Tim Kuasa Hukum Feri Sofiyan, SH, saat menggelar konferensi pers, Minggu sore (22/11). |
Kota Bima, Garda Asakota.-
Penetapan Feri Sofiyan, SH, Wakil Walikota Bima sebagai tersangka dalam kasus pembangunan dermaga wisata Bonto yang diduga tanpa ijin di Kelurahan Kolo Kecamatan Asakota dinilai cacat yuridis oleh Tim Kuasa Hukum Feri Sofiyan.
Saat menggelar konferensi, Minggu (22/11), secara bulat akan menempuh jalur Praperadilan. "Pada prinsipnya klien mereka sangat menghormati proses hukum yang lagi berjalan. Kendati dengan penetapan tersangka yang dilakukan oleh Polres Bima Kota tidak sah menurut hukum, maka harus dihentikan demi hukum proses penyidikannya.
“Bentuk taat klien kami terhadap proses hukum, maka besok hari Senin siang klien kami akan memberikan keterangan pada penyidik atas pemenuhan pemanggilan sebagai tersangka,” kata juru bicara Tim Kuasa Feri Sofiyan, Lili Marfuatun, SH, MH, kepada sejumlah wartawan di kediaman Wakil Walikota Bima lingkungan Santi Kecamatan Mpunda.
Menurut Lili, pihaknya tetap keberatan atas penetapan tersangka dan tim kuasa hukum akan mengambil langkah-langkah hukum yang dipandang perlu seperti akan melakukan Praperadilan melalui Pengadilan Negeri Raba-Bima, yang rencananya akan diajukan permohonan Praperadilan besok hari Senin pagi dan tidak menutup kemungkinan akan melaporkan pada KOMNASHAM RI dan lembaga terkait.
Kata dia, karena penetapan tersangka terhadap klien mereka dilakukan dengan tindakan kesewenang-wenangan yang bertentangan dengan hak asasi manusia, asas-asas hukum dan atau asas legalitas dan norma hukum, dengan sejumlah alasan seperti, bahwa dari pihak Polres Bima Kota sebelumnya menyatakan lewat salah satu media online bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tidak boleh berlaku surut.
"Namun faktanya sekarang pihak Polres Bima Kota telah melakukan penambahan pasal yang disangkakan kepada klien mereka, yaitu penambahan Pasal 109 dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Padahal sebelumnya berdasarkan penetapan tersangka menggunakan Pasal 109 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolahan lingkungan hidup, bahwa tindakan dan perbuat dari pihak Polres Bima Kota dalam surat pemangailan tersangka terhadap surat panggilan kedua tertanggal 21 November 2020 telah terjadi penambahan pasal.
Jelas tindakan dan perbuatan tersebut tidak dibenarkan oleh hukum. Karena ketika terjadi penambahan pasal jelas dan memiliki kewajiban untuk dilakukannya Sprindik baru, bahwa pasal-pasal yang ditambahkan oleh pihak Polres Bima Kota yang antara lain Pasal 109 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
“Tindakan dari pihak Polres Bima Kota sengaja merekayasa proses hukum terhadap klien kami,” ungkapnya.
Kemudian, bahwa terhadap penetapan tersangka atas diri klien mereka berdasarkan Surat lapan, Nomor; S. Tap/159/XI/2020/Reskrim tentang penetapan tersangka, tanggal 10 November 2020. Dengan Dasar antara lain poin laporan polisi Nomor; LP/K/242/1X/2020/NTB/Res Bima Kota, tanggal 24 September 2020 Nomor Penyidikan Perintah dan (lima), dan Surat SP.Sidik/118/1X/2020/Reskrim, tanggal 24 September 2020.-
Bahwa penjelasan tersebut di atas bermakna dengan Laporan Polisi pada tanggal 24 September 2020, Penyidik Polresta Bima Kota langsung mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor SP.Sidik/118/ Xx/2020/Reskrim, tanggal 24 September 2020 pada hari dan tanggal yang sama, sehingga menunjukan bahwa Penyidik Polres Bima Kota tidak melakukan penyelidikan terlebih dahulu.
Bahwa dengan adanya fakta-fakta tersebut, maka pihaknya selaku tim kuasa hukum Feri Sofiyan menilai telah terjadi pelanggaran beberapa prosedur oleh penyidik Polres Bima Kota, yang seharusnya penyidik melakukan tindakan sesuai dengan ketentuan KUHAP, tetapi tidak dilakukan oleh penyidik Polres Bima Kota, yakni penyelidikan terlebih dahulu baru dikeluarkan Surat penyidikan.
Sementara itu, salah seorang tim kuasa hukum lainnya Al-Imran mengungkapkan bhawa klien mereka sebelum ditetapkan sebagai tersangka dan sampai saat ini tidak pernah menerima SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) dari penyidik Polres Bima Kota.
Padahal penyampaian SPDP merupakan kewajiban hukum penyidik Polres Bima Kota, untuk memberikan kepada penuntut umum, pelapor dan terlapor sebagaimana telah diatur dalam ketentuan Perkapolri Nomor 6 Tahun 2019 Pencabutan Perkapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, dan juga diatur dalam ketentuan 109 ayat (1) KUHAP.
Dalam perkembangan, MK telah mengeluarkan putusan Nomor:130/PUU-XII/2015, Januari 2017 yang amarnya melengkapi isi Pasal 109 Ayat (1) KUHAP. “Penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan SPDP (Surat Perintah Dimulainya Penyidikan) kepada Penuntut Umum, Terlapor, dan Korban/Pelapor dalam waktu 7 hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan”.
"Oleh karena demikian Penyidik Polres Bima Kota telah melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum, sehingga penetapan tersangka terhada klien pihaknya mengandung cacat yuridis dan oleh karena itu tidak sah menurut hukum,” tegasnya.
Dengan demikian pihaknya menilai penetapan tersangka tersebut dilakukan bertentangan dengan ketentuan KUHAP. Maka terhadap adanya banyak dugaan kejanggalan dalam penetapan tersangka terhadap klien mereka yang dilakukan Penyidik Polres Bima Kota mengandung cacat yuridis dan oleh karena itu tidak sah menurut hukum. (GA. 003*)