Mataram, Garda Asakota.-
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki kekayaan alam yang begitu besar, khususnya di dalam aspek tambang. Namun, kekayaan alam yang begitu besar itu dipandang belum mampu mensejahterakan rakyat NTB dikarenakan terbatasnya modal yang dimiliki daerah dalam mengelola kekayaan tersebut. Apalagi untuk mengelola atau mengeksplotasi kekayaan tambang yang berlimpah ruah itu, Pemerintah Daerah harus menanamkan saham terlebih dahulu kedalam
perusahaan pengelola tambang agar keuntungan yang diraup dapat sebanding dengan kekayaan tambang yang dieksploitasi. Jika tidak, maka yang diuntungkan dari eksploitasi ini hanyalah kalangan kaum pemodal saja. Salah satu contoh rielnya adalah pengelolaan tambang emas oleh PT. Newmont Nusa Tenggara (NNT) yang ada di Batu Hijau Kabupaten Sumbawa Barat (KSB). Karena ketiadaan modal untuk membeli saham PT. NNT, Tiga Pemerintahan Daerah di NTB yakni Pemprov NTB, Kabupaten Sumbawa, dan KSB harus patungan membentuk dulu suatu Perusahaan yang bernama PT. Daerah Maju Bersaing (DMB) untuk dapat berkongsi dengan pihak swasta yang memiliki modal besar yakni PT. Multi Capital dan membentuk PT. MDB (Multi Daerah Bersaing) agar dapat membeli saham PT. NNT sebesar 24 persen. Skema pembelian saham PT. NNT oleh tiga (3) Pemerintah Daerah itu dengan menggandeng PT. Multi Capital dan membentuk perusahaan baru yang bernama PT. MDB (Multi Daerah Bersaing) dianggap realistis oleh sebagian besar kalangan di NTB sebab kalau tidak dilakukan langkah seperti itu maka Pemerintah Daerah tidak akan mendapatkan keuntungan dari pengelolaan tambang yang notabene merupakan kekayaan alam yang dimiliki oleh daerahnya. Hanya saja, bagi sebagian kalangan menilai langkah yang diambil oleh Pemerintah Daerah itu dianggap menyimpang karena Pemerintah Daerah dianggap tidak mampu mengamankan hak yang diberikan oleh Menteri Keuangan RI untuk membeli saham PT. NNT sebesar 24 persen tersebut. Namun, alih-alih membeli saham tersebut, malah hak pembelian saham sebesar 24 persen tersebut dialihkan ke pihak swasta Nasional dan diduga dalam proses ini menimbulkan kerugian Negara. Lantas bagaimana tanggapan pihak DPRD NTB menanggapi adanya kontroversi dan tudingan adanya dugaan transaksi illegal menyangkut hak kepemilikan saham di PT. NNT ini?, Wakil Ketua DPRD NTB, Suryadi Jaya Purnama, ST., kepada wartawan media ini menegaskan divestasi merupakan kewajiban PT. NNT untuk melepaskan sahamnya kepada Pemerintah Daerah. “Jadi memang betul, Pemerintah Daerah tidak punya saham langsung kepada PT. NNT. Yang ada adalah Pemerintah Daerah punya perusahaan BUMD yang namanya PT. DMB yang merupakan gabungan dari Pemerintah Daerah (Pemprov NTB, Pemkab Sumbawa dan Pemkab Sumbawa Barat). Itu memiliki saham di PT. DMB (Daerah Maju Bersaing). Nah PT. DMB itu punya saham di PT. MDB (Maju Daerah Bersaing) yang bekerja sama dengan PT. Multi Capital. Nah PT. MDB inilah yang punya saham di PT. NNT. Jadi secara langsung memang tidak punya saham tapi secara tidak langsung punya saham di sana (PT. NNT) yang tidak secara langsung ditulis atas nama Pemerintah Daerah, tapi sesungguhnya kalau diurut kepemilikannya