Oleh Rafika,S.Pd
Karena sedang naik daun maka pantaslah kita menggunakan istilah manipulasi untuk nilai siswa pada dunia pendidikan kita. Karena korupsi dan manipulasi sekarang sedang menggigit telinga, dan memori kita yang sedang menikmati pembelajaran politik yang kian memanas.
Rekayasa nilai tidak akan pernah terjadi di SMA Negeri I Bolo,
begitu wanti-wanti yang dipaparkan oleh Umar H.M. Saleh, S.Pd (kasek SMA Negeri I Bolo ketika Upacara Bendera, 28 Pebruari 2011). Mengapa harus ada rekayasa nilai ? Berapa kali kita melakukan rekayasa nilai ? Rekayasa yang dilaksanakan terprogramkah ? Atau rekayasa barengkah ? Atau tidak pernah melakukan rekayasa nilai sama sekali ? Semuanya merupakan perspektivisme yang membutuhkan penalaran ilmiah.
Saat musim ujian tiba, orang tua dan guru harus bekerja ekstra membimbing siswa untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian Nasional maupun Ujian Sekolah . karena zaman sekarang tidak ada istilah lulus 100 % di setiap sekolah.Malah guru dan siswa harus siap-siap “sport jantung “ ketika melihat persentase tingkat kelulusan siswa.
Ketika kita lirik kembali masa yang terlewatkan, atau membuka kembali rapor pendidikan kita yang terlewatkan. Nilai siswa atau tingkat kelulusan siswa sangat bagus, yaitu rata-rata 100 % lulus di tiap-tiap sekolah. Jarang sekali kita temukan siswa yang tidak lulus. Angka kelulusan tiap sekolah pasti bagus, baik di sekolah swasta maupun sekolah negeri. Ini tentu merupakan berita yang menggembirakan plus membanggakan bagi orang tua ,guru, dan masyarakat. Dan tentu saja prestasi yang luar biasa bagi pendidikan kita umumnya. Hal ini merupakan cerminan bahwa tingkat pendidikan kita mengalami kemajuan, alias tidak jalan di tempat atau regresi.
Tetapi pernahkah kita merekayasa nilai atau menyulap nilai siswa menjadi nilai lulus ? Pernahkah kita Mendongkrak nilai siswa ketika Ujian Nasional atau Ujian Sekolah?
Pernahkah kita memanipulasi nilai ujian siswa ? Pernahkah kita memberikan nilai tanpa melakukan evaluasi pada KBM. Jangan sampai kita memberikan nilai pada siswa yang telah almarhum, pindah sekolah, atau istilahnya nilai siluman. Pernah atau tidaknya , yang pasti kita telah melakukan kesalahan besar ketika kita terlibat dan menyepelekan masalah tersebut. Dan pendidikan akan tercoreng oleh aib yang sangat memalukan. Padahal Pendidikan adalah awal dari segala perjalanan hidup atau hajat hidup kita ke depannya.Karena lewat pendidikanlah kita menjadi manusia seutuhnya, sentilannya B.J. Habibie.
Ketika dari awalnya kita telah melakukan manipulasi, hasil yang kita nikmati dari praktek tersebut adalah hasil dari manipulasi juga. Karena praktek manipulasi, imbasnya manipulasi juga. Manipulasi nilai tersebut akan menjadi lingkaran setan yang tak pernah berhenti, tetapi tetap kontinyu selaras dengan perputaran waktu yang kita lakoni setiap saat.
