Anggota DPRD NTB, H Mori Hanafi, dan H Ruslan Turmuzi. |
Mataram, Garda Asakota.-
Dalam Rapat Paripurna yang digelar oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) tentang Penandatanganan Nota Kesepakatan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA PPAS) Tahun Anggaran (TA) 2023, Rabu 16 November 2022.
Anggota DPRD NTB, H
Mori Hanafi, mengajukan interupsi kepada Pimpinan Rapat Paripurna yang saat itu
dipimpin oleh Ketua DPRD NTB, Hj Baiq Isvie Rupaeda. Hanya saja, Pimpinan Rapat
Paripurna saat itu tidak memberikan kesempatan Mori Hanafi untuk mengungkapkan
apa materi yang ingin diinterupsinya saat itu.
Usai gelaran Rapat Paripurna, Mori Hanafi, langsung
menggelar konferensi pers dengan sejumlah wartawan terkait dengan apa yang
sebenarnya ingin disampaikan saat Rapat Paripurna tersebut.
“Sebenarnya interupsi saya itu ingin menyampaikan, bahwa
rencana Pendapatan yang disepakati dalam KUA PPAS yakni sebesar Rp5,964 triliun,
itu sengaja dinaikan sebesar Rp670 Milyar sehingga kenaikannya menjadi tidak
realistis,” ungkap sosok yang kini menjabat juga sebagai Ketua Umum KONI NTB
ini.
Menurutnya, walaupun kenaikan pendapatan sebesar Rp670
Milyar itu tidak realistis, akan tetapi pihaknya mengaku masih bisa menerima
kenaikan tersebut.
“Kenapa?, karena dalam catatan Tim Anggaran Pemerintah
Daerah (TAPD) dinyatakan kenaikan pendapatan tersebut untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
belanja yang strategis. Namun dalam praktiknya, Badan Anggaran (Banggar)
sedikit sekali membahas rincian-rincian belanja yang dimaksud,” terangnya.
Maksud dirinya menginterupsi jalannya Rapat Paripurna adalah
agar Banggar kedepannya, pada rapat paripurna penjabaran APBD 2023, Banggar dapat memaparkan rincian belanja strategis yang menjadi catatan TAPD itu.
“Kenapa?, karena didalam KUA PPAS ini yang dijabarkan hanya penerimaannya saja. Misalnya penerimaan dari sektor pajak daerah, kemudian penerimaan dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) lain-lain yang sah, penerimaan dari retribusi, kemudian penerimaan dari Dana Alokasi Umum (DAU). Itu semua ada rinciannya.
Dan walaupun tidak rasional, tapi kita bisa menerima dengan alasan mengakomodir belanja-belanja strategis. Sementara didalam sisi belanja yang tidak dibahas oleh teman-teman itu, ada banyak sisi belanja yang sangat strategis, strategis dan penting ini tidak diakomodir.
Sementara di sisi lain ada belanja yang kurang
penting, kurang perlu dan tidak pas tapi dianggarkan dalam sektor belanja.
Inilah sebenarnya yang ingin saya sampaikan pada saat menginterupsi jalannya
rapat paripurna tersebut hanya saja tidak diberikan kesempatan. Meskipun dari
sisi aturannya tidak ada masalah. Tapi hal ini mengindikasikan adanya sesuatu
yang janggal,” beber Mori Hanafi.
Pihaknya mengaku, ketika rincian belanja itu tidak
diungkapkan pada rapat paripurna penjabaran Rancangan APBD TA 2023 berikutnya,
maka pihaknya berjanji akan melakukan perincian tersebut secara terbuka.
“Kalau memang rincian angka ini tidak dikeluarkan atau masih
sembunyi-sembunyi, yang nilainya ini cukup besar, maka kita akan buka secara
rinci. Kenapa?, karena di belanja ini ada banyak misteri dikarenakan banyak
belanja yang belum didetailkan atau dijelaskan oleh teman-teman TAPD dan belum
didengarkan oleh teman-teman Banggar,” kata anggota Dewan dari Daerah Pemilihan
(Dapil) Bima, Dompu dan Kota Bima ini.
Ketika ada permjntaan Pimpinan Rapat Paripurna agar
menyampaikan ke Ketua Fraksi, menurutnya permintaan itu kurang pas karena KUA
PPAS itu sudah final.
“Ketika KUA PPAS itu disepakati dan ditandatangani maka
RAPBD itu akan mengikuti apa yang ada didalam KUA PPAS. Sebenarnya didalam
rincian RAPBD itu nanti mengikuti rangkaian apa yang sudah ada didalam KUA
PPAS,” ujarnya.
