Kota Bima, Garda Asakota.-
Sidang lanjutan Praperadilan yang diajukan oleh Feri Sofiyan, SH, Wakil Walikota Bima digelar di Pengadilan Negeri Bima, Kamis (10/12). Pantauan langsung wartawan, dalam sidang yang dipimpin Majelis Hakim (MH) tunggal, Horas El Cairo Purba dengan panitera pengganti Arif Fuad, dihadiri masing-masing Tim Penasehat Hukum (PH), baik dari Wakil Walikota Bima selaku pemohon, juga dari PH Polres Bima Kota selaku termohon.
Salah satu ahli hukum yang dihadirkan oleh Penasehat Hukum (PH) Wakil Walikota Bima Feri Sofiyan dalam sidang lanjutan Praperadilan adalah Prof Amiruddin, selaku ahli di bidang hukum pidana dan Prof. DR. H. Gatot Dwi Hendro Wibowo, selaku saksi ahli Hukum Administrasi Negara dan Hukum Lingkungan, masing-masing Universitas Mataram (UNRAM).
Prof Amiruddin usai menghadiri sidang menjelaskan, persangkaan terhadap Feri Sofiyan ini awalnya menggunakan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup. Kemudian dalam proses perjalanan penyelidikan ke penyidikan ada terjadi perubahan. Dasarnya pada Undang-Undang Cipta Kerja.
Yang ada dalam UU Cipta Kerja itu kata dia, adalah merubah, menambah dan menghapus sebagian pasal yang ada dalam UU Lingkungan Hidup. Salah satu yang diubah oleh UU Cipta Kerja ini adalah pasal yang dipersangkakan kepada Feri Sofiyan yakni Pasal 109 lama dengan pasal 109 baru.
"Nah, pasal 109 UU Lingkungan Hidup dengan Pasal 109 Cipta Kerja itu menjadi pertanyaan, karena pasal mana yang mau diterapkan dalam kasus itu?. Maka berdasarkan Pasal 1 Ayat 2 KUHP, maka yang diterapkan adalah pasal yang menguntungkan. Kebetulan, pasal yang menguntungkan pak Feri Sofiyan ini adalah pasal 109 UU Cipta Kerja,” jelasnya.
Kemudian sambungnya, jika itu terjadi perubahan pasal, maka semua yang dilakukan oleh penyidik juga harus ikut berubah. Karena dasar penyidik melakukan penyelidikan dan penyidikan adalah Pasal 109 UU 32 2009 Lingkungan Hidup, sampai ditetapkan tersangka.
Tapi karena adanya perubahan, maka penyidik juga harus mengikuti perubahan dalam proses penyidikan. Karena dasarnya adalah pasal 109 UU 11 2020 tentang Cipta Kerja. Konsekuensi dari perubahan tersebut adalah pihak penyidik harus melakukan pemeriksaan tambahan yang berkenaan dengan unsur pasal yang baru ini karena syarat untuk menghukum UU Omnibus Law ini lebih ringan dari UU Lingkungan Hidup lama.
“Tadi di praperadilan itu menjadi persoalan, bisa tidak diterima keterangan dari saksi-saksi yang diperiksa berdasarkan Pasal 109 UU 32 Tahun 2009, jawaban saya sebagai ahli, tegas tidak bisa. Karena penyidik harus melakukan pemeriksaan baru dengan dasar UU Cipta Kerja tersebut,” tegasnya.
Prof Amiruddin mengakui, dalam fakta persidangan yang muncul tadi, memang penyidik belum memeriksa saksi-saksi berdasarkan Pasal 109 UU Cipta Kerja. Itu fakta yang muncul di persidangan dan dibacakan berkaitan dengan jawaban dari termohon.
“Diakui termohon bahwa sudah melakukan pemeriksaan saksi, tapi dasarnya pada Pasal 109 UU Lingkungan Hidup UU lama, bukan UU Cipta Kerja. Seharusnya kalau itu diajukan, itu bukan bukti permulaan untuk menetapkan tersangka. Berarti buktinya masih kurang,” jelasnya.
Lantas apakah pendapat ahli bisa dipakai dan mengikat?, Prof Amiruddin menjawab, jika bicara ilmu hukum, maka harus bicara sumber hukum. Sumber hukum ada 4, UU, yurisprudensi, doktrin dan ada perjanjian.
“Doktrin yang dimaksud salah satunya yakni pendapat sarjana. Artinya bisa digunakan dan mengikat orang yang menggunakannya seperti oleh hakim, pemohon atau termohon. Persoalannya nanti mau menggunakan pendapat ahli yang mana, tergantung pada argumentasi dari ahli. Jadi pendapat sarjana ini sesungguhnya adalah pedoman bagi hakim pemohon, dan termohon,,” terangnya.
Disinggung mengenai cepatnya proses penyelidikan dan penyidikan terhadap masalah yang menyeret Wakil Walikota Bima itu ke ranah hukum, dijelaskannya proses penyelidikan merupakan proses untuk menemukan apakah ini memenuhi unsur pidana atau tidak?.
