Suasana sidang putusan praperadilan yang diajukan Wakil Walikota (Wawali) Bima di Pengadilan Negeri Bima, Selasa (15/12). |
Kota Bima, Garda Asakota.-
Sidang putusan praperadilan yang diajukan Wakil Walikota (Wawali) Bima di Pengadilan Negeri Bima, Selasa (15/12) terhadap penetapan tersangka terhadap dugaan penyalahgunaan izin lingkungan hidup di Bonto, selesai melalui pembacaan putusan oleh Majelis Hakim.
Sidang yang dipimpin Majelis Hakim (MH) tunggal, Horas El Cairo Purba MH dengan panitera pengganti Arif Fuad tersebut dihadiri masing-masing Tim Penasehat Hukum (PH) dari Wakil Walikota Bima selaku pemohon dan dihadiri pula masing-masing PH termohon yakni Polres Bima Kota.
Sebagaimana agenda lanjutan Praperadilan pembacaan putusan, Horas El Cairo mengawali pembacaan poin-poin penting yang disadur selama proses dan tahapan praperadilan sebagai pertimbangan sebelum berujung pada pembacaan putusan.
Sekitar 55 menit lamanya hakim Horas El Cairo membacakan berbagai narasi pertimbangan atas proses Praperadilan tersebut, kemudian membacakan dan atau menyampaikan isi dari putusan.
Hakim kemudian memutuskan menolak sepenuhnya permohonan praperadilan yang diajukan Wakil Walikota Bima Feri Sofiyan yang dikuasakan pada Tim PH-nya sebagai pemohon.
Sebelumnya MH menyampaikan, sidang praperadilan tidak diberikan kesempatan untuk melakukan upaya hukum lainnya dan atau putusan MH pada praperadilan sifatnya mengikat.
Menyikapi putusan Hakim yang menolak gugatan Pemohon, Tim Kuasa Hukum melalui salah satu Timnya, Al-Imran, SH, pada prinsipnya menyatakan menghormati putusan Majelis Hakim (MH) tunggal Horas El Cairo Purba.
"Kami menghormati putusan majelis hakim yang telah memutuskan perkara Praperadilan atas permohonan klien kami Feri Sofiyan, "ucap Al Imran, usai sidang berlangsung.
Hanya saja, Tim PH pada narasi putusan sidang sebagaimana pertimbangan yang dibacakan, TIM PH merasa majelis mengabaikan fakta-fakta persidangan, eksepsi termohon dikesampingkan atau ditolak oleh MH.
Bahwa dalam fakta persidangan, kata Tim Kuasa Hukum lainnya, Bambang Purwanto, bahwa kliennya tidak pernah dilakukan pemeriksaan ulang terhadap bukti permulaan yakni, dua alat bukti yang cukup, masih menggunakan bukti permulaan pada pasal 109 UU 32 tahun 2009 atau UU lama. Sedangkan pasal yang disangkakan pada Pemohon adalah pasal terbaru yakni pasal 109 UU nomor 11 tahun 2020.
Sedangkan 2 pasal tersebut, katanya, memiliki dua substansi bukti permulaan yang mendasar. Karena pertama bicara mengenai izin dan kedua bicara mengenai dampak lingkungan seperti dumping atau limbah B3.
Tidak itu saja, Tim PH Feri Sofiyan, Rusdiansyah atau biasa disapa Jebby juga menyayangkan putusan MH, tidak pula mengacu pada pertimbangan ketidakhadiran saksi-saksi fakta maupun saksi ahli yang memberikan keterangan dan pendapat dari terlapor.
"Mestinya majelis hakim menjadikan pertimbangan-pertimbangan dari berbagai fakta persidangan, utamanya yang diajukan kami sebagai pemohon, dalam memutuskan perkara ini" pungkasnya mewakili Tim PH Feri Sofiyan lainnya.
Jeby juga mengungkapkan adanya sejumlah fakta persidangan yang diabaikan oleh hakim. Pertama, esepsi termohon oleh hakim dikesampingkan atau ditolak. Kemudian, dalam persidangan tidak pernah dilakukan pemeriksaan ulang terhadap obyek perkara.
"Fakta persidangan juga masih menggunakan pasal lama, tidak mengacu pada pasal baru UU Cipta Kerja, jadi dua alat bukti yang di gunakan termohon masih mengunakan pasal 109 Lama harusnya tidak bisa di gunakan untuk pasal 109 UU Cipta Kerja kalau mau harus di lakukan pemerikasaan ulang tapi faktanya tidak pernah di lakukan" ungkapnya.
Fakta persidangan lain ungkap Jeby, termohon mengakui tidak pernah melakukan pemeriksaan ulang dan mengacu pada UU Cipta Kerja. Lalu, 2 saksi ahli yang dihadirkan pemohon, tidak dijadikan pertimbangan oleh hakim, malah yang dipertimbangkan saksi ahli dari termohon yang tidak pernah dihadirkan pada persidangan.
Kemudian, mengabaikan fakta bahwa tidak pernah dilakukannya penyelidikan terhadap perkara yang disangkakan pada Feri Sofiyan, meski termohon menunjukan bukti surat tanda dimulainya penyelidikan. Namun bukti surat itu muncul sebelum tanggal pelaporan yaitu tanggal 24 September.
"Jadi kita anggap proses penyelidikan cacat secara yuridis. Mestinya hakim mengabaikan bukti itu, karena duluan penyelidikan baru pelaporan," bebernya.
Jeby menambahkan, keterangan saksi ahli juga tidak bisa seseorang ditetapkan tersangka sebelum ada barang bukti. Namun yang dilakukan oleh penyidik tersebut dilakukan dengan proses terbalik.
Sebelumnya, Tim Kuasa Hukum, Feri Sofiyan, SH, sebelumnya merasa optimis pihaknya bersama rekan lain, akan memenangkan gugatan praperadilan kliennya.
Beberapa minggu terakhir, sambung Lily Marfuatun, SH, MH, tim Kuasa Hukum mendampingi Wawali Bima atas dugaan tindak pidana Pasal 109 UU 32 Tahun 2009 tentang PPLH yang dirubah menjadi Pasal 109 UU 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja merujuk Pasal 1 ayat 2 KUHP.
Dimulai dengan membuat pengaduan ke Kapolri dan 7 hari terakhir menjalani Sidang Praperadilan, dimulai dari Permohonan, Replik, Bukti dan Saksi, dan Simpulan.
Esensinya, kata Lily Marfuatun, SH, MH, dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup untuk menilai kerusakan lingkungan harus ada scientific Evidence yakni bukti Ilmiah oleh ahli untuk mengatakan kerusakan lingkungan.
Persoalan perizinan adalah ranah hukum administrasi. Selain itu dalam Perkara Hukum Lingkungan dikenal asas Ultimum Remedium yaitu salah satu asas yang terdapat di dalam hukum pidana Indonesia yang mengatakan bahwa hukum pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir dalam hal penegakan hukum. (GA. 003*)