Copot Kabid KPMP
Bima, Garda Asakota.-
Mantan
Kabid KPMP Dikpora Kabupaten Bima, M. Ali H. Abdullah, M.Pd, merasa keberatan
atas pencopotan dirinnya oleh Bupati Bima, H. Ferry Zulkarnain, ST. Melalui
Kuasa Hukumnya, H. Muhammad Natsir SH, menilai ada kekeliruan dan sikap
emosional yang terlihat dari kebijakan yang diambil oleh Bupati Bima, tanpa
adanya prosedur yang sewajarnya. “Kok emosional betul Ferry itu (Bupati Bima,
red). Mutasi itu memang haknya Ferry, tetapi jangan berfikir hak prerogatif
seperti di jaman feodal.
Ini jaman hukum, ada bingkai hukum yang
mengaturnya seperti Inspektorat, BKD ataupun Baperjakat,” ujarnya kepada Garda
Asakota, Kamis (14/11). Semestinya,
kata dia, sebelum menjatuhkan sanksi pencopotan kepada stafnya, Bupati Bima
dapat menghargai proses normative, tidak serta merta menjatuhkan
kebijakan atas dasar emosional. “Dangkal pemikirannya. Baru pertama kali ini
saya melihat proses mutasi di jaman Ferry Zulkarnain, yang paling parah,”
cetusnya. Karena tidak menerima kebijakan mutasi yang dianggapnya itu,
mengajukan keberatan atas Surat Keputusan Bupati Bima Nomor 821.2/784.007.2013
tanggal 7 November 2013 tentang Pemberhentian kliennya dari Jabatan (KPMP pada
Dikpora Kabupaten Bima dan menjadi staff di Badan Penanaman Modal Daerah.
Kata
Natsir, dalam Keputusan Bupati Bima tersebut terdapat kesalahan fatal dalam
menempatkan dasar hukum sebagai acuan mutasi. Ia menjelaskan, harusnya Bupati
Bima memperhatikan Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 13 tahun
2003 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 2003 tetang Wewenang Pengangkatan,
Pemindahan dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil. “Semestinya, Bupati Bima
harus menggunakan konsideran peraturan tersebut, karena klien kami adalah PNS
yang sebelumnya adalah pejabat struktural sebagai Kepala Bidang KPMP Dinas
Dikpora Kabupaten Bima dan dimutasi sebagai staf biasa. Implikasi hukum dari
keputusan Bupati Bima tersebut mengandung cacat hukum dan harus dicabut
kembali,” katanya.
Lahirnya
keputusan tersebut, katanya tidak
prosedural dan menyalahi Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 13 tahun
2002 tentang Pelaksanaan PP Nomor 100 tahun 2000 tentang pengangkatan Pegawai
Negeri Sipil dalam jabatan stuktural sebagaimana telah diubah dengan PP
Nomor 13 tahun 2003 tersebut.
“Mestinya,
harus ada pemeriksaan atau klarifikasi oleh Badan Pertimbangan Jabatan dan
Kepangkatan (Baperjakat) atau pemeriksaan khusus oleh Inspektorat terhadap
klien kami atas persoalan pemasangan spanduk yang dinilai melecehkan Wakil
Bupati BGima tersebut,” tandasnya.
Tak
cuma itu, dia juga menyinggung statemen Bupati Bima, H. Ferry Zulkarnain, ST
saat perayaan tahun baru Hijriah, tanggal 6 November 2013 di halaman kantor
Pemkab Bima. “Pengakuan Bupati yang menyinggung bawahan Kepala Dinas Dikpora
atas pemasangan spanduk tersebut yang dinilainya sangat melanggar kode etik
harus di cek dan dibuktikan dulu kebenarannya,” ujar Natsir.
“Tidak
ada persidangan oleh Baperjakat dan klien kami langsung diberhentikan, dalam
waktu tiga hari yaitu kejadian tanggal 4 November 2013 dan diberhentikan
tanggal 7 November,” jelasnya lagi. Natsir kembali menegaskan bahwa,
Keputusan Bupati adalah keputusan yang emosional dan tidak mencerminkan
kepemimpinan yang adil. Berdasarkan masalah yang menimpa kliennya itu, dia
meminta keputusan Bupati Bima tersebut segera dicabut atau dibatalkan. “Apabila
permintaan itu tidak dipenuhi, maka persoalan ini akan digugat ke
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Mataram,” ujarnya.
Bupati
Bima melalui Kabag Humaspro Pemkab Bima, Drs. Aris Gunawan, menegaskan bahwa,
Bupati adalah Pembina kepegawaian dan jabatan adalah hak prerogative yang
dipercayakan kepada orang tertentu yang kapan saja mau diberikan dan mau
ditarik kembali. Di sisi lain, kata dia, Baperjakat adalah wadah yang membantu
untuk memberikan pertimbangan bukan yang memutuskan. “Artinya apapun yang
dilakukan Baperjakat keputusannya tetap pada pak Bupati,” tegasnya.
Disinggung
mutasi memang hak Bupati, tapi semestinya tetap mengacu pada aturan normative?,
pihaknya menjelaskan bahwa jabatan itu adalah sebuah kepercayaan, ketika
kepercayaan itu sudah tidak ada lagi kenapa tidak boleh ditarik?. “Itukan hak
pemberi amanah. Contoh, saya sudah eselon II tapi karena belum ada kepercayaan
apa saya harus berontak, padahal sudah banyak junior saya dalam segi
kepangkatan sudah eselon II. Bahkan saya ini sudah dua tahun nggak bisa naik
pangkat, apa saya harus marah dan PTUN-kan Bupati?. Pokoknya, sampai Z-nya
urusan Bupati,” tandas Aris Gunawan. (GA. 212*)