ada nama Pemerintah Daerah. Jadi ada benarnya, ada juga salahnya tergantung dari kita melihat dari sisi apa. Dari sisi administrasi memang bukan atas nama Pemerintah Daerah, saham di PT. NNT itu. Tapi dari sisi kepemilikan, maka kita punya kepemilikan atas saham itu berdasarkan AD/ART dari PT. MDB dan PT. DMB,” tegas pria yang merupakan duta Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Dapil VI NTB ini. Lantas Deviden yang diperoleh dari PT. NNT ini sah atau tidak?. Wakil Ketua DPRD NTB menegaskan deviden yang diterima Pemerintah Daerah itu jelas sah adanya karena Pemerintah Daerah memiliki perusahaan yang bernama PT. DMB dan mendapatkan keuntungan dari PT. MDB. “Usaha PT. DMB itu adalah menanam modal ke PT. MDB dan PT. MDB menanamkan modalnya ke PT. NNT. Jadi sah secara administrasi Negara dari sisi UU Bisnis dan di dalam item itu sah, tidak ada persoalan dari sisi itu. Nah kalau ada indikasi penyimpangan baik di dalam proses maupun dari sisi lainnya yah nggak apa-apa diperiksa. Hanya saja harus proporsional, jangan sampai isu-isu mengenai divestasi ini mengurangi peluang NTB untuk mendapatkan haknya. Isu korupsi harus juga ditangani, tetapi daerah juga tidak boleh dihalang-halangi untuk mendapatkan haknya berupa kesejahteraan dari PT. NNT. Karena inikan permainan tingkat tinggi, kita tidak boleh terjebak pada suatu isu yang menghilangkan hak kita. Isu korupsi merupakan hal yang berbeda, bahwa NTB punya hak kepemilikan di PT. NNT itu harus diperjuangkan,” tegas pria yang juga merupakan Ketua DPW PKS NTB ini. Kepemilikan saham Pemda di PT. NNT secara tidak langsung itu seperti apa?, menurutnya, Pemerintah Provinsi dan Pemkab KS dan KSB, itu memang mengeluarkan dana untuk membentuk sebuah perusahaan sebagai modal awal berdirinya perusahaan yang bernama PT. DMB. “Nah karena Pemda berdasarkan kontrak karya PT. NNT punya hak untuk mendapatkan saham. Hasil kerjasama mendapatkan saham itulah kemudian daerah bekerjasama dengan PT. Multi Capital untuk mendapatkan saham. Dari kerjasama yang berupa hak itu dinilai dalam bentuk saham senilai 24 persen saham dari keseluruhan saham PT. MDB di PT. NNT. Jadi hak itu kemudian dikonversi menjadi kepemilikan saham karena yang berhak membeli saham itu adalah Pemerintah Daerah. Karena Pemerintah Daerah tidak punya anggaran untuk membeli saham itu, makanya bekerjasama dengan pihak ketiga yakni PT. Multi Capital. Nah pihak ketiga membeli saham itu akhirnya dikonversi menjadi kepemilikan saham. Jadi Pemda punya asset secara tidak langsung di PT. NNT berupa sejumlah saham itu betul dan itu tidak bisa dibantahkan lagi. Dan letak penyimpangannya itu dimana?, itu juga menjadi pertanyaan kita. Karena menurut saya dalam prosesnya itu menurut saya tidak ada penyimpangan. Kalau ada indikasi penyimpangan, yah itulah tugas aparat penegak hukum. Silahkanlah mereka yang melihat ada indikasi penyimpangannya yang mengusutnya. Kalau dari DPRD sendiri tidak melihat adanya indikasi penyimpangan secara procedural, kecuali dibalik hal itu, kita tidak tahu fakta-fakta, itu bab lain. Karenanya seluruh prosedur-prosedur sudah dilaksanakan secara normal, apakah ada penyimpangan