Salahkah orang tua yang bersedia membayar uang sekolah jutaan rupiah? Salahkah sekolah yang menetapkan uang gedung atau uang sekolah yang di mata orang kebanyakan mungkin dinilai sangat mahal?. Hingga saat ini, harus diakui belum ada batasan atau standar yang jelas tentang berapa besar uang pungutan yang diperbolehkan ditarik sekolah dari wali murid. Tetapi, yang menjadi soal kemudian sebetulnya bukan sekadar berapa besar jumlah uang sekolah dikategorikan patut atau tidak patut tersebut. Melainkan, yang terpenting adalah transparansi pengelolaan dan pemanfaatan uang sekolah itu. Jadi, uang itu dialokasikan untuk apa saja dan siapa sebetulnya yang menikmati hasil dari uang sumbangan wali murid tersebut.
Pungutan uang untuk pembangunan satu lokal ruangan guru di SMUN-1 Bima, tampaknya menarik untuk dicermati oleh sejumlah kalangan, terutama bagi pemerintah kota Bima dan praktisi pendidikan. Sepertinya, setelah bersusah-payah menembus masuk sekolah yang katanya sudah menjadi RSBI (rintisan sekolah berstandar internasional) itu, bukan berarti selesai urusan. Ketika wali murid harus mendaftarkan ulang anaknya, persoalan baru memusingkan kepala mereka, yakni, berupa keharusan untuk membayar uang sekolah dan pungutan pembangunan satu lokal ruangan guru.
Sudah menjadi rahasia umum, setiap menjelang tahun ajaran baru, para orang tua selalu mengeluh tentang besar sumbangan atau pungutan uang sekolah yang makin lama makin tinggi, termasuk di sekolah-sekolah negeri yang seharusnya semua biaya operasional sudah disubsidi Negara. Ternyata, besar uang pungutan yang harus dibayar orang tua tidak kalah dengan sekolah swasta, bahkan terkesan lebih mahal. Hal itu bisa dilihat dari tingginya angka pungutan untuk pembangunan satu lokal ruangan guru di SMUN-1 Kota Bima yang ditetapkan sebesar Rp750 ribu per siswa baru.
Bila dikalikan dengan jumlah total siswa baru yang diterima untuk tahun ajaran 2011-2012 sebanyak 320 orang, maka akan terkumpul dana yang cukup besar yakni sebesar Rp240 juta. Dana ini menurut rencana, akan dialokasikan untuk pembangunan satu lokal ruangan guru, sebagai pengganti ruangan guru yang sudah dijadikan sebagai ruangan lab dan computer sebagai syarat menuju SBI. Pihak sekolah melalui Kadis Dikpora Kota Bima, H. Nurdin, SH, berdalih pungutan uang gedung itu mengacu pada Permendiknas Nomor 78 tahun 2009 yang mengatur tentang tata cara penerimaan siswa baru, bagi sekolah rintisan Internasional. Dikatakan dalam salah satu pasal, katanya, bila pihak sekolah ada kekurangan biaya dan dana, maka untuk menutupi kekurangan biaya dan dana dari pemerintah pusat dan daerah, diminta kepada wali murid melalui komite sekolah untuk melakukan rapat menentukan sumbangan. Lantas muncul pertanyaan, apakah pungutan uang gedung tersebut hanya cukup dengan kesepakatan antara pihak sekolah dengan komite yang hanya mengacu pada Permendiknas Nomor 78 tahun 2009 saja?. Apakah, perlu Pemkot Bima membuatkan Perwali (peraturan walikota) yang mengatur khusus persoalan pungutan uang gedung (sekolah, red) sebagai payung hukumnya.?. Mungkin, dengan adanya perwali, sekolah bersama komite tidak akan bisa seenaknya menarik pungutan uang gedung. Sebab untuk melakukan pungutan, harus ada aturan yang jelas demi melindungi masyarakat miskin dan tidak mampu yang akan bersekolah.
Di Pemkot Mataram misalnya, untuk menghindari pungutan pada penerimaan siswa, berbagai cara dilakukan. Salah satunya dengan menerbitkan peraturan walikota yang mengatur tidak boleh ada pungutan.
