Mataram, Garda Asakota.-
Ditolaknya Judicial Reviw (JR) Pasal 28 ayat (1), Pasal 30 ayat (2), Pasal 32 ayat (4) UU Advokat yang dimohonkan Frans Hendra Winarta dkk di Gedung Mahkamah Kons titusi (MK) Jakarta, sekitar Juni lalu menuai kekisruhan baru dalam dunia advokat di Indonesia. Ibarat sebuah komoditi, Hukum saat sekarang telah dikuasai oleh sebuah kekuatan besar yang menguasai ‘pasar hukum’. Sehingga hari ini babakan baru konflik di dunia advokat telah ditabuhkan lewat sebuah putusan yang dianggap tidak mencerminkan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan dalam dunia kelembagaan advokat.
Ketua DPP Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Jakarta, Dr. H. Todung Mulya Lubis, SH., L.Lm., pun mengaku menyesalkan terjadinya penolakan MK terhadap judicial
review beberapa pasal UU Advokat yang dianggap krusial. Sebagai Ketua DPP Ikadin Jakarta yang membawahi 42 Cabang Ikadin yang tersebar di 16 Provinsi di Indonesia dan mengakomodir ribuan advokat dan pencari keadilan. Menurutnya, advokat adalah salah satu bagian dari yang disebut unsure penegak hokum yang secara bersama-sama dengan pihak Kepolisian, Kejaksaan maupun pihak Pengadilan, menegakkan hokum dan keadilan. Sehingga, menurutnya, dalam dunia advokat itu sinergitas antar semua lembaga itu perlu untuk menghindari munculnya kekisruhan.
“Sinergi ini yang memang coba kita bangun secara bersama-sama dengan instansi penegak hukum yang lain. Cuman saat sekarang ini, dunia advokat inikan sedang kisruh, ada beberapa organisasi yang seharusnya tidak perlu saling gontok-gontokan, tidak perlu saling mematikan. Karena kita bisa duduk berdampingan. Dan pasar Indonesia itu tidak kecil, pasar Indonesia itu besar. Jadi tidak perlu ada yang merasa takut kehilangan pasar dalam bisnis hukum ini,” tegas pria yang dikenal kritis ini kepada wartawan, Jum’at (22/07), di Bandara Selaparang Mataram.
Siapa yang merasa takut kehilangan pasar itu?. Menurutnya, yang takut kehilangan ‘pasar’ hokum itu yakni mereka yang tidak mau hidup berdampingan secara damai, tidak mau berkompetisi secara sehat dan mereka yang merasa terancam kehilangan pasarnya. Mestinya disaat sekarang ini, kata Todung, mari kita berkompetisi secara sehat, wajar dan akhirnya akan ditentukan oleh individu yang bersangkutan atau oleh pasar itu sendiri.
“Menurut saya, pembenahan kekisruhan dunia advokat ini, hanya bisa dilakukan dengan mengakomodasi semua kepentingan dan kalau mengakomodasi semua kepentingan itu tidak bisa dilakukan dalam wadah tunggal, maka itu harus dilakukan dalam bentuk Federasi. Nah disinilah saya kira, kalau ada organisasi advokat yang menganggap dirinya sebagai organ Negara, maka itu sama sekali keliru. Sebab tidak mungkin organisasi advokat itu sebagai organ Negara, karena kalau organ Negara, maka semua uang yang masuk ke organ tersebut mesti masuk ke kas Negara, tidak bisa masuk hanya ke organ itu saja dan uang-uang itu mesti di audit oleh BPK.
Nah jangan mau menjadi organ Negara tetapi tidak mau tunduk kepada ketentuan-ketentuan yang mewajibkan dia misalnya untuk menyetorkan uang tersebut ke kas Negara atau diaudit oleh BPK,” papar pria yang dikenal sebagai salah satu pejuang HAM ini. Dikatakan Todung, Ikadin saat sekarang ini memiliki 42 Cabang yang tersebar di 16 Provinsi di Indonesia.
Sehingga, menurutnya, saat sekarang ini Ikadin punya basis organisasi yang cukup kuat yang merepresentasikan ribuan advokat yang menjadi anggota Ikadin dan bahkan merepresentasikan cukup banyak pencari keadilan di seluruh Indonesia.
“Sehingga tidak bisa dinafikkan peran Ikadin dalam pentas penegakkan hokum dan keadilan di Indonesia. Oleh karenanya, kita semua mengharapkan kepada instansi penegak hokum baik itu Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan untuk lebih bersikap bijaksana, dan lebih arif dalam melihat situasi semacam ini. Dan saya percaya mereka masih harus memikirkan nasib para pencari keadilan itu. Tidak boleh nasib para pencari keadilan itu disandera oleh konflik yang terjadi antara organisasi advokat ini.
Oleh karenanya, solusi dalam menyikapi kisruh ini adalah men-status quo kan dulu hingga kita bisa mencari satu jalan yang terbaik untuk menyelesaikan kekisruhan ini. Nah kalau kami dari Ikadin melihat perubahan UU Advokat itu merupakan jalan keluar terbaik yang mungkin arif dan paling pas saat ini dan kita sedang coba mewacanakan secara internal dalam tubuh Ikadin sendiri,” ujarnya.
