Direktur Gravitasi NTB, Lalu Ahyar Supriadi SH. dan Dwi Sudarsono yang juga Koordinator Samanta Nusa Tenggara.
Mataram, Garda Asakota.-
Peningkatan jumlah kasus positif Covid-19 di wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB), harus disikapi dengan sikap dan langkah yang tepat. Baik oleh Pemerintah Daerah maupun masyarakat di NTB.
Belakangan dampak pandemi corona di NTB sudah menyentuh sejumlah aspek. Selain aspek kesehatan di mana pemerintah berupaya melakukan pemantauan contact tracing, dan perawatan bagi yang terpapar, aspek ekonomi, sosial serta psikososial juga turut terdampak.
Di saat Pemprov NTB dan sejumlah Pemda Kabupaten dan Kota merumuskan pola percepatan penanganan Covid-19 di daerah ini, kecenderungan untuk saling menyalahkan justru muncul di tengah masyarakat. Menyalahkan langkah dan upaya Pemda, dan juga menyalahkan sesama masyarakat termasuk yang dianggap sebagai kelompok "pelaku transmisi virus".
Fenomena penolakan lokasi karantina atau isolasi kolektif ODP dan OTG di sejumlah daerah mulai bermunculan.
Menyikapi hal tersebut, sejumlah Pegiat Sosial di NTB menyayangkan munculnya aksi yang kurang simpatik tersebut.
"Kita lihat belakangan sudah terbentuk stigmanisasi terhadap ODP dan OTG atau apapun istilahnya di tengah masyarakat. Padahal harus di mengerti bahwa saudara-saudara kita yang positif atau pun berstatus ODP dan OTG ini kan korban juga dari penularan Covid-19, dan yang harus dipahami bahwa mereka harus mendapatkan pelayanan kesehatan yang sesuai protokol Covid-19 untuk bisa sembuh dan tidak menularkan ke yang lain. Salah satunya dengan isolasi atau karantina itu," kata Direktur Gravitasi NTB, Lalu Ahyar Supriadi SH.
Menurutnya, dalam kondisi saat ini masyarakat bisa saling menguatkan dengan dukungan dan kemampuan masing-masing. Termasuk memperlakukan ODP, OTG dan yang positif Covid-19 dengan sikap yang baik tanpa memunculkan stigmatisasi berlebihan.
Sebab, karantina atau isolasi kolektif juga dilakukan untuk kebaikan bersama dalam upaya mencegah penyebaran Covid-19 ini.
"Apalagi jumlah pasien positif Covid-19 terus menngkat dan jumlah ODP dan OTG juga tinggi. Lokasi-lokasi isolasi kolektif tentu banyak dibutuhkan ke depan. Sehingga masyarakat juga harus bisa saling mendukung, agar kita segera bisa mengatasi pandemi ini dengan baik, tanpa harus melakukan aksi-aksi yang bisa menimbulkan sikap tidak simpatik," katanya.
Sebaliknya, Ahyar juga menekankan agar masyarakat yang sedang menjalani pemantauan dalam status OPD, OTG, dan PPTG agar juga bersikap disiplin dan mentaati semua aturan pemantauan yang ditetapkan pemerintah. Terutama tetap taat untuk melakukan isolasi diri, baik secara mandiri maupun di lokasi yang disediakan pemerintah.
"Saudara kita yang ODP, OTG dan PPTG juga mari taati aturan yang sudah ada. Percayakan urusan kesehatan dan kesembuhan kita kepada para medis, petugas kesehatan yang memang itu bidangnya. Jangan justru tidak disiplin menjalankan isolasi," katanya.
Terkait penolakan lokasi karantina atau isolasi kolektif di sejumlah wilayah, Ahyar menekankan agar pemerintah daerah setempat harus bersikap tegas menjadi pengayom untuk semua warga negara, semua masyarakatnya.
"Pemda harus bisa jadi penengah yang mengayomi semua warganya, baik yang menjalani isolasi, maupun warga masyarakat lainnya. Memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik juga untuk semua," katanya.
Ahyar mengatakan, untuk menyikapi penolakan lokasi isolasi di daerah tertentu, maka Pemda lainnya bisa mengambil inisiatif untuk bersedia menyediakan lokasi di wilayahnya sebagai tempat karantina atau isolasi kolektif. Terutama bagi daerah yang memiliki akses dan infrastruktur kesehatan yang memadai.
Pegiat sosial lainnya, Dwi Sudarsono yang juga Koordinator Samanta Nusa Tenggara mengatakan, dalam masa pandemi Covid-19 ini selayaknya para ODP, OTG dan yang positif diposisikan sebagai korban. Jangan justru diberi stigma sebagai "penyebar virus".
"Dalam pandemi ini mestinya kita perlakukan seperti para korban gempa lalu. Jadi masyarakat saling bantu, saling suport. Sementara Pemerintah Daerah memberikan pelayanan medis dan non medis. Posko-posko kesiapsiagaan juga dibentuk lebih banyak," katanya.
Ia menilai, kecenderungan saling menyalahkan hanya akan membuat upaya bersama melawan pandemi corona di NTB ini semakin berat.
"Memang salah satu syarat sukses percepatan penanganan Covid-19 ini adalah sikap kritis konstruktif semua elemen masyarakat mengawal program yang berjalan. Baik program kesehatan maupun dampak sosial ekonomi. Tapi bukan dalam konteks saling menyalahkan," katanya.
Menurut Dwi, selain hanya mengkritisi, dalam kondisi saat ini semua pihak harus bisa berkontribusi aktif dalam membantu melewati masa pandemi.
Secara preventif, masyarakat secara umum harus bisa mendisiplinkan diri untuk mentaati anjuran-anjuran pemerintah untuk aspek kesehatan. Misalnya dengan terus membangun kesadaran untuk menjaga jarak, rajin cuci tangan, dan menggunakan masker jika terpaksa keluar rumah.
Sementara masyarakat yang berstatus ODP, OTG dan PPTG juga berdisiplin untuk menjalani isolasi diri, jangan keluar dulu selama masa isolasi berjalan.
"Dan untuk pemerintah daerah, memang harus lebih giat lagi mengedukasi dan sosialisasi terkait protokol penanganan Covid-19 ini. Karena saya pikir, munculnya stigmanisasi pada ODP, OTG dan pasien positif ini juga akibat kurangnya edukasi dan sosialisasi ke tengah masyarakat," tukasnya.
Terkait penyediaan lokasi karantina atau isolasi kolektif, Dwi menilai komunikasi dan kerjasama antar daerah Kabupaten dan Kota penting untuk dibangun. Sementara Pemprov NTB harus bisa memfasilitasi pola antar daerah itu, sebagai administrator wilayah.
"Sebab, masalah penyediaan lokasi karantina ini kan berkonsekwensi terhadap anggaran daerah juga. Sehingga koordinasi antar Pemda harus betul-betul dibangun bersama," katanya. (*)