Oleh: Azyumardi Mumtazul Umam |
Akhir-akhir ini, tepatnya pada saat para paslon presiden dan wakil presiden sudah menetapkan diri secara legal, isu keberpihakan menjadi pertanyaan yang sangat amat sering dipertanyakan oleh hampir setiap orang dan tak jarang menjadi bahan obrolan untuk menambah panjangnya percakapan (basa-basi) ketika bertemu teman dan sebagainya.
Terkadang, keberpihakan menjadi obrolan seru yang menuai pemikiran kritis serta penentuan alasan seseorang dalam memilih pada saat pemilihan nanti. Namun, isu ini juga tidak jarang membuat seseorang merasa kehilangan sesuatu akibat dari keberpihakan tersebut.
Dapat dilihat bahwa pada saat Orde Baru berjalan selama 32 tahun, Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak memiliki hak untuk berbicara dan memilih secara publik karena dipimpin oleh rezim yang otoriter. Hal ini tidak terjadi lagi saat ini.
Namun, ada konsekuensi lain ketika hak untuk memilih dan bersuara lebih bebas daripada masa itu. Orang-orang sekarang menyadari bahwa menjadi terlalu vokal dalam mendukung suatu pihak tidak selalu menguntungkan. Ada risiko tersinggung nya berbagai pihak yang dapat membahayakan kehidupan seseorang, baik dalam lingkup pribadi (keluarga) maupun profesional.
Tidak jarang mereka memilih untuk diam dan membiarkan segala hal berjalan, dan hal ini kadang-kadang menyebabkan beberapa orang enggan menggunakan hak-hak yang mereka miliki.
Selain itu, mungkin, beberapa orang juga berpikir bahwa para paslon ini sangat tidak pantas menjadi pembawa cita-cita Indonesia baik dari instrumen yang digunakan dalam berpolitik, seperti, menghalalkan segala cara untuk menjadi paslon, menggunakan agama sebagai alat berpolitik, dan money politic atau politik uang.
Apa yang terjadi tersebut dapat dikatakan legal, namun sangatlah tidak etis bagi bangsa seperti indonesia yang masih mengunggulkan norma dan kental dengan budaya ketimurannya (percaya sesuatu yang gaib).
Jika hal itu masih terus terjadi, agaknya indonesia kehilangan moral yang dicanangkan dalam Pancasila sebagai dasar negara nya sendiri. Seakan Indonesia tidak menjadi bangsa seperti yang diinginkannya. Motif agung seorang pemimpin pun tidak ada harganya ketika berhadapan dengan mereka yang memiliki pengaruh yang kuat dalam kehidupan pribadi seorang pemilih.
Sutan Sjahrir pun sempat berkomentar terkait kekecewaannya terhadap pemilu. Tepatnya pada pemilu 1955, setelah Partainya, PSI, hanya mendapat 2 persen suara. Kekecewaan pun tertuang dalam sebuah artikel yang bertajuk “Pemilihan Umum Untuk Konstituante” di Harian Sikap, 5 Desember 1955, ia menulis :
“Rakyat memberikan suara bukan berdasarkan motif agung. Melainkan karena mengikuti pemimpin yang mereka hormati dalam kehidupan sehari-hari. Bukan pahlawan, bukan pemuda revolusi, melainkan kyai, guru ngaji, lurah, dan mandor”.
Yang mana sebuah pemilu dapat diartikan sebagai gambaran spiritual rakyat dan bangsa Indonesia itu sendiri. Maka, ketika pemimpin buruk yang memenangkan kontestasi, seburuk itulah bangsa Indonesia. Seperti itulah penulis menggambarkan pentingnya setiap Pemilu yang berlalu.
Namun, dengan mengorbankan asas ego penulis, penulis juga yakin bahwa para Politikus dengan kekurangan pengalaman dan pengetahuan mungkin dapat membawa negara ke jalan buntu, tapi seluruh rakyat akan membantu negara menemukan jalannya. Dengan begitu, ter gambarlah dengan jelas peran rakyat dalam setiap pemerintahan yang berjalan.
Seperti statement yang diberikan oleh rocky gerung, ia berkata “Kritiklah pemerintah, karena mereka dibayar untuk itu. Rakyat bayar pajak untuk membiayai pemerintah, dan soal solusi, itu tugas pemerintah. Tentu rasional dan logis” (meskipun penulis tidak terlalu yakin statement diatas dapat menggambarkan maksud penulis).
Oleh karena itu, harapannya, rakyat dapat memilih langkah keberpihakan yang tepat sehingga dapat mempertontonkan pemilu sebaik mungkin.
Rakyat, juga diharapkan agar tidak bertindak egois, dikarenakan kesadaran akan pemilu akan menjadi langkah awal dalam pembentukan garis besar haluan bangsa. Seorang pemilih haruslah dia yang sadar bahwa keputusannya memiliki pengaruh yang jangka panjang, bukan mereka yang memilih karena short term impact alias hasil kedekatannya atau apa yang akan menjadi keuntungannya ketika memilih calon ini.
Mungkin itu saja untuk artikel remeh ini. Untuk menutup penulis ingin mengutip tulisan Tan Malaka, ia tertulis “Lebih dahsyat dari fiktif”, yang mana penulis sendiri tidak tahu menahu mengapa menulis kutipan tersebut (penulis tiba-tiba ingat kutipan tersebut ketika menulis artikel ini). Ya sudahlah.*