Akankah tindakan manipulasi itu berkembang dan berbunga seperti kredit di perbankkan ? Kalau mengikuti alur atau peraturan perbankkan , jelas manipulasi itu akan berkembang dengan pesatnya. Seperti ketika kita memanipulasi nilai Ujian siswa sebesar seratus persen , dengan kalkulasi bunga enam sampai limabelas persen dalam jangka waktu seumur hidup . Terus di hitung lagi bunga per umur anak, cucu, cicit dan buyut kita. Tentu kalkulasinya tak terhingga suku bunganya. Andaikan dihitung bunga per usia tujuh turunan. Maka akan bunga berbungalah rekayasa tersebut, sehingga menghasilkan “ kembang plastik” yang tak ber-value dan beraroma. Mudah-mudahan kita tidak pernah dan tidak akan pernah merekayasa nilai siswa !!!
Kapan berakhirnya ? ya… sampai semuanya sudah tak berbekas di alam ini. Tragis dan mencemaskan ? Tetapi sepertinya sudah menjadi sebuah hal yang lumrah terjadi di sekitar kita. Malah jangan heran ketika person-person seakan berlomba untuk menjadi yang terhebat tingkatan manipulasinya . Dan yang keluar sebagai pemenangnya mendapat “Reword” , premi , dan terdaftar ke Guiness Book of record. Dan akan muncullah ke-Akuan yang egosentris karena memang bermukim dan menjadi penghuni yang abadi di istanah sentris.
Dan dagelnya malah merupakan kebanggaan tersendiri bila tidak berhasil didulang oleh oknum-oknum yang berkepentingan. Ya… Ibarat anjing melolong kaum manipulator tetap berlalu dengan atribut “Nama Besar”
Padahal kalau kita mau realistis dan toleran semua aktivitas yang melenceng adalah ‘bom waktu’ yang kita rakit sendiri, untuk menghancurkan kita sendiri, dan untuk menghancurkan semua keserangkahan yang kita kumpulkan.Semakin banyak keserakahan, semakin bara-lah api pertikaian, William James (Psikolog)
Tidak ada bukti ? bukti itu selalu ada dan pembuktiannya akan muncul dengan sendirinya, karena bukan lagi sebuah rahasia besar, tetapi sudah menjadi retorika umum yang diforumkan. Tetapi mengapa belum jua tersibak ? ya… karena masih adanya sisa-sisa keapatisan dan kedigdayaan yang menganut paham kesukuan.Karena tingginya image di mata publik untuk diakui keakuannya, maka semuanya seperti sesuatu yang wajar untuk dilegalkan. Dan semua unsur-unsur yang berkompeten harus loyal, nunut dan super manut.
Ya… kalau berani berhaluan kanan jelas akan menerima rajam dari sang pemberi titah.
Mengapa harus ada manipulasi alias penyelewengan nilai? Ketidakberhasilan pendidikan yang dijalankan akan adalah faktor utama yang mendorong pelaku pendidikan untuk menyelewengkan nilai. Angka tiga diedit menjadi nilai tujuh atau delapan. Kemampuan dan kualitas rendah tetapi mendapatkan kuantitas yang tidak relevan dengan keadaan. Miris rasanya ketika tercetak angka-angka bagus , sedangkan kemampuan di bawah standar rata-rata . Alias super dalam kuantitas tetapi wereng dalam kualitas.
Ketika rekayasa terus berkontinyu dan terorganisir alamat hasil pendidikan kita tidak akan pernah mencapai klimaks. Ya … kita akan mendrop out put yang berinisial rekayasa dan tidak memiliki daya saing prima.
Akan sulit terdeteksi ketika rekayasa itu dilaksanakan dengan group atau tersistem. Karena adanya kolaborasi yang tersistem. Maka bagian yang lain menyatakan iya, tetapi bagian yang lain mengaku tidak . Ibarat berpijak di ujung samurai, semuanya menjadi dilematik tidak punya ujung pangkalnya. Dan pada buntutnya akan saling memvonis, menghujat, dan mencakar satu sama lain. Sehingga sangat sulit dikenali mana lawan dan mana kawan.Tetapi mudah-mudahan kita semua bukanlah kelompok di atas, dan mari kita bekerja dengan maksimal, tanggung jawab dan amanah, amin !