Pungutan uang untuk pembangunan satu lokal ruangan guru di SMUN-1 Bima, tampaknya menarik untuk dicermati oleh sejumlah kalangan, terutama bagi pemerintah kota Bima dan praktisi pendidikan. Sepertinya, setelah bersusah-payah menembus masuk sekolah yang katanya sudah menjadi RSBI (rintisan sekolah berstandar internasional) itu, bukan berarti selesai urusan. Ketika wali murid harus mendaftarkan ulang anaknya, persoalan baru memusingkan kepala mereka, yakni, berupa keharusan untuk membayar uang sekolah dan pungutan pembangunan satu lokal ruangan guru.
Sudah menjadi rahasia umum, setiap menjelang tahun ajaran baru, para orang tua selalu mengeluh tentang besar sumbangan atau pungutan uang sekolah yang makin lama makin tinggi, termasuk di sekolah-sekolah negeri yang seharusnya semua biaya operasional sudah disubsidi Negara. Ternyata, besar uang pungutan yang harus dibayar orang tua tidak kalah dengan sekolah swasta, bahkan terkesan lebih mahal. Hal itu bisa dilihat dari tingginya angka pungutan untuk pembangunan satu lokal ruangan guru di SMUN-1 Kota Bima yang ditetapkan sebesar Rp750 ribu per siswa baru.
Bila dikalikan dengan jumlah total siswa baru yang diterima untuk tahun ajaran 2011-2012 sebanyak 320 orang, maka akan terkumpul dana yang cukup besar yakni sebesar Rp240 juta. Dana ini menurut rencana, akan dialokasikan untuk pembangunan satu lokal ruangan guru, sebagai pengganti ruangan guru yang sudah dijadikan sebagai ruangan lab dan computer sebagai syarat menuju SBI. Pihak sekolah melalui Kadis Dikpora Kota Bima, H. Nurdin, SH, berdalih pungutan uang gedung itu mengacu pada Permendiknas Nomor 78 tahun 2009 yang mengatur tentang tata cara penerimaan siswa baru, bagi sekolah rintisan Internasional. Dikatakan dalam salah satu pasal, katanya, bila pihak sekolah ada kekurangan biaya dan dana, maka untuk menutupi kekurangan biaya dan dana dari pemerintah pusat dan daerah, diminta kepada wali murid melalui komite sekolah untuk melakukan rapat menentukan sumbangan. Lantas muncul pertanyaan, apakah pungutan uang gedung tersebut hanya cukup dengan kesepakatan antara pihak sekolah dengan komite yang hanya mengacu pada Permendiknas Nomor 78 tahun 2009 saja?. Apakah, perlu Pemkot Bima membuatkan Perwali (peraturan walikota) yang mengatur khusus persoalan pungutan uang gedung (sekolah, red) sebagai payung hukumnya.?. Mungkin, dengan adanya perwali, sekolah bersama komite tidak akan bisa seenaknya menarik pungutan uang gedung. Sebab untuk melakukan pungutan, harus ada aturan yang jelas demi melindungi masyarakat miskin dan tidak mampu yang akan bersekolah.
Di Pemkot Mataram misalnya, untuk menghindari pungutan pada penerimaan siswa, berbagai cara dilakukan. Salah satunya dengan menerbitkan peraturan walikota yang mengatur tidak boleh ada pungutan.
Irfan sepakat, sesuai aturan yang berlaku di negara ini persoalan pungutan terhadap masyarakat, walaupun besarannya satu sen sekalipun, harus dibahas bersama pihak legislatif dalam hal ini DPRD, sehingga melahirkan keputusan yang nantinya melahirkan Perwali. Untuk itu, pihaknya meminta kepada pihak sekolah dan jajaran komite, agar mengembalikan dana tersebut ke orang-tua murid, karena dasar pungutannya tidak mendasar. “Pendidikan semestinya untuk rakyat secara keseluruhan, merata dan berkeadilan sosial. Namun pendidikan khususnya di SMUN-1 Kota Bima diduga sudah dikomersilkan, dalam rangka meraih predikat RSBI. Padahal bicara SBI maka pemerintah harus semaksimal mungkin menyiapkan SDM maupun sumber daya finansial. Dan yang terjadi sekarang ini justru ada sumbangan sukarela yang luar biasa guna membangun satu ruangan guru. Rakyat bertanya hari ini, apakah pemerintah sudah miskin dan tidak mampu lagi mensejahterahkan rakyatnya?. Dan kalau benar ini dilakukan, maka benar bahwa pendidikan untuk orang kaya bukan untuk orang miskin, sangat bertolak belakang dengan konstitusi,” sindirnya.*Wallahu A’lam Bissawab.