Audiensi FPPK Pulau Sumbawa dan DPC Pepehani Kabupaten Sumbawa dengan Komisi II DPRD NTB serta Wakil Rakyat dari Dapil Pulau Sumbawa, Bima dan Dompu terkait Pergub 25/2005 serta maraknya impor daging beku di NTB, Rabu 19 Juni 2019 di Kantor DPRD NTB.
Mataram, Garda Asakota.-
Provinsi
NTB dikenal luas sebagai Bumi Sejuta Sapi. Namun belakangan ini, sejumlah
peternak sapi yang diwakili oleh Front Pemuda Peduli Keadilan (FPPK) Pulau
Sumbawa dan DPC Persatuan Pedagang Peternak Hewan Nasional Indonesia (Pepehani)
Kabupaten Sumbawa, meradang akibat adanya regulasi berkaitan dengan pembatasan
pengeluaran sapi ke luar daerah yang membatasi syarat pengeluaran sapi ke luar
daerah minimal harus memiliki berat 300 kilogram.
Regulasi
pembatasan bobot sapi yang dikeluarkan ke luar daerah ini tertuang didalam
Lampiran Pergub Nomor 25 Tahun 2005 tentang Pedoman Pengeluaran Atau Pemasukan
Ternak dan Bahan Asal Ternak di Provinsi NTB yang dikeluarkan sejak Gubernur H
Lalu Serinata.
Tragisnya,
akibat dari regulasi ini para petani ternak sapi yang ada di Pulau Sumbawa yang
memiliki bobot sapi kurang dari 300 kilogram meradang akibat tidak bisa menjual
sapinya ke luar daerah. Menghadapi kenyataan ini, mereka beberapa hari terakhir
ini datang mengadukan nasib mereka ke para wakil rakyat yang ada di DPRD NTB
dan diterima secara resmi oleh Komisi II DPRD NTB yang diwakili oleh TGH
Nasihuddin Badri (Partai Demokrat), Raihan Anwar (Partai Nasdem), Busrah Hasan
(Golkar) serta Kepala Perindag Provinsi NTB, Hj Putu Selly Handayani, Kepala
Dinas Peternakan NTB, Kepala Biro Hukum, Bulog serta perwakilan dari Ombudsman.
“Mohon
revisi Pergub Nomor 25 Tahun 2005 ini pak. Kasihan kami para petani ternak di
Pulau Sumbawa tidak bisa mengirim ternak kami ke luar daerah. Kondisi iklim
geografis Pulau Sumbawa dalam memelihara sapi itu sangat berbeda dengan sistim
pemeliharaan sapi yang ada di Lombok. Sapi-sapi kami yang ada disana paling
maksimal bobotnya hanya mencapai 250 kg. Kalau Pergub itu tidak dirubah, maka
kami mau menyekolahkan anak kami dengan apa?,” ujar salah seorang wakil dari
petani ternak saat beraudience dengan Komisi II DPRD NTB di Kantor DPRD NTB,
Rabu 19 Juni 2019.
Terang
saja akibat kesulitan menjual sapi ke luar daerah, sementara kebijakan
memasukan daging impor dinilai marak dilakukan, para petani ternak ini menduga
ada dugaan untuk memperkaya pengusaha-pengusaha ternak kaya dan mematikan para
petani ternak miskin.
“Jadi
kami menduga, daging impor dimasukan ke NTB, sementara para petani yang ada di
Pulau Sumbawa dihambat perkembangannya agar daging impor ini lebih leluasa
merajai penjualan daging sapi di NTB,” tuding perwakilan petani ternak ini.
Menanggapi
permintaan para petani ternak ini, Kepala Biro Hukum Setda Provinsi NTB, H
Ruslan Abdul Gani, SH.,MH, menegaskan bahwa keberadaan Pergub 25/2005 telah
sesuai dibuat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada diatasnya
seperti UU 12/2011. Namun pihaknya juga mengakui bahwa seiring dengan
berjalannya waktu acuan UU terkait dengan soalan ini juga telah mengalami
perubahan, begitu pun dengan aspek konsiderannya.
