Kepala Biro Humas dan Protokol Setda Provinsi NTB, Najamuddin Amy, S.Sos.,MM., dan Kepala Satuan Pelaksana Energi Terbarukan, Komposting, dan 3 R, serta Pemrosesan Akhir Sampah, Dinas Lingkungan Hidup, Pemprov DKI Jakarta, Rizky Febriyanto, Bekasi 24 April 2019.
Bekasi, Garda Asakota.-
Program NTB Zero Waste 2023 merupakan suatu program Pemerintah Provinsi NTB dibawah Kepemimpinan Gubernur dan Wakil Gubernur NTB, Dr H Zulkieflimansyah dan Dr Hj Sitti Rohmi Djalillah yang ingin mewujudkan Provinsi NTB bebas dari sampah.
Dimulai dari langkah pertama seperti penanaman mindset atau pola pikir hidup bersih bebas dari sampah, Gubernur NTB yang akrab disapa Bang Zul itu selalu optimis program Zero Waste ini dapat diwujudkan dalam lima tahun kepemimpinannya.
Penyediaan Bak Sampah disetiap tempat juga menjadi hal penting yang selalu ditekankan pihaknya untuk mewujudkan program Zero Waste ini. Sehingga dengan keberadaan Bak Sampah disetiap tempat, maka masyarakat lebih mudah untuk membuang sampah pada tempatnya dan sampah-sampah itu lebih mudah untuk dibawa ke tempat pembuangan akhir (TPA) sampah dan lebih mudah untuk menyortir dan mendaur ulang lagi sampah-sampah tersebut menjadi bernilai kembali untuk kehidupan masyarakat.
Mewujudkan daerah bebas sampah serta mengelola sampah untuk menjadi barang yang memiliki nilai adalah harapan dari setiap Pemimpin, termasuk Gubernur dan Wagub NTB. Hanya saja untuk mewujudkan cita-cita tersebut diperlukan kesadaran yang tinggi dari masyarakatnya untuk mau hidup bersih bebas dari sampah. Selain itu, dibutuhkan investasi atau Cost yang sangat besar guna memback up penyediaan segala sesuatunya termasuk mempersiapkan sistem birokrasinya, perangkat SDM yang handal serta aspek-aspek penunjang lainnya.
Sebagaimana diungkapkan oleh Kepala Biro Humas dan Protokol Setda Provinsi NTB, Najamuddin Amy, S.Sos.,MM., kepada sejumlah wartawan, banyak kekhawatiran dan nada pesimistis dari masyarakat tentang program bebas sampah yang dicanangkan Pemprov NTB.
Menurut Najamuddin, cara menjawab keraguan masyarakat dengan belajar, mengadopsi, dan memodifikasi program pengelolaan sampah yang betul-betul dikelola dengan teknologi dan hal tersebut ada di TPST Bantargebang dengan segala kompleksitas persoalannya.
"Betul apa yang dikatakan Pak Gubernur (NTB) dan Ibu Wagub, apabila sampah dikelola dengan baik bisa menjadi berkah, namun kalau tidak bisa (dikelola) akan menjadi bencana dan sumber penyakit," ujar Najamuddin saat mendampingi Forum Wartawan DPRD NTB berkunjung ke Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, Rabu (24/4/2019).
Najamuddin memaparkan, total sampah di NTB, yang terdiri atas 10 kabupaten dan kota- mencapai 3,388,76 ton per hari. Dari jumlah tersebut, hanya 631,92 ton yang sampai ke 10 tempat pembuangan akhir (TPA) per hari.
Sementara jumlah sampah yang tidak sampai ke TPA atau tidak terkelola dan beredar di sekitar masyarakat mencapai 2,695,63 ton atau 80 persen. Sedangkan sampah yang berhasil di daur ulang baru sebesar 51,21 ton per hari.
Najamuddin mengatakan produksi sampah terbesar berada di Kabupaten Lombok Timur sebanyak 801,74 ton per hari, di mana hanya 15,40 ton saja yang sampai ke TPA, sementara 786,26 atau 98 persen tidak sampai ke TPA atau tidak terkelola dengan baik. Urutan kedua ada pada Lombok Tengah dengan 645,73 ton sampah per hari, di mana hanya 12,25 persen yang ke TPA, sedangkan 627,64 ton sampah atau 97 persen tidak sampai ke TPA. Untuk ibu kota NTB, Kota Mataram, memiliki produksi sampah 314,30 ton sampah per hari dengan 273 ton yang sampai ke TPA dan 15,71 ton didaur ulang sehingga hanya 15,59 ton sampah atau 5 persen yang belum dikelola dengan baik.
"Yang tidak sampai ke TPA menjadi sumber penyakit karena beredar di tengah kita (masyarakat)," kata Najamuddin.
Najamuddin mengatakan belum maksimalnya pengelolaan sampah lantaran kurangnya SDM dan juga alat pengangkut sampah dari TPS menuju TPA. Mengenai jumlah TPA, kata Najamuddin, sejatinya masih cukup.
10 kabupaten dan kota di NTB memiliki TPA dengan rincian TPA Kebon Kongok seluas 8,41 hektare untuk Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Barat, TPA Pengengat di Lombok Tengah seluas 10 hektare, TPA Ijo Balit di Lombok Timur seluas 8 hektare, TPA Jugil di Lombok Utara seluas 8 hektare, TPA Oi Mbo di Kota Bima seluas 7 hektare, TPA Waduwani di Kabupaten Bima dengan luas 7 hektare, TPA Lune di Dompu seluas 9, dan TPA Batu Putih di Sumbawa Barat seluas 5 hektare. Sementara Kabupaten Sumbawa memiliki dua TPA yakni TPA Raberas seluas 6 hektare dan TPA Lekong seluas 9 persen.