Pihaknya mengatakan APBD TA 2020 sudah tidak sehat, begitu
pun APBD TA 2021 terjadi hal yang sama, begitu pun pada APBD TA 2022.
“Koq didalam postur APBD 2023, bukan semakin membaik malah
semakin turun. Menurunnya kenapa?, yakni dengan menaikan pendapatan dalam
rangka mengakomodir belanja, trus belanjanya lagi tidak ada rinciannya. Banyak
misteri disini,” ungkapnya.
Mori juga mempertanyakan sikap Pimpinan Rapat Paripurna yang
tidak memberikan ruang atau kesempatan bagi anggota Dewan untuk berbicara pada
saat rapat paripurna.
“Mana aturan yang melarang anggota Dewan berbicara saat
rapat paripurna?. Melarang anggota Dewan berbicara saat Rapat Paripurna itu
sudah jelas melanggar etika. Dan jelas itu adalah contempt of parlement. Kita
semua ini punya tanggungjawab moral untuk penyehatan APBD kita sehingga tidak
boleh dibatasi hak-haknya dalam menyampaikan pendapatnya,” tegas Mori.
Menurutnya, melihat kondisi postur APBD 2023, maka pihaknya
meyakini beban utang daerah itu tidak akan berkurang.
“Di TA 2023 ini sudah pasti akan terjadi lagi utang sebesar
Rp600 lebih milyar lagi yang tentu akan berpindah lagi pada APBD TA 2024. Nah
inikan konyol. Maksudnya saya jikalau pendapatan ini dimaksudkan untuk belanja
yang sangat strategis dan penting, maka hal itu akan sangat bagus. Tapi inikan
tidak seperti itu,” sesalnya.
Sementara itu, salah seorang anggota Banggar DPRD NTB, H
Ruslan Turmuzi, berpendapat rincian belanja semestinya harus merujuk pada
pedoman yang ada yakni PPAS.
“Salah satunya adalah menuntaskan target RPjM dan fokus
untuk penyelesaian pembayaran utang. Prioritas belanja ini disesuaikan dengan
pendapatan,” kata politisi senior PDI Perjuangan ini.
Pihaknya menilai, pendapatan yang disusun dalam KUA PPAS sebesar
Rp5,7 triliun lebih akan tetapi karena ada kebutuhan belanja termasuk kebutuhan
Dewan dan lainnya, maka nilai tersebut tidak bisa mencovernya.
“Maka naiklah pendapatan ini dari Rp5,7 triliun menjadi Rp5,9 triliun lebih. Pertanyaannya sekarang apakah postur APBD Rp5,9 triliun tersebut tercover gak untuk pembayaran utang?.
Karena apa?, karena ada beberapa
pendapatan yang diestimasikan itu terkontraksi seperti pendapatan dari Gili
Trawangan yang awalnya ditargetkan sebesar Rp365 Milyar sekarang menjadi Rp89
milyar, menurun tapi dinaikan lagi diangka Rp245 Milyar itu. Namun realisasnya
hanya sekitar Rp366 juta, artinya ada potensi yang belum terbayar di tahun ini,”
beber Ruslan.
Kedua ada juga potensi yang belum bisa terbayar yakni pada program
percepatan jalan pada tahun ini. Sebenarnya ada kesepakatan pembayaran
pekerjaan yang telah addendum sebesar 30%, selisih 70% pembayarannya juga masuk
kedalam pembayaran TA 2023.
“Jadi di 2023 itu pembayaran sebesar 70% itu, belum lagi
pembayaran pekerjaan percepatan jalan, ditambah lagi ada potensi pendapatan
yang tidak tercapai. Nah inilah yang sebenarnya harus disusun dalam pembahasan
saat ini,” ungkapnya.
Ketika ada keinginan untuk menormalkan kondisi fiskal daerah.
Menurutnya pembahasan anggaran harus betul-betul disesuaikan dengan KUA PPAS.
“Nah persoalan rincian belanja itu sebenarnya belum dibahas didalam Banggar. Hanya yang dirincikan itu adalah kenaikan pendapatan sebesar Rp245 Milyar itu.
Adapun rincian belanja itu silahkan dibahas dimasing-masing
Komisi. Oleh karenanya saya mendukung apa yang disampaikan pak Mori Hanafi sebab
hal yang dipertanyakan itu adalah hal yang biasa dan hampir semua anggota
Banggar mempertanyakan hal itu,” pungkasnya. (GA. Im*)