Bima, Garda Asakota.-
Pemekaran
wilayah diyakini sebagian pihak menjadi salah satu alternative bagi masyarakat
untuk mempercepat proses penyejahteraan diri. Sejak
diimplemen tasikannya UU Nomor 22 tahun 1999 yang kemudian diganti dengan UU
Nomor 32 tahun 2004 berimplikasi terhadap munculnya berbagai keinginan masyarakat
di daerah untuk memekarkan diri, salah satunya adalah terbentuknya Pemerintah
Kota Bima yang dimekarkan dari Pemerintahan induk yakni Pemerintah Kabupaten
Bima sekitar tahun 2002 silam melalui UU Nomor 13 tahun 2002. Berbagai
ekpektasi rakyat untuk hidup lebih sejahtera dari masa-masa sebelumnya mulai
bermunculan. Pun, diikuti dengan lonjakan pelaksanaan berbagai program dan
terobosan pembangunan sebagai sebuah wujud pemenuhan aspek kebutuhan rakyat
dalam berbagai bidang guna
perbaikan taraf kehidupan masyarakatnya.
Hanya
saja, dibalik berbagai upaya dua (2) pemerintahan ini dalam melakukan terobosan
pembangunan bagi masyarakatnya. Masih terselip satu persoalan krusial yang
masih menggelayut diantara keduanya yang perlu segera diselesaikan bersama
yakni permasalahan menyangkut pemindahan Ibukota Kabupaten Bima ke wilayah
Kecamatan Woha serta pembagian dan penyerahan asset daerah yang masih dikuasai
oleh Kabupaten Induk.
Wakil
Bupati Bima, Drs. HM. Syafruddin HM. Nur, M. Pd, kepada wartawan media ini
mengungkapkan komitmen pemerintahannya dalam menyelesaikan dua (2) persoalan
yang dihadapi saat ini. Tahun ini, menurutnya, Pemkab Bima telah mengalokasikan
dana sebesar Rp9,7 Milyar untuk membangun Kantor Pemerintah Kabupaten Bima di
wilayah Kecamatan Woha. “Dan sekitar Oktober-November mendatang akan segera
dilaksanakan pembangunannya. Itu baru untuk penataan lingkungan dan pembangunan
beberapa bagian perkantoran. Sementara untuk pembangunan kantor dinas dan
jawatan akan dilakukan secara bertahap hingga tahun 2015,” jelas pria yang
sebelumnya pernah menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Kabupaten Bima ini, Selasa
(20/9).
Tidak
tanggung-tanggung, luas areal perkantoran yang akan dipergunakan untuk
membangun kantor Pemerintah Kabupaten Bima di Kecamatan Woha adalah seluas
lebih kurang 60 hektar dengan total kebutuhan anggaran untuk pembangunan
kantor secara keseluruhannya adalah sebesar Rp65 Milyar dan ditargetkan tuntas
sekitar tahun 2015 mendatang. “Pola yang dipergunakan adalah dengan menggunakan
system multy-years atau perhitungan tahun jamak dengan artian
pelaksanaan pembangunan ini tetap akan dianggarkan didalam APBD Kabupaten Bima
secara bertahap hingga tuntas pada tahun 2015,” cetusnya gamblang.
Sementara
berkaitan dengan aspek penyelesaian asset yang harus diserahkan kepada
Pemerintah Kota Bima sesuai dengan amanat UU Nomor 13 tahun 2002, menurut
Wabup, juga menjadi salah satu agenda yang wajib dituntaskan pihaknya. Hanya
saja, pihaknya menyatakan bahwa semua pihak harus bisa memaklumi bahwa hingga
saat sekarang ini Pemkab Bima masih belum menuntaskan pembangunan kantor Pemkab
Bima di Kecamatan Woha. “Kalau kita semua sudah pindah dan menempati kantor
baru di Kecamatan Woha. Jelas akan ada pembicaraan formal diantara kedua
pemerintahan yang ada untuk menyelesaikan permasalahan ini secara baik seraya
kita semua tetap tunduk pada aturan-aturan yang ada. Hanya saja saat sekarang
perlu ada perasaan memaklumi dengan keadaan yang ada. Apalagi muara akhir dari
apa yang kita semua lakukan ini adalah membangun masyarakat Bima ke arah yang
lebih baik,” terangnya lugas.
Otonomi
daerah memang menjadi alternative utama dalam konsep pembangunan masyarakat di
daerah. Namun, otonomi daerah pun tidak boleh menjadikan pemerintahan induk
menjadi tidak mampu lagi melaksanakan otonomi daerahnya sebagaimana tertuang
dalam PP Nomor 129 tahun 2000. Apalagi berdasarkan ketentuan pasal 2 PP 129
tahun 2000, tujuan pembentukan dan pemekaran wilayah adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan publik, percepatan
pertumbuhan kehidupan berdemokrasi, percepatan pelaksanaan pembangunan ekonomi
daerah, percepatan pengelolaan potensi daerah, peningkatan keamanan dan
ketertiban, serta peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.
“Maka saling memahami
dan memaklumi keterbatasan masing-masing disertai dengan upaya dan
optimalisasi memenuhi kekurangan yang ada menjadi kata kunci yang harus
dipegang antara induk dan anak. Apalagi dalam perspektif genetika social, induk
dan anak adalah satu mata rantai yang tak terpisahkan. Lalu kenapa tidak bisa
saling memahami?,” cetus salah seorang pemerhati. (GA. 211/adv*)