Kota Bima, Garda Asakota.-
Anggota DPD RI, Inspektur Jenderal (Purnawirawan) Farouk Muhammad, mengungkapkan bahwa, selama ia berkunjung ke berbagai daerah di NTB, berbagai dinamika persoalan terjadi, khususnya peristiwa menggemparkan di Kabupaten Bima mulai kasus pertambangan hingga kasus yang terjadi di Pondok Pesantren (Ponpes) Umar bin Khatab. “Ketika saya menonton televisi, nama Bima menjadi sorotan karena aksi penolakan tambang di Parado dan Lambu. Kemudian diikuti, pembunuhan yang terjadi di Polsek Bolo, staf pengajar Ponpes UBK yang meninggal akibat diduga bom, dan penggerebekan yang dilakukan oleh Densus 88,” ungkapnya pada saat bersilaturahmi dengan elemen masyarakat Kelurahan Melayu Kecamatan Asakota Kota Bima, di kantor Polsek Asakota, Sabtu (23/7). Menurutnya, tewasnya salah satu staf pengajar serta ditemukan berbagai macam senjata tajam usai penggerebekan oleh Densus 88 di Ponpes UBK,
membuat nama Bima menjadi daerah yang tidak aman lagi. Bahkan jika kita cermati bersama, bahwa rentetan peristiwa maupun kejadian yang mengatasnamakan agama ini bisa jadi propaganda oknum yang tidak ingin Islam itu bersatu bahkan secara Nasional ingin Negara kita Indonesia terpecah belah. Ia mengajak seluruh komponen masyarakat Bima-NTB agar merenungi berbagai kasus yang mencuat ke permukaan tersebut.
“Kita harus pahami bahwa Ponpes merupakan sekolah yang mempelajari dan medalami agama secara luas dan mempunyai tenaga pengajar serta mempunyai kurikulum yang jelas, sehingga diharapkan pada masyarakat untuk menghindari aksi-aksi dalam bentuk kekerasan yang mengatas namakan agama maupun kelompok. Itu salah besar, karena dalam ajaran Islam kita selalu mengajarkan kasih sayang dan cinta damai serta saling menghormati sesama,” tuturnya.
Hal lain yang juga menjadi sorotan utama Farouk adalah berkaitan dengan persoalan pertambangan yang ada di Kecamatan Lambu dan Kecamatan Parado Kabupaten Bima yang sempat mendapat penolakan keras dari kalangan masyarakat maupun elemen pergerakan mahasiswa beberapa bulan lalu. Saat menggelar pertemuan dengan sejumlah anggota DPRD Kabupaten Bima, khususnya dari Komisi I dan Komisi III, di ruang sidang anggota DPRD Kabupaten Bima, Sabtu (23/7). Diakuinya, kasus pertambangan Lambu dan Parado, menjadi prioritas perhatiannya. “Setelah saya terjun langsung dan bersilaturahmi dengan warga masyarakat di kawasan pertambangan untuk menanyakan kondisinya, ternyata banyak yang menolak pertambangan ini,” ungkapnya
Menurut mantan Gubernur Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) ini, aksi demonstrasi yang dilakukan masyarakat Lambu maupun Parado merupakan bentuk penolakan yang terjadi akibat kurangnya sosialisasi pemerintah terhadap masyarakat sehingga masyarakat belum paham sepenuhnya tentang pertambangan. Masyarakat menilai bahwa pertambangan yang ingin dikelola pada dua wilayah tersebut (Lambu dan Parado) hanya akan memberikan dampak kerusakan hutan dan tidak bisa menjamin kesejahteraan warga masyarakat secara luas.
Saat ditemui sejumlah wartawan, mantan Kapolda NTB ini mengaku, telah mengajukan sebuah mekanisme skema baru dengan melakukan perjanjian dengan perusahaan pengelola tambang tentang jaminan atas kesehjahteraan masyarakat dan ekosistem lingkungan, termasuk jaminan sosialnya, yaitu perusahaan yang mengelola harus menyediakan lapangan kerja bagi warga yang tinggal di daerah tambang tersebut. “Dan perjanjian ini bukan hanya di atas kertas saja, namun harus dilaksanakan secara konkrit,” akunya.
Selain itu, kewajiban perusahaan pengelola adalah membayar pajak pada pemerintah, namun yang menjadi perhatian pula perusahaan yang mengelola juga harus memperhatikan kesehjahteraan masyarakat dengan melakukan pendekatan di daerah untuk melihat kebutuhan masyarakat. Makanya, Farouk menegaskan bahwa, menyikapi kasus di kedua daerah tambang yang masih dalam tahapan eksplorasi itu, akan terus dipantau oleh pihaknya. “Saya akan mengajak anggota DPRD Kabupaten Bima untuk melakukan pengawasan terhadap kegiatan pertambangan. Dan apabila pertambangan ditemukan pelanggaran berupa tidak mampu memberikan kesehjahteraan bagi warga yang berada di lokasi pertambangan, maka saya adalah orang pertama yang menolak pertambangan tersebut,” tegasnya.
Diakuinya pula, untuk menuntaskan kasus pertambangan yang
ada di Sape-Lambu yang dikelola oleh PT. Sumber Mineral Nusantara. Dirinya ingin sekali bertemu dengan pihak perusahaan yang mengelola pertambangan tersebut.
“Mereka pernah menelpon saya dan mengajak untuk bertemu untuk membicarakan pertambangan ini. Namun setelah saya menunggu kepastian, merekapun mengurungkan niatnya dan hingga saat ini, saya belum berhasil bertemu dengan mereka. Bahkan yang lebih aneh lagi, kami belum menemukan letak dimana perusahaan tersebut berada, meskipun alamat sudah diketahui dengan jelas. Namun hingga kini perusahaan yang beralamat di Rukan Tanjung Mas Raya Blok B1 No. 43 Jakarta, hingga kini belum kita temukan kantornya,” tandasnya.
Sementara itu, anggota Komisi III DPRD Kabupaten Bima, Drs. H. Mustahid H. Kako, MM, mengungkapkan bahwa, aksi penolakan pertambangan yang dilakukan masyarakat baik di Lambu maupun Parado bukan karena miss- komunikasi, melainkan kurang koordinasinya Pemerintah Kabupaten Bima dengan masyarakat itu sendiri. Dia menilai, reaksi penolakan ini akan tetap bermunculan selama masyarakat belum sepenuhnya faham dan mengerti akan pertambangan. “Apalagi sosialisasi pemerintah masih kurang terhadap masyarakat sehingga setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemkab Bima dianggap tidak sesuai dengan keadaan yang terjadi,” ujarnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua Komisi III DPRD Kabupaten Bima lainnya, Ir. Ahmad. Dikatakannya bahwa, mengelola sebuah pertambangan haruslah teliti dan professional, karena ini menyangkut sumber daya manusia dan kelangsungan ekosistem hutan. “Makanya jangan heran ada masyarakat yang menolak pertambangan ini karena akan menghancurkan lingkungan,” katanya singkat. (GA. 334*)