Anggota DPRD NTB dari Fraksi BPNR, Made Slamet. |
Mataram, Garda Asakota.-
Badan Pusat Statistik (BPS)
mencatat bahwa jumlah penduduk miskin di NTB pada September 2020 adalah sebesar
746,04 ribu orang atau sekitar 14,23 %. Angka ini sedikit meningkat jika
dibandingkan data penduduk miskin NTB pada Maret 2020 yang berkisar pada angka
713,89 ribu orang atau sekitar 13,97 %. Terlihat adanya kenaikan persentase
penduduk miskin selama periode Maret 2020 hingga September 2020 yaitu sebesar
0,26 %.
Anggota DPRD NTB dari Fraksi
Bintang Perjuangan Nurani Rakyat (F-BPNR), Made Slamet, berpendapat bahwa
meningkatnya angka kemiskinan di NTB selain diakibatkan karena adanya pandemi
Covid-19, juga lebih disebabkan karena dampak dari kebijakan pemerintah yang
tidak memperkuat sektor-sektor UMKM.
“Untuk sektor UMKM ini,
pemerintah kurang sekali memberikan perhatiannya. Semestinya dalam kondisi
seperti ini, yang paling ajeg dalam menghadapai kondisi seperti ini adalah sektor
UMKM jika dibandingkan dengan sektor industri besar yang rentan menghadapi
kondisi pandemi. Namun karena kurangnya perhatian pemerintah, sektor ini juga
ikut tergerus,” kata pria yang juga Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Mataram ini
kepada sejumlah wartawan, Rabu 17 Februari 2021.
Berdasarkan pengalaman
krisis yang dialami daerah ini, sektor yang paling bertahan menghadapi krisis
itu adalah sektor UMKM, namun menurutnya konsistensi perhatian pemerintah
terhadap sektor UMKM ini sangat lemah.
“Program industrialisasi
yang diharapkan dapat menekan laju kemiskinan juga gagal diterapkan. Salah satu
penyebabnya dikarenakan aspek perencanaannya yang tidak matang, padahal ini
bisa jadi icon NTB. Contoh misalnya,
motor listrik, kualitas barangnya bagaimana?. Bentuk dan model barangnya
seperti apa?. Bisa laku ataukah tidak dipasaran?. Sementara harganya sangat
mahal bisa mencapai Rp40 juta per unitnya,” kritik Made Slamet.
Begitu pun dengan
industrialisasi dalam aspek penyediaan pakan ternak, menurut Made Slamet, juga
mengalami nasib yang sama dengan motor listrik. “Mana bentuknya?. Sama seperti
program Zero Waste, juga mengalami nasib yang sama. Kenapa mengalami nasib yang
sama?. Karena kita tidak pernah serius untuk meindaklanjuti hal itu. Programnya
bagus, namun dikarenakan program ini tidak disambut dengan baik oleh Pemda
Kabupaten dan Kota maka program ini akhirnya gagal dilaksanakan dengan baik,”
sorotnya lagi.
Kemampuan SDM pemerintah
sebagai aparatur pelaksana program menurutnya gagal melakukan koordinasi
program ini ketingkat Pemda Kabupaten dan Kota. “SKPD nya tidak memiliki
kemampuan melakukan koordinasi ditingkat Pemda Kabupaten dan Kota. Maka langkah
reposisi itu semestinya perlu dilakukan. Sebab Pemerintah Provinsi itu hanya
memiliki program, sementara yang memiliki wilayah itu adalah Pemda Kabupaten
dan Kota. Ketika Pemprov memiliki program yang bagus tapi Pemda Kabupaten dan
Kota tidak menyambut program itu dengan baik, maka program itu sudah pasti
tidak akan berhasil dijalankan,” kata Made Slamet.
Koordinasi dengan Pemda
Kabupaten dan Kota itu, kata Made Slamet, tidak sebatas hanya pada tataran
wacana semata. Akan tetapi juga harus diikuti dengan bantuan pendanaannya. “Cukup
disayangkan memang. Padahal program pak gubernur ini cukup bagus dan saya
apresiasi akan hal itu. Namun dalam tahap pelaksanaannya tidak bisa dijalankan.
Mungkin saja penyebabnya juga karena di SKPD itu ada ‘Matahari Kembar’,” pungkasnya.
(GA. Im*).