“Keberadaan
Pergub 25/2005 itu sesungguhnya melindungi masyarakat kita. Hanya yang menjadi
permasalahan dari Pergub ini adalah menyangkut lampiran dari Pergub ini yakni
soal bobot sapi 300 kg yang menjadi batasan maksimal pengiriman sapi ke luar
daerah. Lantas apakah kemudian soalan bobot 300 kg ini ingin dilakukan
perubahan atau tidak sesuai dengan keinginan petani ternak, maka tentu tidak
bisa langsung diputuskan dalam forum ini. Tentunya harus ada kajian teknis dari
Dinas Teknis bersama dengan pakar di bidang terkait yang akan bisa menentukan
perubahan soal bobot pengiriman sapi ini guna menjaga hadirnya regulasi yang
dapat melindungi kepentingan semua pihak. Dan proses pembuatan Pergub itu tidak
akan memakan waktu yang lama tapi tentu dengan catatan harus ada kajian
teknisnya,” jelasnya.
Pihaknya
juga menegaskan apabila permintaan petani ternak agar pihak DPRD mengeluarkan
rekomendasi pengeluaran ternak sapi, maka tentu hal itu sudah masuk kategori
sebagai pelanggaran karena suka atau tidak suka Pergub 25/2005 sebagai payung
hukum dalam pengiriman ternak ini masih tetap berlaku karena keberadaannya
belum dicabut atau dirubah.
“Saya
janji bahwa asalkan ada rekomendasi, ndak sampai berapa hari, dua atau tiga
hari saya janji selesai. Tapi dengan
catatan, ada rekomendasinya. Kalau tidak ada rekomendasi melalui kajian teknis
terkait hal ini, maka kami tentu tidak bisa merubahnya,” ujarnya.
Selain
meminta revisi Pergub 25/2005, FPPK dan Pepehani Pulau Sumbawa ini juga meminta
pemerintah provinsi NTB agar dapat mencabut kembali ijin atau rekomendasi memasukan
daging impor atau daging beku di NTB yang diduga dikuasai oleh
perusahaan-perusahaan tertentu di NTB.
“Karena
rekomendasi yang dikeluarkan terhadap perusahaan-perusahaan itu melanggar
Pergub 25/2005, maka kami minta agar rekomendasi atau ijin itu dapat dicabut
kembali,” tegas Liliek Djari perwakilan petani ternak.
Direktur
CV 88, Darmito, yang turut dihadirkan dalam forum audience tersebut mengaku
semua perijinan yang berkaitan dengan pengusahaan daging beku di Kota Mataram
diperoleh dari Dinas Peternakan Kota Mataram.
“Termasuk
mendapatkan rekomendasi mendatangkan daging beku dari luar daerah diperoleh dari
Dinas Peternakan Kota Mataram. Usaha mendatangkan daging beku ke Lombok karena
adanya tuntutan kebutuhan usaha pariwisata yang cukup tinggi. Kami punya
langganan sekitar 600 hotel dan restoran di Lombok,” jelas Darmito.
Pihaknya
mengaku kesulitan menawarkan daging local ke mitra usahanya dikarenakan
sulitnya mendapatkan sertifikat halal dan uji laboratoriumnya serta tempat
penyimpanannya.
Senada
dengan CV 88, pemilik CV Agroguna, Muhammad Al-Ghazali Hidayat, juga mengaku
mendatangkan daging beku untuk memenuhi kebutuhan daging beku pada mitra
usahanya seperti hotel dan restoran serta di pasar-pasar premium yang ada di
Lombok.
“Sebelum
memulai usaha, kami melakukan konsultasi dengan Dinas Pertanian Bidang
Peternakan Kota Mataram untuk mendapatkan ijin rekomendasi masuk sebagai syarat
pada balai karantina. Kami mendapatkan daging beku tidak langsung dari Bulog
Pusat, tapi dari pihak kedua yakni supplier yang ada di Jakarta,” cetusnya. (GA. 211*)