Mukhlis, SE, ME. |
Otonomi daerah, selain memberikan keleluasaan kepada daerah untuk mengelola daerahnya masing-masing, juga memberikan kesempatan kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) untuk mengelola potensi-potensi bisnis yang ada di daerah. Berdasarkan data Badan Kerjasama BUMD Seluruh Indonesia (BKSBUMDSI), jumlah BUMD hingga kini mencapai 1.174, yang terdiri dari sektor perbankan, rumah sakit daerah, PDAM, pasar, properti, logistik, dan sebagainya. Seiring dengan semangat otonomi tadi, BUMD-BUMD baru pun bermunculan. Namun tidak sedikit dari BUMD yang didirikan itu, hanya sekedar pajangan. Karena belum memiliki core business.
Dari sisi kelembagaan, BUMD adalah bagian dari struktur birokrasi pemerintah daerah. Di mana, pengelola tidak profesional. Kebanyakan adalah pegawai pemda yang akan pensiun dan tidak punya pengalaman dan wawasan entrepreneurship. Selain itu BUMD merupakan bagian dari organ pemda, maka sulit untuk mendapatkan fasilitas dari lembaga penunjang, misalnya bank, perizinan, dan lain-lain. Kreditur sulit menetapkan siapa yang bertanggung jawab dan kolateral yang diminta.
Pengelolaan BUMD harus berlandaskan UUD 1945: Pasal 33 (3): Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun pedoman hukumnya masih berdasarkan UU No. 5/1962 tentang Perusahaan Daerah. Kemudian dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, pasal 177, disebutkan, pemerintah daerah dapat memiliki BUMD yang pembentukan, penggabungan, pelepasan kepemilikan, dan/atau pembubarannya ditetapkan dengan Perda yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
Dalam UU Otda, hanya memberikan kesempatan kepada masing-masing pemerintah daerah untuk otonomi, membangun dan mendirikan BUMD. Untuk bisa mengoptimalkan peran BUMD, harus merevisi UU No.5 Tahun 1962, sehingga dapat memenuhi kebutuhan dan perubahan iklim bisnis pada tataran domestik dan global. Berdasarkan UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, juga, Gubernur, Bupati/Walikota dapat mendirikan dan mengelola BUMD sesuai dengan prinsip-prinsip bisnis berdasarkan semangat dan norma-norma UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas, misalnya prinsip Good Corporate Governance (GCG), otonomi manajemen, dll. Secara nasional perlu sosialisasi kepada pemerintah dan DPR RI dan khususnya juga para stake holder lainnya, untuk segera melakukan revisi UU No. 5/1962 tentang Perusahaan Daerah.
Pertimbangannya adalah: Otonomi daerah berarti juga otonomi dalam sektor ekonomi, tidak hanya otonomi sektor politik. Jadi menurutnya, diperlukan landasan hukum yang dapat menjadi pijakan atau pedoman BUMD yang tangguh dan dapat berperan sebagai lembaga bisnis yang profesional, mandiri dan dapat berkiprah serta memenuhi tuntutan bisnis domestik & global. BUMD harus didayagunakan sebagai lembaga bisnis yang menjadi sumber pendapatan asli daerah (PAD) bagi kemakmuran masyarakat.
Dari sisi kelembagaan, BUMD harus berbentuk PT, CV dan Koperasi. Di sini peran Gubernur, Bupati/Walikota hanya bertindak sebagai pemilik yang mempunyai kewenangan hanya sebagai pemegang saham mayoritas. Pemerintah daerah tidak mencampuri operasional BUMD. Keberhasilan direksi BUMD diukur berdasarkan kinerja dan memakai ukuran/prinsip manajemen keuangan yang sehat. Sebelum diangkat menjadi direksi, masing-masing direksi membuat kontrak manajemen sesuai prinsip Good Corporate Governance (GCG).
Porsi kepemilikan saham BUMD, khususnya yang mengelola SDA harus minimal 51 porsen. Porsi ini merupakan amanat konstitusi UUD 1945 pasal 33 (3). Privatisasi dapat diterima sepanjang pemda masih sebagai pemegang saham mayoritas, dan hasilnya untuk kepentingan BUMD, bukan untuk dipergunakan menambah kekurangan APBD. Sebenarnya sistim profitasi adalah prinsip ideal dalam pengelolaan BUMD. Profitasi berarti kepemilikan BUMD tetap ditangan pemerintah daerah, tapi cara pengelolaan murni bisnis tanpa campur tangan pemerintah dalam operasionalnya BUMD, yang sesuai dengan amanat konstitusi.
Ruang Lingkup Usaha
Bagaimana format pengelolaan BUMD? Menurut penulis, tetap dibawah Departemen Dalam Negeri, atau Membentuk Holding BUMD. Sebagai pertimbangan, jika dibawah Kementerian BUMN, yang ditakuti adalah terkontaminasi budaya BUMN yang mis-manajemen dan birokratis. Fakta menunjukkan sebagian besar BUMN (dari jumlah saat ini 139 buah), tidak lebih dari 10% BUMN yang meraup laba, selebihnya merugi/menjadi beban pemerintah.
*Penulis adalah Dosen, alumni Magister Ilmu Ekonomi Konsentrasi Ekonomi Perencanaan Pembangunan Wilayah pada Universitas Mataram. Saat ini bekerja pada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat STKIP Bima.