Anggota Komisi II DPRD NTB, Akhdiansyah, (Kanan), Kepala Dinas Ketahanan Pangan NTB, Abdul Azis. (Kiri/Ist*).
Mataram, Garda Asakota.-
Komisi II DPRD NTB mempertanyakan strategi Pemerintah Provinsi
(Pemprov) Nusa Tenggara Barat (NTB) dalam mengantisipasi ancaman krisis pangan
di tahun 2023.
Pasalnya, dunia saat ini makin dihantui krisis pangan akibat
perang yang terjadi antara Rusia dan Ukraina.
Lebih dari itu dunia juga khawatir krisis pangan dapat
memicu gerak inflasi, termasuk bagi Indonesia lantaran distribusi komoditas
terhambat.
Krisis pangan diperkirakan akan menghampiri dunia dalam 8-12
bulan ke depan. Selain gangguan rantai pasok, krisis ini diperparah dengan
persediaan pupuk dunia.
Komisi II DPRD NTB mengingatkan pemprov NTB mesti segera
menyusun road map program ketahanan pangan. Pihaknya menilai, memperkuat
ketahanan pangan harus menjadi prioritas utama.
Keresahan itu disampaikan anggota Komisi II DPRD Provinsi
NTB yang salah satunya membidangi urusan pertanian, Akhdiansyah.
Menurutnya Pemprov NTB harus menjadikan isu ancaman krisis
pangan ini sebagai perhatian serius.
"Sampai sejauh ini saya tidak melihat ada
langkah-langkah yang dilakukan pemerintah daerah dalam mengantisipasi potensi
kerawanan pangan ini. Kerawanan Pangan ini ancaman serius, kalau tidak kita
antisipasi dengan baik, kita bisa kolaps," ujar Akhdiansyah pada Jumat,
(4/11/2022), lalu.
Lemahnya skema ketahanan pangan diungkap politisi PKB itu,
pada saat Komisi II melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan OPD mitra
mereka dalam beberapa hari ini terkait dengan pembahasan program kegiatan dan
anggaran untuk APBD tahun 2023.
Akhdiansyah melihat tidak ada satupun program di OPD yang
mengarah pada penguatan ketahanan pangan secara serius.
"Pemaparan yang disampaikan OPD masih normatif-normatif
saja. Mereka hanya bicara normatif pada program kegiatan reguler, tapi tidak
ada satupun inovasi langkah dan terobosan yang direncanakan untuk
mengantisipasi kerawanan ketahanan pangan kita," ungkapnya.
Diakuinya memang sampai sejauh ini, NTB masih dalam level
aman untuk sektor ketahanan pangan.
Akan tetapi dia berharap NTB tidak nyaman dengan kondisi
saat ini, karena isu ancaman krisis pangan tersebut merupakan ancaman nyata
dunia yang juga pastinya dampaknya akan ikut dirasakan sampai NTB.
"Kita harapkan ancaman kerawanan pangan ini tidak
dianggap main-main, tapi harus menjadi pembahasan serius. Seandainya kerawanan
pangan ini sampai terjadi ke daerah kita, lalu planning kita apa, dari
penjelasan OPD kita belum ada langkah antisipasi sama sekali," ujarnya.
Ditegaskannya bahwa isu kerawanan pangan ini merupakan
ancaman serius dan sangat berpotensi dihadapi NTB.
Lebih-lebih dengan kebijakan pengurangan alokasi pupuk
subsidi pada daerah-daerah lumbung pangan, turut menjadi penyebab penurunan
produksi hasil pertanian.
"Program-program lain mesti dieliminasi dulu. Atau
minimal dikurangi porsinya. Misal industrialisasi yang dulu volumenya 10,
dikurangi jadi 5 lah," ungkapnya.
Menanggapi kekhawatiran Komisi II ini, Pemerintah Provinsi
(Pemprov) NTB melalui Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Abdul Azis, menjelaskan, Provinsi
NTB merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang merupakan daerah sentra
pangan.
“Kita patut bersyukur
karena NTB masuk daerah sentra pangan dan bisa menjadi daerah yang mengirim atau
menyuplai kedaerah lain seperti ke NTT 21.000 Ton, Sumatera Selatan 3.000 Ton,
Sumatera Utara 3.000 Ton, DKI Jakarta, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan
Bali,” jelasnya.
Menurutnya, khusus gabah atau beras dan jagung, berdasar
prognosa terhadap ketersediaan beras, NTB masih surplus dan cukup untuk
kebutuhan 10 s/d 11 bulan ke depan.
“Untuk itu tidak ada masalah dengan kebutuhan bahan pokok
terutama beras di NTB,” ujarnya.
Namun demikian, lanjutnya, Pemda Provinsi tetap berstrategi
untuk menjaga ketahanan pangan selain
peningkatan produksi melalui yang terkait juga melalui Penganekaragaman Pangan.
“Karena bukan hanya nasi satu satunya sumber pangan lokal
tetapi dapat dilakukan penganekaragaman melalui program B2SA (Beragam, Bergizi
Seimbang dan Aman ) yaitu Pekarangan B2SA dan Dapur B2SA. Namun demikian tentu
disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah saat ini,” pungkasnya. (**)