Rusdiansyah, SH. MH., salah satu anggota Tim Kuasa Hukum Feri Sofiyan, SH. |
Mataram, Garda Asakota.-
Merespon penetapan tersangka Feri Sofiyan, SH, Wakil Wali Kota Bima oleh Kepolisian Resor Bima Kota Dengan Surat Ketetapan Nomor: S. Tap/159/ XI/2020/Reskrim tertanggal 10 November 2020 atas dugaan tindak Pidana Pembangunan Dermaga atau Jetty tanpa di lengkapi ijin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 109 Undang-undang RI Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup yang terjadi pada bulan Maret 2020 bertempat di wilayah pantai Bonto Kelurahan Kolo Kecamatan Asakota Kota Bima, salah satu anggota Tim Kuasa Hukum Wakil Walikota Bima, Rusdiansyah, SH. MH., menilainya cacat yuridis dan tidak mendasar.
Ia menjelaskan, bahwa Pasal 109 Undang-undang RI Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup pada prinsipnya sudah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Pasal 22 ayat 36 ketentuan Pasal 109 di ubah sehingga berbunyi "setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki:
a. Perizinan Berusaha atau persetujuan pemerintah pusat, atau pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 ayat (5), pasal 34 ayat (3), pasal 59 ayat (1) atau pasal ayat (4)
b. Persetujuan dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat (3) hutuf b; atau
c. Persetujuan dari pemerintah pusat sebagaimana dimaksud dalam pasal 61 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan atas kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan, di pidana dengan Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit 1.000.000.000,00 (Satu Milyar Rupiah) dan paling banyak 3.000.000.000,00 (Tiga Milyar Rupiah.
Kedua, sambungnya, bahwa terkait Izin Lingkungan sesuai Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Pasal 22 ayat 32 Diantara pasal 82 dan 83 disisipkan pasal 82A Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tampa memiliki:
a. Perizinan berusaha, atau persetujuan pemerintah pusat atau pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 ayat (5) pasal 34 ayat (3) pasal 59 ayat (1) atau pasal 59 ayat (4) atau
b. Persetujuan dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah sebagaimana di maksud dalam pasal 20 ayat (3) hutuf b dikenai sanksi administratif
Ketiga, bahwa pihak kepolisian harus mencabut Surat Ketetapan Nomor: S. Tap/159/ XI/2020/Reskrim Tertanggal 10 November 2020 tentang penetapan tersangka saudara Feri Sofiyan, SH.
"Sebab penetapan tersangka terhadap klien kami Cacat Yuridis terkait penerapan pasal 109 Undang-undang RI Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup karena pasal ini sudah tidak berlaku lagi sebagaimana telah di ubah dalam pasal 22 ayat 36 UU Nomor 11 tahun 2020 Tentang Cipta Kerja," ujar pria yang kerap disapa Jebby ini dalam siaran persnya, Senin (16/11).
Atas dasar itulah, pihaknya meminta Kepolisian harus menerbitkan SP3 Kasus atas Laporan polisi Nomor: LP/K/242/IX/2020/2020/NTB/Res Bima Kota tanggal 24 September 2020 Karna sesuai Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Pasal 22 ayat 32 Pasal 82A mengatur jika pelaku usaha menjalankan kegiatannya tidak mengantongi perizinan seperti Amdal, UKL/UPL, dan pengelolaan limbah hanya dikenakan sanksi administratif
Seperti dilansir Garda Asakota sebelumnya, Pemrakarsa, Feri Sofiyan yang saat ini menjabat Wakil Walikota (Wawali) Bima selaku pemilik bangunan tersebut ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan kasus pembangunan dermaga tanpa ijin.
Hal itu terungkap dari keterangan Kasat Reskrim Polres Bima Kota IPTU Hilmi M Prayugo, kepada sejumlah wartawan, Sabtu kemarin (14/11). Menurutnya, sebelumnya Wawali diperiksa beberapa kali oleh Satuan Reskrim Polres Bima Kota, terhadap pembangunan dermaga yang diduga bagian dari reklamasi dan tanpa izin.
"Yang melaporkan ini salah satu LSM di Kota Bima,” ungkapnya, Sabtu (14/11), seperti dilansir Kahaba.Net
Diakui Hilmi, penetapan tersangka Feri Sofiyan pada tanggal 9 November 2020 dengan dugaan pengelolaan lingkungan hidup tanpa izin. “Yang bersangkutan terancam hukuman pidana minimal 1 tahun atau maksimal 3 tahun dengan dengan minimal Rp 1 Miliar dan maksimal Rp 3 Miliar,” sebutnya.
Diakuinya pula, selama proses penyelidikan dan penyidikan, Wawali sangat kooperatif. Proses selanjutnya, polisi akan segera memanggil kembali Feri Sofiyan untuk dilakukan pemeriksaan sebagai tersangka.
Ketika disinggung soal UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Omnibus Law yang di dalamnya terdapat ketentuan menyangkut UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup. Bahkan pasal 36 tentang perizinan dalam UU 32 2009 tentang LH sudah dihapus.
UU Omnibus Law Nomor 11 tahun 2020 ini ditetapkan tanggal 02 November 2020, sementara penetapan Feri Sofiyan sebagai tersangka tanggal 9 November 2020, Hilmi hanya menjawab singkat dengan menunggu proses hukum selanjutnya. “Kita tunggu proses selanjutnya, ” pungkasnya. (GA. 212*)