Mataram, Garda Asakota.-
Kejaksaan
Tinggi NTB saat sekarang ini masih menunggu hasil keputusan Majelis Hakim
Tingkat Kasasi dalam perkara dugaan korupsi dana mobilitas, prasarana dan
lain-lain kegiatan APBD I Tahun Anggaran 2003 senilai kurang lebih Rp12 Milyar
yang disinyalir melibatkan dua anggota DPRD Tingkat I saat itu yakni Abdul
Kappi dan Rahmat Hidayat.
Menurut
Kepala Kejati NTB melalui Kasi Penkum Kejati NTB, Sugiyanta, SH., pihak
Kejaksaan Tinggi NTB tetap kommit menegakkan hukum dan keadilan. Upaya Kasasi
yang dilakukan pihak Kejati saat sekarang ini adalah didasari atas pertimbangan
komitmen penegakkan hukum paska keluarnya putusan PN Mataram yang membebaskan
dua mantan anggota DPRD I tersebut dari jeratan UU Nomor 31 tahun 1999
sebagaimana yang diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001.
Menurutnya,
alasan hukum yang dijadikan dasar pertimbangan Majelis Hakim PN Mataram dalam
membebaskan kedua terdakwa tersebut sangat tidak masuk akal hanya dikarenakan
adanya mindrehed nota atau nota keberatan yang diajukan terdakwa. Selain itu,
hanya karena didasari bahwa anggaran yang diajukan pada saat itu sudah sah
secara hukum karena palu sidang sudah diketok. Juga, menurutnya, hanya karena
alasan lain karena tidak ada eksekutif review atau judicial review atau dalam
artian dari pihak Mendagri tidak ada koreksi dan dari pihak Peradilan tidak ada
keberatan menyangkut keberadaan anggaran itu, begitupun dengan MK juga tidak
ada keberatan dengan keberadaan anggaran yang dimaksud. Sehingga anggaran
tersebut sudah ditetapkan menjadi Undang-undang dan tinggal dilaksanakan.
“Menurut
kita, meskipun hal itu tidak ada judicial review dan eksecutive review terhadap
keberadaan anggaran tersebut, akan tetapi pada aspek penggunaan anggarannya
diindikasikan tidak sesuai dengan peruntukannya. Contoh anggaran Mobilitas,
Prasarana dan Lain-lain Kegiatan Tahun Anggaran 2003 dengan total anggaran
sebesar Rp12 Milyar, semestinya dipergunakan pada saat anggota dewan
melaksanakan kegiatan yang bersifat mobile semisal turun ke konstituen. Disitu
pasti ada penggunaan transportasi, akomodasi, dan harus bisa dibuktikan
penggunaannya dengan menunjukkan bukti-bukti penggunaannya seperti kuitansi
dan lain sebagainya.
Nah
dalam kenyatannya, hal ini tidak ada. Justru itu dipergunakan untuk penghasilan
gaji bulanan. Itu kan sudah salah. Itu menurut kita. Tapi menurut hakim, benar
itu,” jelasnya kepada wartawan diruang kerjanya, Rabu (28/09).
Padahal,
menurutnya dalam konteks persoalan ini, kita pada dasarnya tidak berbicara
tentang Pedoman Penyusunan APBD yang menilai sah dan tidak sahnya sebuah
peraturan daerah. “Akan tetapi kita berbicara tentang penggunaan APBD ini
apakah sudah dipergunakan secara baik atau tidak. Jadi ada dugaan
penyalahgunaan kewenangan dalam kasus ini sesuai dengan amanat pasal 3 UU
Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001. Jika
dikatakan bahwa anggaran itu mesti dipergunakan untuk mobilitas anggota dewan,
kemudian bukti perjalanan dinas tidak ada, bukti tiketnya juga tidak ada. Akan
tetapi justru masuk pada penghasilan gaji, maka tentu saja ini sudah menyalahi
penggunaannya kan. Oleh karenanya, silahkan masyarakat sendiri yang menilai,
benar apa tidak,” cetusnya. (GA. 211*).