Najamuddin menilai, NTB masih memiliki cukup waktu untuk berbenah dalam hal pengelolaan sampah. Pasalnya, jumlah sampah NTB belum sebanyak yang diterima Jakarta. Meski hal tersebut juga relatif tidak sepadan mengingat NTB dan Jakarta merupakan dua wilayah yang berbeda, baik dari segi jumlah penduduk, geografis wilayah, hingga kekuatan anggaran. Namun, lanjut Najamuddin, NTB dapat mengambil pelajaran dari Jakarta yang mampu mengelola sampah dalam jumlah besar dengan memanfaatkan teknologi.
"Ini momentum bagi NTB, sesungguhnya tidak ada sesuatu yang tidak mungkin, belum terlambat untuk NTB karena sampah kita belum sebesar DKI (Jakarta)," ucap Najamuddin.
Secara administratif, TPST Bantargebang berada di Kelurahan Ciketing Udik, Sumur Batu, dan Cikiwul, Kecamatan Bantargebang, Kota Bekasi, Provinsi Jawa Barat. Meskipun terletak di Kota Bekasi, namun status tanah dimiliki Pemprov DKI Jakarta.
Rizky menyampaikan TPST Bantargebang memiliki luas total mencapai 110,3 hektar. Dari luas total tersebut, 81,91 persen difungsikan aktif sebagai tempat pembuangan sampah yang terbagi menjadi lima zona lahan urug sanitar. Sementara sisanya yang sebesar 19,09 persen digunakan untuk sarana lainnya, seperti akses masuk, jalan ke kantor, dan instalasi pengolahan lindi.
Rizky menambahkan, TPST Bantargebang melakukan berbagai program, mulai dari sistem pengolahan sampah, sistem penimbangan dampah daring, komposting, pembangkit listrik tenaga sampah atau (Power House), instalasi pengolahan air sampah, pencucian kendaraan angkutan sampah, hingga penghijauan.
"Sampah yang diproduksi warga Jakarta yang dibawa ke TPST Bantargebang saat ini sekitar 7 ribu sampai 8 ribu ton sampah per hari," ujar Rizky.
Dalam pengelolaan sampah, kata Rizky, TPST Bantargebang membatasi ketinggian (Landfill) atau timbunan sampah, tidak lebih dari 40 meter guna mengantisipasi terjadinya longsor.
Pemprov DKI Jakarta memperkirakan kandungan sampah di Bantargebang sebanyak 39 juta ton dengan gunungan tertinggi mencapai 40 meter. Kapasitas TPST Bantargebang sendiri diperkirakan memuat sebesar 49 juta ton. Dengan sisa 10 juta ton, TPST Bantargebang diprediksi akan mengalami titik puncak pada 2021.
"Daya tampung Bantargebang akan maksimal pada 2021, tiga tahun lagi tidak mampu tampung lagi sampah warga Jakarta," lanjut Rizky.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, Pemprov DKI sudah memiliki rencana membangun fasilitas pengolahan sampah di dalam kota atau Intermediate Treatment Facility (ITF) di sejumlah wilayah di Jakarta, salah satunya di Sunter, Jakarta Utara.
Rizky menyampaikan fasilitas mengolah sampah dengan mengubahnya menjadi listrik ini ditargetkan rampung pada 2021. Nantinya, ITF di Sunter diprediksi akan mampu mengolah sampah 2.200 ton per hari.
"Dengan adanya fasilitas pengolahan sampah di dalam kota, diharapkan sampah yang dikirim ke Bantargebang tidak lagi 7 ribu sampai 8 ribu ton per hari," kata Rizky.
Rizky menambahkan, TPST Bantargebang juga memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang merupakan proyek percontohan dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Rizky menyampaikan sementara mengolah sampah seperti PLTSa yang mengubah sampah menjadi sumber listrik memang baru mampu mengolah 100 ton per hari.
"Ini jadi model bagi provinsi lain untuk membangun, diinisiasi BPPT. Listrik kita pakai sendiri karena bukan untuk konsumsi," ungkap Rizky.
Alokasi anggaran menjadi krusial dalam isu pengelolaan sampah suatu daerah. Namun sayangnya, Rizky menilai, pengelolaan sampah belum menjadi skala prioritas secara umum di Indonesia.
"Anggaran (pengelolaan sampah) menjadi bukan prioritas seperti dianaktirikan, yang diutamakan selalu infrastruktur dalam kota, padahal cantiknya pusat kota, belum tentu rapi di hilir," lanjut Rizky.
Rizky tidak menampik biaya tinggi yang dibutuhkan dalam pengelolaan sampah. Rizky mengatakan Pemprov DKI Jakarta menggelontorkan dana sebesar Rp 400 miliar per tahun kepada pihak swasta yang kala itu masih mengelola TPST Bantargebang. Namun setelah diambil alih Pemprov DKI Jakarta, alokasi anggaran mampu ditekan hingga sebesar Rp 300 miliar yang dikucurkan kepada UPT TPST Bantargebang.
Kata Rizky, alokasi anggaran selalu meningkat setiap tahunnya mengingat kebutuhan sarana pendukung seperti alat berat. Sementara Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, lanjut Rizky, mendapatkan alokasi anggaran sekira Rp 3 triliun dari APBD untuk mengelola lingkungan di Jakarta.
"Kami kerap mengadu ke Kementerian PU dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan soal kesulitan anggaran karena sering ditolak lantaran dinilai high cost," ucap Rizky.
Menurut Rizky, pengelolaan sampah akan terus menjadi masalah kalau sistemnya masih landfill dengan memindahkan sampah dari TPS ke TPA. Kondisi tersebut hanya akan membuat lebih banyak gunungan sampah yang berpotensi longsor dan kebakaran. (Tim*).