Pengajar di SMA Negeri I Bolo
Karena sedang naik daun maka pantaslah kita menggunakan istilah manipulasi untuk nilai siswa pada dunia pendidikan kita. Karena korupsi dan manipulasi sekarang sedang menggigit telinga, dan memori kita yang sedang menikmati pembelajaran politik yang kian memanas.
Rekayasa nilai tidak akan pernah terjadi di SMA Negeri I Bolo,
begitu wanti-wanti yang dipaparkan oleh Umar H.M. Saleh, S.Pd (kasek SMA Negeri I Bolo ketika Upacara Bendera, 28 Pebruari 2011). Mengapa harus ada rekayasa nilai ? Berapa kali kita melakukan rekayasa nilai ? Rekayasa yang dilaksanakan terprogramkah ? Atau rekayasa barengkah ? Atau tidak pernah melakukan rekayasa nilai sama sekali ? Semuanya merupakan perspektivisme yang membutuhkan penalaran ilmiah.
Saat musim ujian tiba, orang tua dan guru harus bekerja ekstra membimbing siswa untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian Nasional maupun Ujian Sekolah . karena zaman sekarang tidak ada istilah lulus 100 % di setiap sekolah.Malah guru dan siswa harus siap-siap “sport jantung “ ketika melihat persentase tingkat kelulusan siswa.
Ketika kita lirik kembali masa yang terlewatkan, atau membuka kembali rapor pendidikan kita yang terlewatkan. Nilai siswa atau tingkat kelulusan siswa sangat bagus, yaitu rata-rata 100 % lulus di tiap-tiap sekolah. Jarang sekali kita temukan siswa yang tidak lulus. Angka kelulusan tiap sekolah pasti bagus, baik di sekolah swasta maupun sekolah negeri. Ini tentu merupakan berita yang menggembirakan plus membanggakan bagi orang tua ,guru, dan masyarakat. Dan tentu saja prestasi yang luar biasa bagi pendidikan kita umumnya. Hal ini merupakan cerminan bahwa tingkat pendidikan kita mengalami kemajuan, alias tidak jalan di tempat atau regresi.
Tetapi pernahkah kita merekayasa nilai atau menyulap nilai siswa menjadi nilai lulus ? Pernahkah kita Mendongkrak nilai siswa ketika Ujian Nasional atau Ujian Sekolah?
Pernahkah kita memanipulasi nilai ujian siswa ? Pernahkah kita memberikan nilai tanpa melakukan evaluasi pada KBM. Jangan sampai kita memberikan nilai pada siswa yang telah almarhum, pindah sekolah, atau istilahnya nilai siluman. Pernah atau tidaknya , yang pasti kita telah melakukan kesalahan besar ketika kita terlibat dan menyepelekan masalah tersebut. Dan pendidikan akan tercoreng oleh aib yang sangat memalukan. Padahal Pendidikan adalah awal dari segala perjalanan hidup atau hajat hidup kita ke depannya.Karena lewat pendidikanlah kita menjadi manusia seutuhnya, sentilannya B.J. Habibie.
Ketika dari awalnya kita telah melakukan manipulasi, hasil yang kita nikmati dari praktek tersebut adalah hasil dari manipulasi juga. Karena praktek manipulasi, imbasnya manipulasi juga. Manipulasi nilai tersebut akan menjadi lingkaran setan yang tak pernah berhenti, tetapi tetap kontinyu selaras dengan perputaran waktu yang kita lakoni setiap saat.
Akankah tindakan manipulasi itu berkembang dan berbunga seperti kredit di perbankkan ? Kalau mengikuti alur atau peraturan perbankkan , jelas manipulasi itu akan berkembang dengan pesatnya. Seperti ketika kita memanipulasi nilai Ujian siswa sebesar seratus persen , dengan kalkulasi bunga enam sampai limabelas persen dalam jangka waktu seumur hidup . Terus di hitung lagi bunga per umur anak, cucu, cicit dan buyut kita. Tentu kalkulasinya tak terhingga suku bunganya. Andaikan dihitung bunga per usia tujuh turunan. Maka akan bunga berbungalah rekayasa tersebut, sehingga menghasilkan “ kembang plastik” yang tak ber-value dan beraroma. Mudah-mudahan kita tidak pernah dan tidak akan pernah merekayasa nilai siswa !!!