dalam proses itu, kita belum melihat ada indikasi kesana,” terang pria yang akrab disapa SJP ini. Menurut SJP, untuk membeli sendiri saham itu, jumlahnya sangat besar sekali, nilainya trilyunan rupiah, secara bertahap tiga persen, tiga persen, tujuh persen, sehingga tidak mungkin Pemerintah Daerah membeli secara langsung saham-saham tersebut. “Tetapi ketika tidak mampu membeli dan diserahkan begitu saja, kan ada kerugian, artinya ada hak yang tidak bisa dimanfaatkan. Karena dalam Kontrak Karya, kalau Pemerintah Pusat tidak membeli maka diserahkan kepada daerah, dan kalau Pemerintah Daerah tidak mampu membeli maka diserahkan kepada swasta Nasional. Nah kesempatan inilah yang dipergunakan oleh Pemerintah Daerah untuk tidak mau melepas begitu saja hak itu. Tapi tidak punya uang kan. Akhirnya gandeng pihak ketiga yakni swasta Nasional yang punya dana tetapi ada share atau saham, jadi hak itu dikonversi menjadi saham. Kalau dibeli langsung tidak mungkin. Karena APBD kita saja, seluruhnya saja jumlahnya sekitar Rp2,4 Trilyun untuk tahun ini. Sementara untuk membeli saham itukan, angkanya jauh lebih besar dari itu,” terangnya lagi. Yang jelas dari mekanisme ini, menurut SJP, Pemerintah Daerah tidak ada ruginya karena kita tidak mengeluarkan uang. “Faktanya sudah ratusan milyar yang sudah masuk ke Pemerintah Daerah. Itukan tanpa modal, hanya berdasarkan modal hak. Kalau tidak dibeli oleh Pemerintah Daerah, maka hak pembelian itu akan turun kepada swasta Nasional, dan itu Pemerintah Daerah tidak akan mendapat apa-apa. Nah dengan skema inilah Pemerintah Daerah bisa mendapatkan saham dan devidennya sekaligus tanpa menggunakan dana tunai. Hanya modal untuk membentuk perusahaan yang bernama PT. DMB itu, jadi dari sisi keuangan itu sangat menguntungkan Pemerintah Daerah,” tandasnya. (GA. Imam*).
perusahaan pengelola tambang agar keuntungan yang diraup dapat sebanding dengan kekayaan tambang yang dieksploitasi. Jika tidak, maka yang diuntungkan dari eksploitasi ini hanyalah kalangan kaum pemodal saja. Salah satu contoh rielnya adalah pengelolaan tambang emas oleh PT. Newmont Nusa Tenggara (NNT) yang ada di Batu Hijau Kabupaten Sumbawa Barat (KSB). Karena ketiadaan modal untuk membeli saham PT. NNT, Tiga Pemerintahan Daerah di NTB yakni Pemprov NTB, Kabupaten Sumbawa, dan KSB harus patungan membentuk dulu suatu Perusahaan yang bernama PT. Daerah Maju Bersaing (DMB) untuk dapat berkongsi dengan pihak swasta yang memiliki modal besar yakni PT. Multi Capital dan membentuk PT. MDB (Multi Daerah Bersaing) agar dapat membeli saham PT. NNT sebesar 24 persen. Skema pembelian saham PT. NNT oleh tiga (3) Pemerintah Daerah itu dengan menggandeng PT. Multi Capital dan membentuk perusahaan baru yang bernama PT. MDB (Multi Daerah Bersaing) dianggap realistis oleh sebagian besar kalangan di NTB sebab kalau tidak dilakukan langkah seperti itu maka Pemerintah Daerah tidak akan mendapatkan keuntungan dari pengelolaan tambang yang notabene merupakan kekayaan alam yang dimiliki oleh daerahnya. Hanya saja, bagi sebagian kalangan menilai langkah yang diambil oleh Pemerintah Daerah itu dianggap menyimpang karena Pemerintah Daerah