.
Widodo Dwi Putro, S.H.,M.Hum., menurutnya tidak hanya di NTB, namanya hingga
saat ini tercatat sebagai peneliti/pengajar di Leiden (Van Vollenhoven
Institute) Belanda, Dosen Filsafat di Universitas Mataram ini juga merupakan
figur aktivis di era 90’, beberapa advokasi rakyat/petani di NTB pernah
dilakukannya.
“Kasus Masyarakat Gili Trawangan,
Kasus Petani Plampang, Kasus Petani Rowok, Kasus Petani Grupuk, Kasus Lahan
Bandara Internasional Lombok di Tanak Awu. Ia juga pernah mengenyam
profesi sebagai wartawan Suara Nusa, Selain itu, ia juga merupakan mitra
bestari Komisi Yudisial RI, berbagai penelitiannya telah diterbitkan menjadi
buku baik oleh KY maupun oleh Mahkamah Agung (Buku Saku Hakim Terkait Pembeli
Beritikad Baik – Kerjasama MA – LEIP - Leiden). Saat ini pendiri Pusat Studi
Filsafat – Taman Metajuridika di Fakultas Hukum Universitas Mataram ini didapuk
sebagai Ketua Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI),” ujarnya.
Figur Ketiga adalah Hotibul
Islam, S.H.,M.Hum., Sosok ini menurutnya adalah pengajar dan guru yang
sederhana bagi banyak orang, Dosen Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas
Mataram ini dijuluki Pasal Berjalan oleh banyak koleganya. Mantan ketua
Laboratorium Hukum FH Unram, yang membawahi BKBH FH Unram.
“Beliau juga pernah menjabat
Ketua Satuan Pengawas Internal (SPI) Universitas Mataram, dan saat ini beliau
menjabat Koordinator Pusat Pengkajian Hukum dan Kebijakan di bawah
Kesbangpoldagri Provinsi NTB. Dalam mengkaji permasalahan hukum, beliau dikenal
dan diakui tajam dalam menganalisa dan terang dalam memberi panduan,” kata Amri.
Dan figur keempat, adalah Dwi
Sudarsono, S.H., figur ini menurutnya adalah Aktivis FKMM di era 90’an. Dikenal
sebagai sosok aktivis prodem yang setia pada garis perjuangan rakyat. “Ia saat
ini juga merupakan sosok Advokat yang kerap membela rakyat baik secara litigasi
maupun non litigasi dalam pelbagai kasus struktural. Sosoknya yang sederhana
membuat ia disegani banyak pihak. Saat ini sebagai Direktur Samanta, ia banyak
menjalankan program Advokasi Hutan dan Sumber Daya Alam. Ia juga sebagai Dewan
Pengawas Lembaga Study Bantuan Hukum-Mataram. Selain itu, ia juga pendiri LBH Reform
NTB,” pungkasnya. (GA. 211*).