Oleh: Dr. Karyadin |
Sebagai sebuah bangsa, Indonesia telah meletakkan komitmen konstitusional pembangunan pendidikan dalam UUD RI 1945 Pasal 31 Ayat (1)...setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, Ayat (2)...setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya, Ayat (3)...pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan, serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dalam undang-undang.
Dalam konteks pembangunan pendidikan daerah, diperlukan satu kepemimpinan pendidikan yang mampu mengimplementasikan secara kuat dan sistemik kewenangan yang diberikan peraturan perundang-undangan dalam pengelolaan sistem pendidikan daerah. Dinas Pendidikan sebagai perpanjangan tangan kepala daerah harus mampu menjabarkan dan mengimplementasikan secara inovatif kewenangan dan kebijakan tata kelola pendidikan yang dimiliki kepala daerah. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan bahwa bupati/walikota menetapkan kebijakan tata kelola pendidikan untuk menjamin efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas pengelolaan pendidikan.
Berangkat dari kewenangan tata kelola inilah penulis mendorong lahirnya kebijakan baru (new policy) sistem tata kelola sekolah yang lebih efektif dan berbasis kesiswaan (pupil oriented). Jika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Muhajir Effendy menggagas kebijakan full day school maka penulis menggagas Five Days Learning dan One Day Playing (F-DL & O-DP) yang artinya Lima Hari Belajar dan Satu Hari Bermain. Lima hari tersebut yakni Senin hingga Jum’at digunakan untuk kegiatan belajar mengajar (KBM) dari mata pelajaran yang ada minus pelajaran olahraga dan muatan lokal. Sedangkan hari Sabtu dikonsentrasikan penuh untuk kegiatan nonpelajaran seperti bermain/olahraga, ekstrakurikuler, dan kegiatan pendidikan karakter, pesantren kilat, dll. Konsekuensi logis dari kebijakan ini tentu akan berdampak pada terjadinya restrukturisasi dan rescheduling jam pelajaran yang ada dengan tetap mengacu pada peraturan yang ada.
Gagasan ini pernah penulis kemukakan di hadapan Staf Ahli Mendikbud, Prof. Dr. Djoko Saryono dalam Forum Penguatan Karakter Masyarakat yang diadakan LPMP NTB Maret lalu. Menurut Saryono, gagasan kebijakan F-DL & O-DP bisa menjadi inspirasi dan model bagi daerah lain meskipun nantinya kementerian akan mengeluarkan kebijakan Five Days School.
Pemisahan 5 hari belajar dan 1 hari bermain pada dasarnya untuk penguatan kapasitas manajemen sekolah dengan tujuan pertama, mendorong peserta didik lebih fokus dan berkonsentrasi penuh untuk penguatan kapasitas keilmuan dengan tetap melakukan internalisasi nilai-nilai nonkeilmuan yang tetap berbasis pada learning method pada Kurikulum 2013. Kedua, memberikan ruang khusus yang lebih luas untuk peserta didik untuk bermain, berolahraga mengembangkan kreativitas, bakat minat, dan kegiatan nonpelajaran lainnya seperti penguatan karakter, eskul, dan pesantren kilat. Ketiga, menguatkan ikatan persaudaraan antarsiswa dan guru (civitas akademika) di masing-masing kecamatan karena one day playing bisa dilakukan secara bersama atau gabungan sekolah-sekolah di satu kecamatan dengan konsep playing together.
Dalam prespektif akademik, kebijakan F-DL dan O-DP ini mengacu pada pendekatan pendidikan pedagogis yang menekankan kepada pendidikan anak-anak bahwa anak pada jenjang pendidikan dasar harus diberikan ruang kebebasan aktualisasi diri yang lebih luas untuk tumbuh kembang secara alami dan terkendali secara sistemik. Menurut Friedrich Frobel (1817), anak-anak sejatinya membutuhkan kondisi lingkungan yang memberikan pengalaman langsung kepada anak seperti bermain, bernyanyi, dan berbagai macam kegiatan anak. Bermain akan mengarahkan anak-anak ke arah ketertiban. Ketertiban tersebut dimaksdukan Frobel untuk mendidik anak-anak “rasa kesusilaan”. Bagi Frobel, jika anak-anak tidak bergerak dan lebih banyak diam maka pertanda anak itu kurang sehat badannya atau jiwanya. Bergeraknya anak-anak adalah akibat dari gerakan jiwanya, karena jiwa dan tubuh anak-anak bersifat satu. Gerakan badan akan mempengaruhi jiwa untuk tumbuh kembang sehingga pada akhirnya melahirkan anak-anak yang sehat, jasmani dan rohani. Dalam konsep teori pendidikan Mario Montessori (1907), pendidikan adalah sebagai aktivitas diri dan mengarahkan anak pada pembentukan disiplin pribadi, kemandirian, dan pengarahan diri.
