Bima, Garda Asakota.-
Puluhan
massa demonstran yang tergabung dalam Persatuan Aliansi Woha Tolak TPAS
(Tempat Pemrosesan Akhir TPA Sampah), menggelar aksi demostrasi di depan
kantor Camat Woha. Massa menolak kehadiran TPAS yang direncanakan akan
dibangun di Desa Waduwani. Aksi yang sudah berlangsung kesekian kalinya ini,
berakhir dengan pelemparan batu antara Demostran, Pol. PP, dan sejumlah preman.
Dalam
aksi yang dihelat 22 September lalu, sejumlah preman dan Pol. PP, yang ingin
menghalangi aksi para pendemo malah terlibat saling lempar batu.
Peristiwa ini
mengakibatkan satu dari ratusan demonstran terkena lemparan batu. Pantauan
langsung Garda Asakota, dalam aksinya, massa yang tergabung dalam wadah
Persatuan Aliansi Woha Tolak TPAS, sempat membakar ban bekas di depan pintu
kantor Camat Woha sebagai simbol kekecewaan terhadap Camat Woha, Drs. Dahlan, yang tidak pernah menanggapi tuntutan
massa aksi. Bahkan para demonstran juga membawa keranda mayat sebagai bentuk
kekecewaan mereka terhadap Camat.
Dalam
orasinya para demostran menuntut Pemerintah Kabupaten Bima untuk segera
memindahkan TPAS dari Kecamatan Woha. “Kami menolak hadirnya TPA di Kecamatan
Woha karena bertentangan dengan Perda RT/RW Ibukota Kabupaten Bima, makanya
kami meminta kepada pemerintah agar uang rakyat sebanyak Rp8,3 milyar untuk
dibangun TPA segera dikembalikan kepada Negara,” teriak demonstran.
Dikatakannya bahwa, secara gegrafis Kecamatan Woha merupakan wilayah sentral
bagi Kabupaten Bima, dan itu sudah mencuat isu yang berkembang bahwa Woha akan
dijadikan Ibukota Kabupaten Bima. “Apa mungkin jika Ibukota Kabupaten
dijadikan tempat pembuangan sampah? Itu peraturan yang tidak logis, kalau pak
Camat menyetujui kedatangan TPA jangan bodohi masyarakat dengan janji manis
pekerjaan atau akan membuka lapangan kerja bagi masyarakat. Apa mungkin petani
yang banyak hasilnya menjadi pemulung?. Jangan hanya memikirkan keuntungannya,
tapi pikirkan dampak negativenya, sampah bisa jadi penyakit bukan jadi
keuntungan,” cetus massa.
Sementara
itu, salah satu tokoh Pemuda setempat, Firdaus SH, menilai kehadiran TPAS
sebagai bentuk rekayasa sosial yang akan berdampak pada bergesernya nilai-nilai
budaya dan tatanan sosial masyarakat. “Misalnya dari kultur masyarakat petani
menjadi masyarakat pemulung.
Dan di
sisi lain Woha akan menjadi sarang penyakit yang akan mempersempit kehidupan
generasi, dan yang lebih parahnya lagi pemerintah sudah melanggar aturan yang
mereka buat sendiri hanya untuk proyek yang tidak jelas dan bukan kebutuhan
pokok pembangunan bagi masyarakat Woha,” ucapnya.
Berdasarkan
informasi Garda Asakota, sampai saat ini, tuntutan penolakan TPAS oleh para
demonstran sejauh ini belum ada tindak-lanjutnya. Bahkan upaya mereka untuk
beraudensi dengan Bupati Bima di Woha pun belum dan kabar yang jelas. Sesuai
pengakuan Camat Woha, Bupati Bima baru akan mau beraudensi bila diadakan di
kantor Daerah. (GA. 234*)