Kapan berakhirnya ? ya… sampai semuanya sudah tak berbekas di alam ini. Tragis dan mencemaskan ? Tetapi sepertinya sudah menjadi sebuah hal yang lumrah terjadi di sekitar kita. Malah jangan heran ketika person-person seakan berlomba untuk menjadi yang terhebat tingkatan manipulasinya . Dan yang keluar sebagai pemenangnya mendapat “Reword” , premi , dan terdaftar ke Guiness Book of record. Dan akan muncullah ke-Akuan yang egosentris karena memang bermukim dan menjadi penghuni yang abadi di istanah sentris.
Dan dagelnya malah merupakan kebanggaan tersendiri bila tidak berhasil didulang oleh oknum-oknum yang berkepentingan. Ya… Ibarat anjing melolong kaum manipulator tetap berlalu dengan atribut “Nama Besar”
Padahal kalau kita mau realistis dan toleran semua aktivitas yang melenceng adalah ‘bom waktu’ yang kita rakit sendiri, untuk menghancurkan kita sendiri, dan untuk menghancurkan semua keserangkahan yang kita kumpulkan.Semakin banyak keserakahan, semakin bara-lah api pertikaian, William James (Psikolog)
Tidak ada bukti ? bukti itu selalu ada dan pembuktiannya akan muncul dengan sendirinya, karena bukan lagi sebuah rahasia besar, tetapi sudah menjadi retorika umum yang diforumkan. Tetapi mengapa belum jua tersibak ? ya… karena masih adanya sisa-sisa keapatisan dan kedigdayaan yang menganut paham kesukuan.Karena tingginya image di mata publik untuk diakui keakuannya, maka semuanya seperti sesuatu yang wajar untuk dilegalkan. Dan semua unsur-unsur yang berkompeten harus loyal, nunut dan super manut.
Ya… kalau berani berhaluan kanan jelas akan menerima rajam dari sang pemberi titah.
Mengapa harus ada manipulasi alias penyelewengan nilai? Ketidakberhasilan pendidikan yang dijalankan akan adalah faktor utama yang mendorong pelaku pendidikan untuk menyelewengkan nilai. Angka tiga diedit menjadi nilai tujuh atau delapan. Kemampuan dan kualitas rendah tetapi mendapatkan kuantitas yang tidak relevan dengan keadaan. Miris rasanya ketika tercetak angka-angka bagus , sedangkan kemampuan di bawah standar rata-rata . Alias super dalam kuantitas tetapi wereng dalam kualitas.
Ketika rekayasa terus berkontinyu dan terorganisir alamat hasil pendidikan kita tidak akan pernah mencapai klimaks. Ya … kita akan mendrop out put yang berinisial rekayasa dan tidak memiliki daya saing prima.
Akan sulit terdeteksi ketika rekayasa itu dilaksanakan dengan group atau tersistem. Karena adanya kolaborasi yang tersistem. Maka bagian yang lain menyatakan iya, tetapi bagian yang lain mengaku tidak . Ibarat berpijak di ujung samurai, semuanya menjadi dilematik tidak punya ujung pangkalnya. Dan pada buntutnya akan saling memvonis, menghujat, dan mencakar satu sama lain. Sehingga sangat sulit dikenali mana lawan dan mana kawan.Tetapi mudah-mudahan kita semua bukanlah kelompok di atas, dan mari kita bekerja dengan maksimal, tanggung jawab dan amanah, amin !
Pengajar di SMA Negeri I Bolo