Sementara itu, sebagaimana dikutip dari www.lawyer.forumotin.net, pertimbangan utama kenapa MK menolak JR UU Advokat khususnya Pasal 28 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (4) dikarenakan pasal-pasal tersebut telah diputus lewat putusan No 014/PUU-IV/2006 tertanggal 30 November 2006 yang putusannya menyatakan ditolak seluruhnya.
Pada hakikatnya alasan para pemohon dalam perkara No 014/PUU-IV/2006 adalah sama dengan alasan dalam pengujian kali ini. Mahkamah mengutip pertimbangan putusan No. 014 yang menyatakan bahwa wadah tunggal tidak menutup wadah profesi advokat lain. “Faktanya, saat pembentukan Peradi, delapan organisasi advokat yang ada tidak membubarkan diri dan tidak melebur diri pada Peradi,” kata Hakim Konstitusi Achmad Sodiki sebagaimana ditulis www.lawyer.forumotion.net.
Mahkamah menilai organisasi advokat tunggal tidak menghalangi seseorang untuk melakukan pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai Pasal 27 ayat (2) UUD 1945. Selain itu, wadah tunggal advokat sama sekali tidak menghalangi setiap orang untuk mengembangkan diri memenuhi kebutuhan dasarnya. Frasa “satu-satunya” juga tidak menyebabkan perlakuan yang diskriminatif.
Sementara, kewajiban menjadi anggota organisasi advokat sesuai amanat Pasal 30 ayat (2) UU Advokat merupakan konsekuensi logis dari Pasal 28 ayat (1). “Pengujian Pasal 32 ayat (4) juga merupakan pasal yang sudah selesai dilaksanakan dengan telah berlalunya tenggat waktu dua tahun dan dengan terbentuknya Peradi sebagai satu-satunya wadah profesi advokat, sehingga tidak relevan dipersoalkan konstitusionalitasnya,” kata Sodiki.
Adanya fakta tentang belum disumpahnya calon advokat KAI atau penolakan beracara di pengadilan, menurut Mahkamah, tidak terkait dengan konstitusionalitas norma yang dimohonkan pengujian, tetapi masalah penerapan atau implementasi oleh pengadilan. Soal sumpah calon advokat sesuai Pasal 4 ayat (1) UU Advokat juga telah diputus lewat putusan No 101/PUU-VII/2009 tertanggal 30 Desember 2009.
Putusan itu menyatakan pengambilan sumpah advokat adalah sebuah kewajiban undang-undang bagi pengadilan tinggi tanpa melihat dari organisasi mana calon advokat itu berasal. Frans Hendra Winarta sendiri mengaku bisa menghormati putusan MK ini. Namun, ia mengatakan faktanya saat ini ada organisasi advokat lain selain PERADI yang mengklaim dirinya wadah tunggal, yakni KAI dan Peradin. “Saya selalu menentang konsepsi wadah tunggal karena secara faktual tidak ada, belum lagi organisasi advokat sekarang ada sekitar 15,” kata Frans. “Bagaimana yang lain bisa bersaing kalau penyelenggaraan ujiannya dilakukan oleh satu organisasi?” cetusnya.
Selain itu, Frans juga mempersoalkan proses pembentukan PERADI yang dilakukan oleh pengurus delapan organisasi advokat bukan oleh para anggotanya. Hal ini dinilai melanggar konsepsi demokrasi dan konvensi internasional yang menyatakan para pengurus organisasi advokat harus dipilih oleh para anggotanya. “Saya sebenarnya tidak setuju dengan putusan MK ini dengan alasan nebis in idem,” katanya.
Ia mengklaim alasan konstitusional pengujian undang-undang ini berbeda dengan kondisi pengujian undang-undang ini sebelumnya. “Sekarang faktanya ada calon advokat yang tidak bisa disumpah dan beracara di pengadilan dan sering ricuh, yang berbeda dengan perkara pengujian undang-undang tahun 2006,” tegasnya.
Pemohon lainnya, Firman Wijaya menilai putusan ini tidak memberikan solusi yang definitif untuk menyelesaikan masalah. Belum lagi persoalan sertifikasi dan dewan etik bersama. “Soal ini menjadi kebutuhan advokat ke depan, tetapi ternyata tidak dipertimbangkan dalam putusan MK ini. Jadi putusan ini terlalu minim untuk sebuah problem besar, tidak seperti yang kita bayangkan,” kata Firman.
Sementara Ketua Umum PERADI Otto Hasibuan mengatakan pada hakikatnya putusan ini merupakan kemenangan bagi seluruh advokat Indonesia. “Tidak ada yang menang atau kalah di sini, mudah-mudahan dengan putusan ini, menjadikan tonggak advokat Indonesia semakin kuat untuk bersatu dan menata kembali advokat di masa depan,” kata Otto sebagaimana dikutip dari www.lawyer.forumotion.net.
Ia sangat berharap putusan ini dapat membuat advokat Indonesia lebih bersatu lagi. “Kita juga sudah menampung dan mengakomodir advokat di luar Peradi, kita lupakan perbedaan yang selama ini terjadi dan mari kita bersama membangun advokat Indonesia,” imbaunya. (GA. 211*)