dianggap tidak mampu mengamankan hak yang diberikan oleh Menteri Keuangan RI untuk membeli saham PT. NNT sebesar 24 persen tersebut. Namun, alih-alih membeli saham tersebut, malah hak pembelian saham sebesar 24 persen tersebut dialihkan ke pihak swasta Nasional dan diduga dalam proses ini menimbulkan kerugian Negara. Lantas bagaimana tanggapan pihak DPRD NTB menanggapi adanya kontroversi dan tudingan adanya dugaan transaksi illegal menyangkut hak kepemilikan saham di PT. NNT ini?, Wakil Ketua DPRD NTB, Suryadi Jaya Purnama, ST., kepada wartawan media ini menegaskan divestasi merupakan kewajiban PT. NNT untuk melepaskan sahamnya kepada Pemerintah Daerah. “Jadi memang betul, Pemerintah Daerah tidak punya saham langsung kepada PT. NNT. Yang ada adalah Pemerintah Daerah punya perusahaan BUMD yang namanya PT. DMB yang merupakan gabungan dari Pemerintah Daerah (Pemprov NTB, Pemkab Sumbawa dan Pemkab Sumbawa Barat). Itu memiliki saham di PT. DMB (Daerah Maju Bersaing). Nah PT. DMB itu punya saham di PT. MDB (Maju Daerah Bersaing) yang bekerja sama dengan PT. Multi Capital. Nah PT. MDB inilah yang punya saham di PT. NNT. Jadi secara langsung memang tidak punya saham tapi secara tidak langsung punya saham di sana (PT. NNT) yang tidak secara langsung ditulis atas nama Pemerintah Daerah, tapi sesungguhnya kalau diurut kepemilikannya ada nama Pemerintah Daerah. Jadi ada benarnya, ada juga salahnya tergantung dari kita melihat dari sisi apa. Dari sisi administrasi memang bukan atas nama Pemerintah Daerah, saham di PT. NNT itu. Tapi dari sisi kepemilikan, maka kita punya kepemilikan atas saham itu berdasarkan AD/ART dari PT. MDB dan PT. DMB,” tegas pria yang merupakan duta Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Dapil VI NTB ini. Lantas Deviden yang diperoleh dari PT. NNT ini sah atau tidak?. Wakil Ketua DPRD NTB menegaskan deviden yang diterima Pemerintah Daerah itu jelas sah adanya karena Pemerintah Daerah memiliki perusahaan yang bernama PT. DMB dan mendapatkan keuntungan dari PT. MDB. “Usaha PT. DMB itu adalah menanam modal ke PT. MDB dan PT. MDB menanamkan modalnya ke PT. NNT. Jadi sah secara administrasi Negara dari sisi UU Bisnis dan di dalam item itu sah, tidak ada persoalan dari sisi itu. Nah kalau ada indikasi penyimpangan baik di dalam proses maupun dari sisi lainnya yah nggak apa-apa diperiksa. Hanya saja harus proporsional, jangan sampai isu-isu mengenai divestasi ini mengurangi peluang NTB untuk mendapatkan haknya. Isu korupsi harus juga ditangani, tetapi daerah juga tidak boleh dihalang-halangi untuk mendapatkan haknya berupa kesejahteraan dari PT. NNT. Karena inikan permainan tingkat tinggi, kita tidak boleh terjebak pada suatu isu yang menghilangkan hak kita. Isu korupsi merupakan hal yang berbeda, bahwa NTB punya hak kepemilikan di PT. NNT itu harus diperjuangkan,” tegas pria yang juga merupakan Ketua DPW PKS NTB ini. Kepemilikan saham Pemda di PT. NNT secara tidak langsung itu seperti apa?, menurutnya, Pemerintah Provinsi dan Pemkab KS dan KSB, itu memang mengeluarkan dana untuk membentuk sebuah perusahaan sebagai modal awal berdirinya perusahaan yang bernama PT. DMB. “Nah karena