Penyidik juga harus melakukan berita acara investigasi (BAI), dalam rangka mengumpulkan keterangan kemudian berkesimpulan. Jika memenuhi unsur pidana, maka lanjut ke penyidikan dan polisi mencari barang bukti. Setelah ditemukan itu cukup, maka ditetapkan tersangka.
“Begitu mekanismenya. Kumpulkan dulu bukti baru tetapkan tersangka, jangan dibalik setelah tersangka baru cari bukti. Kalau ada yang begitu prosesnya terbalik, itu jelas bukan yang sebenarnya,. Yang sebenarnya seperti itu,” tukasnya.
Lalu bagaimana pandangan ahli tentang sinyalemen bahwa penetapan status FS sebagai tersangka keluar lebih awal ketimbang terbitnya SPDP?. Penetapan tersangka yang pertama itu kan dasarnya adalah pasal 109 UU 32 tahun 2009 itu nggak ada masalah cuman yang menjadi masalah setelah penetapan tersangka adalah ada perubahan UU.
"Nah ketika terjadi perubahan perundang undangan sementara perkaranya belum dilimpahkan maka penyidik wajib melakukan penyesuaian karena perintah UU pasal 1 ayat 2 KUHP itu seperti itu.
Karena UU Omnibus Law Ciptaker ini lebih dominan ke hukum administrasi oleh sebab itu pembuktianyapun harus ke hal-hal yang menyangkut administrasi.
Sebab ide dan tujuan dasarnya pemerintah mengeluarkan UU Omnibus Law ini adalah mempermudah investasi supaya tidak dipersulit, mempermudah investor masuk untuk menginvestasi. Jadi jangan sedikit-sedikit investor mau di ancam pidana kan bisa lari investor itu," ulasnya panjang lebar.
Apalagi, kata dia, dalam perkara FS ini harus di clearkan dulu apakah memanfaatkan untuk pribadi, umum atau bisnis. "Kan itu yang harus di clear kan kalau untuk pribadi atau untuk umum yah ngapain dipersoalkan.
Saya terus terang secara langsung sudah melihat lokasi tersebut dan tidak ada kerusakan sama sekali kalaupun ada ranting Mangrove yang di potong itu kan dalam rangka penataan supaya lebih indah lagi dan kalau merusak kan asumsinya membuat obyek itu tidak berfungsi sementara kan sejauh yang kami lihat semuanya masih berfungsi, itu kalau kita bicara obyektif," tegas Prof Amir.
Justru diakuinya, keberadaan lokasi tersebut adalah menarik publik untuk berwisata kesana, artinya publik yang kesana datang membawa uang dan membelanjakannya di sana. "Ini obyektif pendapat saya karena memang faktanya demikian lokasi itu bukan untuk usaha," tambahnya.
Sementara itu, Prof. DR. H. Gatot Dwi Hendro Wibowo, saksi ahli lainnya yang dihadirkan oleh Feri Sofiyan, SH, menjelaskan bahwa unsur pidana tentang kerusakan ranting yang disangkakan kepada Feri diakuinya dalam pasal 109 UU yang lama dan pasal 109 UU yang baru memang kerusakan lingkungan ini menjadi syarat untuk menghukum orang.
"Nah, apa itu pengertian kerusakan dan bagaimana tolak ukurnya bisa kita uji secara ilmiah," ucapnya.
Ia menegaskan bahwa dari sisi perijinan apa yang di lakukan oleh Feri Sofiyan semuanya sudah mulai dari proses UKL UPL nya, rekomendasi TKPRD nya, dan KSOP nya itu kan bagian dari proses perijinan lingkungan.
"Tadi kan saya ditanya, ijin itu di depan, di tengah atau belakangan. Memang ijin itu di depan, tetapi tidak semua ijin itu dibuat di depan, sama dengan orang bangun rumah (IMB) ijinnya bisa belakangan.
Kalaupun ini salah, sanksinya hanyalah sanski administrasi. Yah, bisa melalui teguran, bisa tertulis. Kalaupun itu pembongkaran, prosesnya setelah melalui peradilan tata usaha Negara," tegasnya.
Dalam gelar kasus di Polda NTB, salah satu kesimpulannya adalah bahwa kasus dermaga Bonto lebih mengarah kepada ranah administrasi bukan pidana, bagaimana menurut bapak?. Seharusnya kata dia, ada unsur kehati-hatian dalam melihat kasus per kasus seperti kasus ini yang muatannya dominan perijinannya.
"Ijinnya di urus, artinya kalaupun di kenakan sanksi Pidana itu merupakan sanksi terakhir setelah proses administrasinya di lakukan," tegasnya.
"Apalagi yang saya saksikan di lokasi, itu kan bukan Dermaga lebih ke Jembatan Tiang (Jeti) sesuai dengan dokumennya, kalaupun lokasi tersebut ada perusakan lingkungannya harus ada bukti ilmiahnya yang menyatakan bahwa telah terjadi kerusakan. Bukan polisi, karena ini persoalan lingkungan.
Kalau ada pencemaran yah harus di buktikan dengan uji laboratorium yang menyatakan ada pencemaran dan sama halnya dengan perusakan lingkungan adakah bukti? Jadi nggak cukup dengan ranting patah, itu nggak bisa dipakai, itu bisa direkayasa?," tandasnya. (GA. 212/003*)