Oleh: Imam Ahmad |
Lucunya pada awal berjuang meraih kekuasaan, hubungan Kepala dan Wakil ini sangat harmonis. Bahkan saking harmonisnya tiada hari tanpa adanya kebersamaan antara keduanya.
Namun ketika keduanya berhasil meraih kekuasaan, disitulah banyak kisah dan cerita baru yang terjadi diantara keduanya yakni Kepala Daerah yang berjalan dengan langkah optimis penuh kewenangan dan Wakil kepala Daerah yang hanya menyandang status sebagaimana Pasal 63 UU 23/2014 tentang Pemda hanya sebagai Pembantu Kepala Daerah.
Term "Pembantu" yang dilekatkan kepada Wakil Kepala Daerah ini dalam tataran empiriknya banyak disalahgunakan oleh para Kepala Daerah dengan betul betul mengabaikan peran dan posisi atau keberadaan Wakilnya.
Padahal dalam proses meraih kekuasaan, peran diantara keduanya sama bahkan sejajar dalam meraup simpati, keyakinan atau harapan rakyat akan keberadaan keduanya. Namun pada sisi pelaksanaan tugas kepemimpinan, Kepala Daerah bahkan cenderung mengabaikan keberadaan Pembantunya tersebut dalam mengambil setiap kebijakan. Bahkan kemungkinan besar lebih tinggi peran istri atau suaminya sendiri dalam setiap proses pengambilan setiap keputusan.
Atas dasar problem ini, maka sebenarnya, Negara harus sigap dalam melakukan perbaikan teks pasal 63 UU 23/2014 tentang Pemda ini menyangkut keberadaan Wakil Kepala Daerah ini. Apakah keberadaan Pembantu Kepala Daerah atau yang disebut Wakil Kepala Daerah itu masih dianggap perlu?.
Apalagi kalau dilihat dalam pelaksanaan birokrasi, Pembantu Kepala Daerah itu sangat banyak mulai dari Sekda, Para Assisten dan para Staf Ahli baik yang resmi maupun non resmi. Sehingga terkadang hal inilah yang membuat keberadaan Wakil Kepala Daerah ini cenderung terabaikan.#Wallahu'alamBissawab.