Pemda berdasarkan kontrak karya PT. NNT punya hak untuk mendapatkan saham. Hasil kerjasama mendapatkan saham itulah kemudian daerah bekerjasama dengan PT. Multi Capital untuk mendapatkan saham. Dari kerjasama yang berupa hak itu dinilai dalam bentuk saham senilai 24 persen saham dari keseluruhan saham PT. MDB di PT. NNT. Jadi hak itu kemudian dikonversi menjadi kepemilikan saham karena yang berhak membeli saham itu adalah Pemerintah Daerah. Karena Pemerintah Daerah tidak punya anggaran untuk membeli saham itu, makanya bekerjasama dengan pihak ketiga yakni PT. Multi Capital. Nah pihak ketiga membeli saham itu akhirnya dikonversi menjadi kepemilikan saham. Jadi Pemda punya asset secara tidak langsung di PT. NNT berupa sejumlah saham itu betul dan itu tidak bisa dibantahkan lagi. Dan letak penyimpangannya itu dimana?, itu juga menjadi pertanyaan kita. Karena menurut saya dalam prosesnya itu menurut saya tidak ada penyimpangan. Kalau ada indikasi penyimpangan, yah itulah tugas aparat penegak hukum. Silahkanlah mereka yang melihat ada indikasi penyimpangannya yang mengusutnya. Kalau dari DPRD sendiri tidak melihat adanya indikasi penyimpangan secara procedural, kecuali dibalik hal itu, kita tidak tahu fakta-fakta, itu bab lain. Karenanya seluruh prosedur-prosedur sudah dilaksanakan secara normal, apakah ada penyimpangan dalam proses itu, kita belum melihat ada indikasi kesana,” terang pria yang akrab disapa SJP ini. Menurut SJP, untuk membeli sendiri saham itu, jumlahnya sangat besar sekali, nilainya trilyunan rupiah, secara bertahap tiga persen, tiga persen, tujuh persen, sehingga tidak mungkin Pemerintah Daerah membeli secara langsung saham-saham tersebut. “Tetapi ketika tidak mampu membeli dan diserahkan begitu saja, kan ada kerugian, artinya ada hak yang tidak bisa dimanfaatkan. Karena dalam Kontrak Karya, kalau Pemerintah Pusat tidak membeli maka diserahkan kepada daerah, dan kalau Pemerintah Daerah tidak mampu membeli maka diserahkan kepada swasta Nasional. Nah kesempatan inilah yang dipergunakan oleh Pemerintah Daerah untuk tidak mau melepas begitu saja hak itu. Tapi tidak punya uang kan. Akhirnya gandeng pihak ketiga yakni swasta Nasional yang punya dana tetapi ada share atau saham, jadi hak itu dikonversi menjadi saham. Kalau dibeli langsung tidak mungkin. Karena APBD kita saja, seluruhnya saja jumlahnya sekitar Rp2,4 Trilyun untuk tahun ini. Sementara untuk membeli saham itukan, angkanya jauh lebih besar dari itu,” terangnya lagi. Yang jelas dari mekanisme ini, menurut SJP, Pemerintah Daerah tidak ada ruginya karena kita tidak mengeluarkan uang. “Faktanya sudah ratusan milyar yang sudah masuk ke Pemerintah Daerah. Itukan tanpa modal, hanya berdasarkan modal hak. Kalau tidak dibeli oleh Pemerintah Daerah, maka hak pembelian itu akan turun kepada swasta Nasional, dan itu Pemerintah Daerah tidak akan mendapat apa-apa. Nah dengan skema inilah Pemerintah Daerah bisa mendapatkan saham dan devidennya sekaligus tanpa menggunakan dana tunai. Hanya modal untuk membentuk perusahaan yang bernama PT. DMB itu, jadi dari sisi keuangan itu sangat menguntungkan Pemerintah Daerah,” tandasnya. (GA. Imam*).