Montessori memandang bahwa pendidikan jasmani yang mengembangkan otot-otot, berkebun, dan belajar tentang alam. Dengan pendidikan tentang alam, berkebun, dan mengembangkan otot-otot melalui olahraga diharapkan anak-anak akan memiliki pengalaman kehidupan dan fisik yang sehat dan kuat. Dengan demikian, anak akan dapat belajar dengan berbagai macam pengetahuan. Itulah landasannya mengapa kemudian Sabtu dijadikan hari bermain dan pembentukan karakter siswa tanpa dibebani dengan pelajaran-pelajaran yang berat.
Selama ini kebijakan tata kelola pendidikan dasar dan menengah di daerah masih cenderung hegemonistik dan sentralistik menurut selera pusat seperti gagasan full day school dan five days school yang sesungguhnya memarjinalkan gagasan inovasi tata kelola pendidikan yang lahir dari kepemimpinan pendidikan daerah (education leadership). Padahal full day school dan five days school belum tentu sesuai dengan kondisi sosial di masing-masing daerah.
Bagi penulis, full day school maupun five days school hanya cocok di daerah-daerah dengan status daerah otonom kota dan tidak cocok untuk yang berpredikat kabupaten. Konsederansi sosial, budaya, ekonomi, geografis, agama dan lainnya menjadi disaster implementasi kebijakan full day school dan five days school tersebut di masa datang. Pendidikan di kabupaten harus selalu menggunakan pendekatan sistem. Sistem harus dihadirkan dan dimainkan sebagai alat rekayasa sosial atau meminjam istilah Profesor Saryono (2017) sebagai alat rekonstruksi sosial. Ketika terjadi fenomena siswa keliaran hingga larut malam, ketika siswa keliaran di hari sekolah, di tempat-tempat yang tidak etis, siswa malas sholat di masjid, malas mengaji, malas membaca dan lainnya maka sistem harus menjadi instrumen untuk mengendalikan dan mengkonstruksinya. Disinilah dibutuhkan peran penting kepemimpinan (leadership) yang responsif dan sensitif terhadap fenomena-fenomena sosial dalam ranah pendidikan. Jika fenomena-fenomena negatif tersebut terus menguat, meluas tanpa kendali, dan tanpa perlakuan sistem maka dunia pendidikan berada pada titik nadir dan bahkan boleh jadi destroyed. Karena itu, kehadiran kepemimpinan pendidikan dalam formasi jabatan struktural dan fungsional secara tepat berdasarkan prinsip the right men in the right place di daerah akan sangat menentukan majunya pendidikan di daerah. Sebaliknya jika berbenturan dengan prinsip tersebut maka dunia pendidikan hanya akan mengalami stagnasi bahkan kemunduran. Karena dalam konsep kepemimpinan pendidikan tidak cukup berakhir dengan menempatkan orang untuk menduduki satu posisi tertentu dan melaksanakan kegiatan atau program semata tetapi lebih dari itu adalah kecerdasannya melahirkan gagasan-gagasan dan ide-ide besar mewujudkan kemajuan pendidikan itu sendiri.
Dalam realitasnya, sistem pendidikan daerah saat ini sungguh irregular karena pendidikan ternyata bukan ranah yang otonom tetapi turut dipengaruhi secara dominan oleh faktor lain seperti politik dan ekonomi. Namun demikian, optimisme akan adanya perubahan besar dunia pendidikan daerah harus terus dibangun atas kredo bahwa hari esok harus lebih baik dari hari ini.*Penulis adalah Presidium Forum Doktor NTB, Anggota Dewan Pendidikan Kabupaten Bima Periode 2015-2019, dan Curriculum Expert di Bidang Dikdas Dinas Dikbudpora Kabupaten Bima.